Kendala Umum yang Dihadapi Petani Cendana: Kelangkaan dan Eksploitasi yang Mengkhawatirkan

Kendala Umum yang Dihadapi Petani Cendana: Kelangkaan dan Eksploitasi yang Mengkhawatirkan

Pabrik pengolah cendana di Batu Plat, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyaksikan suasana yang menggambarkan keadaan yang sulit. Di tengah permukaan kuali-kuali baja berdebu, sebongkah kayu cendana diletakkan dengan hati-hati di atas papan yang sudah usang.

Situasi seperti ini bukanlah hal yang aneh karena cendana semakin sulit didapatkan. Pabrik ini beroperasi hanya untuk menjemur ampas sisa penyulingan cendana, yang kemudian akan dikirim ke Singapura dan Hongkong sebagai bahan baku dupa dan kemenyan.

Namun, keberlanjutan pabrik ini tidak terlepas dari keinginan untuk menjaga puluhan karyawan yang telah lama bekerja di sana. Pabrik serupa, PT Sumber Agung, yang terletak tidak jauh dari sana, sudah ditutup sejak awal 2002. Kendala utama dalam industri cendana adalah keterbatasan pasokan bahan baku, yang disebabkan oleh kelangkaan cendana itu sendiri.

Rosliati Pohan dari PT Tropical Oil, produsen minyak cendana dan serbuk cendana, menjelaskan bahwa kuali-kuali ini hanya beroperasi setelah tersedia bahan baku minimal 1 ton. Namun, untuk mengumpulkan jumlah bahan baku tersebut, diperlukan waktu 1,5 bulan. Hal ini sangat mempengaruhi kapasitas produksi pabrik yang pada kondisi normal mencapai 500 ton per tahun.

pemanenan kayu cendana## Eksploitasi tanpa Penanaman: Cendana Semakin Sulit Ditemukan

Menurut Ir Sundoro Darmokusumo, kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT, secara ekonomi, kayu cendana di NTT telah punah sejak tahun 2000. Penyebaran cendana hanya terpusat di beberapa kabupaten di NTT, seperti Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, dan Pulau Sumba. Sentra produksi terbesar cendana terletak di Timor Tengah Selatan (TTS), dengan luas wilayah sekitar 3.947 km2.

Namun, produksi cendana di TTS mengalami penurunan drastis. Pada tahun 1991-1995, rata-rata cendana yang dieksploitasi mencapai 400.000 kg per tahun. Pada tahun 1996, jumlahnya melonjak tajam hingga mencapai 1.744.161 kg, tetapi kemudian menurun drastis menjadi 25.650 kg pada tahun berikutnya. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 tidak ada lagi hasil penebangan cendana di TTS.

Hal ini sangat berdampak pada pabrik-pabrik pengolah cendana yang mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku. PT Tropical Oil, misalnya, pada tahun 1990-an mampu memproduksi minyak cendana sebanyak 300 ton per tahun. Namun, pada tahun 2000, mereka hanya mampu mengumpulkan 5 ton bahan baku dalam 4 bulan. Kelangkaan ini juga berdampak pada perajin kayu cendana di daerah tersebut. Banyak kerajinan dan barang-barang cendana yang tidak terjual, dan harga tasbih cendana, misalnya, naik hampir 2,5 kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.

Tersandung Peraturan: Kendala Penanaman dan Kepemilikan Cendana

Salah satu alasan mengapa cendana semakin sulit ditemukan di NTT adalah adanya aturan daerah No 16/1986 yang menyebutkan bahwa semua pohon cendana merupakan milik pemerintah. Hal ini termasuk pohon-pohon yang tumbuh secara alami, ditanam oleh masyarakat, maupun yang sudah mati. Masyarakat yang memiliki cendana hanya mendapatkan kompensasi berupa ongkos tebang yang rendah per pohon.

Hal ini menyebabkan masyarakat enggan menanam cendana karena mereka tidak merasa memiliki kayu tersebut. Meskipun beberapa peraturan telah dicabut dan masyarakat diperbolehkan menanam cendana, upaya ini belum sepenuhnya berhasil karena pertumbuhan cendana yang lambat. Pohon cendana baru dapat dipanen setelah berumur 40 sampai 50 tahun.

Namun, peraturan tersebut memberikan keuntungan bagi beberapa pekebun yang masih memiliki pohon cendana di lahan mereka. Mereka dapat menjual kayu cendana tersebut dengan harga tinggi. Misalnya, seorang pekebun bernama Absolom Baitanu di Desa Binaus, TTS, menawarkan sebatang pohon cendana berusia belasan tahun seharga Rp25 juta. Meskipun demikian, mayoritas masyarakat tidak merasakan manfaat ekonomi langsung dari menanam cendana karena pertumbuhan yang lambat.

penebangan liar dan penjarahan kayu cendana## Implikasi dan Tindakan Selanjutnya

Kelangkaan cendana di NTT merupakan masalah serius yang harus segera ditangani. Penurunan produksi cendana secara ekonomi telah menghancurkan sumber pendapatan daerah dan industri pengolahan cendana. Meskipun beberapa perubahan peraturan telah dilakukan, upaya penanaman cendana masih perlu ditingkatkan untuk memulihkan populasi kayu ini.

Selain itu, penting bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk melakukan tindakan konservasi yang lebih efektif, termasuk pengawasan terhadap eksploitasi ilegal dan perdagangan ilegal cendana. Langkah-langkah ini harus didukung oleh penelitian dan pengembangan yang lebih lanjut untuk memahami pola pertumbuhan cendana dan metode penanaman yang efisien.

Dalam konteks yang lebih luas, kelangkaan cendana di NTT juga menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh banyak komunitas petani di Indonesia dan di seluruh dunia yang mengandalkan sumber daya alam sebagai mata pencaharian mereka. Dalam era yang dipenuhi dengan perubahan iklim dan peningkatan tekanan ekonomi, perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam menjadi semakin penting.

Dalam upaya mengatasi masalah ini, kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta juga diperlukan. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi petani untuk menanam cendana dengan memberikan bantuan teknis dan pelatihan yang diperlukan. Sementara itu, perusahaan dan lembaga terkait dapat berperan dalam membangun pasar yang berkelanjutan untuk produk cendana, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat ekonomi yang lebih besar.

Pada akhirnya, menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan mata pencaharian petani lokal merupakan tanggung jawab bersama. Dengan mengambil tindakan yang tepat sekarang, kita dapat menjaga keberlanjutan cendana dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi petani dan komunitas di NTT.

Penutup

Kelangkaan cendana di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah tantangan serius yang perlu segera ditangani. Penurunan produksi cendana telah merusak ekonomi daerah dan mengancam industri pengolahan cendana. Meskipun telah dilakukan beberapa perubahan peraturan, langkah-langkah lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan penanaman cendana dan memulihkan populasi kayu yang berharga ini.

Upaya penanaman cendana harus didukung oleh tindakan konservasi yang efektif, termasuk pengawasan terhadap eksploitasi ilegal dan perdagangan ilegal cendana. Peran pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat penting dalam mencapai tujuan ini.

Pemerintah perlu memberikan insentif kepada petani untuk menanam cendana dan menyediakan bantuan teknis yang dibutuhkan, sementara perusahaan dan lembaga terkait dapat membantu membangun pasar yang berkelanjutan untuk produk cendana.

Penting bagi kita semua untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan mata pencaharian petani lokal. Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan tekanan ekonomi, perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan adalah kunci. Dengan mengambil langkah-langkah yang tepat sekarang, kita dapat memastikan masa depan yang lebih baik bagi petani, komunitas, dan keberlanjutan cendana di NTT.

Mari kita bergandengan tangan dalam menjaga dan menghargai kekayaan alam yang kita miliki, serta menyebarkan kesadaran akan pentingnya menjaga sumber daya alam kita kepada orang lain. Bersama-sama, kita dapat menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi cendana dan komunitas di NTT.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus