Pukul 15.00 di kawasan Hok Tong, Jambi. Di langit nan biru tiba-tiba berkelebat ribuan walet. Mereka beterbangan di atas sebuah bangunan tua. Di situlah burung penghasil sarang mahal itu beranak-pinak hingga berkembang ke penjuru kota yang terkenal dengan Sungai Batangharinya. Potensi yang patut dilirik untuk pengembangan sentra baru.
Bangunan 2 tingkat itu berbentuk rumah adat khas Jambi. Dinding terbuat dari bilah kayu yang tersusun rapi secara vertikal. Ukiran kayu “melekat” di dinding sebagai penghias rumah. Atap berbahan genteng tampak menghitam tanda usang. Wajar, rumah itu sudah lama ditinggalkan penghuninya. “Lantaran tidak terurus, orang yang melewatinya menyebut rumah hantu,” kata salah satu warga di sekitar Jl. dr Sutomo, Jambi, itu.
Menurut Sukirman, salah satu warga di Jambi, rumah itu sudah 20 tahun tidak dihuni oleh pemiliknya. Dengan begitu walet leluasa keluar-masuk. Ia menduga kondisi ruangan gelap dan lembap membuat burung itu betah tinggal. “Dulu, rumah itu termasuk paling tinggi di antara yang lain,” ujarnya.
![]() |
Harga Sarang Walet Yang mahal pantas bila banyak berinvestasi |
Migrasi Walet Dari gua
Belum ada yang bisa menjelaskan sejarah kehadiran walet di sana. Masyarakat sekitar hanya melihat burung itu keluar-masuk bangunan itu. Sukirman yang sudah 50 tahun tinggal di Jambi menduga walet muncul di sana lantaran banyak hutan terbakar.
Menurut ceritanya walet menghuni gua-gua sekitar Desa Bukit Bulan, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, sekitar 150 km dari Jambi. “Pada 1985-an banyak orang memburu sarang ke sana.
Mereka harus berjalan kaki sehari semalam untuk mencapai daerah itu,” ujar pensiunan staf Bina Usaha Dinas Perikanan dan Kelautan Jambi, itu.
Dugaan lain, walet berasal dari Tanjung Barat, Kuala tungkai, sekitar 125 km dari Jambi. Lokasi di sana memang berdekatan dengan laut. “Sejak dulu, daerah itu terkenal dengan waletnya. Kemungkinan ada yang nyasar ke mari,” kata Ali Kusno, salah satu warga di Tanjungpinang, Jambi.
Saat itu populasi walet sangat banyak. “Tanpa dipancing pun bisa masuk sendiri ke rumah. Namun, saat itu warga belum banyak yang tahu dan tidak mencari informasi mengenai pemanfaatannya. Walet dibiarkan berkembang dan hidup alami,” katanya.
Penginapan Pinang milik Aghuan, misalnya, juga dihuni walet lantaran berdekatan dengan rumah tua itu. Begitu dimasuki burung, si pemilik merombak bangunan menjadi 3 lantai. Hotel pun beralih fungsi menjadi hunian walet. Bagi mereka burung berbulu hitam keabu-abuan itu telah membawa berkah. Kedatangan walet ke rumah dianggap rezeki. ( Baca : Budidaya Walet Dengan Pancingan Sarang Kertas Karton )
Populasi Walet yang terus Meningkat
Berawal dari rumah itu populasi walet kian meningkat. Namun, indikasi pembangunan rumah walet semakin marak pada 1998. Itu terjadi sejak kehadiran pendatang dari Medan dan Jakarta. “Waktu terjadi kerusuhan sekitar 1997—1998. Jambi termasuk aman sehingga mengundang orang untuk datang dan berinvestasi di sini, termasuk walet,” kata istri Ali Kusno yang menemani budidayatani.
Saking maraknya bangunan walet, harga tanah dan bangunan pun melonjak. Sebagai gambaran, rumah seharga Rp70-juta pada saat itu termasuk mahal. Kini, bisa mencapai ratusan juta rupiah. Di Pasarbaru, Jambi, ada salah satu ruko 3 lantai seluas 10 m x 15 m dijual Rp2,3-miliar.
Ketertarikan Ali Kusno mengembangkan walet 3 tahun silam sebenarnya tanpa disengaja. Kebetulan ia membangun ruko 3 lantai seluas 12 m x 20 m untuk farm ikan hias. Rencananya, lantai dasar untuk penampungan ikan, sementara yang lain dipakai untuk tempat tinggal. Meski belum rampung, sudah banyak burung yang keluar-masuk bangunan. Ia pun memutuskan untuk menjadikan sebagai rumah walet. budidayatani menghitung sekitar 100 sarang menempel di lagur lantai ke-3. “Sebagian sudah saya panen. Ini hanya ingin tahu saja,” katanya sambil menunjukkan puluhan sarang di stoples plastik.
Belum ada angka pasti jumlah rumah walet di Jambi. Namun, Ali Kusno memperkirakan baru ratusan buah saja. Di samping rumahnya juga ada 3 bangunan lain dengan ukuran sama. Bangunan walet tersebar di kelurahan Tanjungpinang, Rajawali, Kumpay, dan Selincang. Selain penginapan, toko juga banyak yang ditutup gara-gara dihuni walet. Bahkan ada pula yang merombak toko menjadi rumah walet 3 tingkat.
![]() |
Ruko Berubah Menjadi Sarang Walet |
Rumah Walet Strategis
Pengembangan rumah walet terus menjamur dari hari ke hari. “Hal itu karena prospek bisnis sarangnya semakin jelas. Sekilo sarang burung dihargai Rp14-juta. Siapa yang tak tergiur uang sebesar itu,” ucap Budi Aji Salim, salah satu konsultan walet di Jambi. Apalagi pemilik tidak perlu menjual sarang burung ke Jakarta. Penampung lokal bersedia membeli jumlah satuan hingga kiloan.
Di Jambi memang masih memungkinkan untuk pengembangan walet. Hal itu karena didukung kondisi lingkungan sekitar. Pakan tersedia sepanj ang tahun yang diperoleh dari hutan dan kebun karet. Air pun melimpah dari Sungai Batanghari. “Soal pakan, tak bakal kekurangan,” ujar pengusaha alat-alat pemancing walet itu.
Inovasi untuk budidaya walet pun mulai banyak diterapkan. Pemakaian alat pemancing walet, seperti tape, CD player, atau amplifier umum digunakan di rumah walet. ( Baca : Skema Pemasangan Tweeter Walet Secara Optimal )
Cericit walet tiruan dari lubang walet terdengar di sana—sini begitu menjelang sore. Bagi masyarakat setempat, suara itu sudah lumrah terdengar. Mereka berharap walet hidup nyaman dan beranak-pinak. Dengan begitu liur berharga mahal itu segera dipanen dan dijual.