Tiga orang tampak duduk bersila di sebuah saung kayu beratap rumbia. Mereka asyik menyantap rock glamour Japanese melon. Rasa manis menyergap lidah begitu sepotong melon perlahan dikunyah. Maklum, tingkat kemanisan mencapai 16° briks. Buah berdaging oranye itu pun sangat renyah. Cita rasa melon eksklusif itu karena ditanam dengan sistem irigasi tetes.
Sebanyak 200 kg melon diserbu pelanggan dari seputaran Pekanbaru di kebun milik Muhammad Syifried Wahab setiap akhir pekan. Lokasi kebun berada di 2 tempat, yaitu Marpoyan seluas 15.000 m2 dan Pebatuan Kulim, 1.000 m2 menggunakan greenhouse. “Pengunjung leluasa memilih buah siap petik. Makan sepuasnya di kebun dan bisa dibawa untuk oleh-oleh,” ujar pemilik Puspa Pelita Adya, pusat pengembangan dan pelatihan agribisnis swadaya itu.
Cucumis melon berdaging oranye itu memang andalannya. Terbukti meski bersaing dengan produk sejenis, buah itu kerap paling cepat habis. “Melon itu dijamin manis. “Dalam hal kualitas, saya berani bersaing dengan melon dari daerah lain,” kata pria asal Bengkalis, Riau, itu.
Selain dijual di kebun, Syifried— panggilannya—juga mengirim melon kualitas A ke 4 gerai pasar swalayan, seperti Gelael, Metro, Plaza Citra, dan Mega M di Pekanbaru. Masing-masing menerima 200 kg/3 hari.
Media Tanam Di Tanah pasir
Untuk mendapatkan kualitas buah yang bagus, Syifried menerapkan sistem irigasi tetes. Kebetulan, teknik itu pernah ia pelajari ketika masih bekerja di salah satu perusahaan yang menerapkan sistem itu. Irigasi tetes memasok air dan nutrisi secara tepat sehingga kualitas buah terjamin.
Pengalaman Syifried teknik itu cocok diaplikasikan untuk tanah bertekstur liat berpasir, seperti Pekanbaru. Tanah seperti itu porous dan daya ikat air kurang baik sehingga tidak cocok untuk penanaman melon secara konvensional. Pupuk yang diberikan pun tidak diserap tanaman dengan optimal.
“Sudah 2 kali ujicoba penanaman secara konvensional. Namun, ukuran buah tidak seragam, cenderung kecil dan tidak sesuai yang diharapkan,” kata ayah 3 anak itu. Pemberian air secara berlebihan pun pernah dijajalnya. Alhasil, pembentukan jaring pada kulit buah tidak bagus. Buah mudah pecah.
Proses Instalasi Cukup Sederhana
Prinsip pengairan sistem itu sebenarnya tidak rumit. Air dialirkan dari sumber menuju tanaman melalui beberapa pipa. Debit air yang keluar diatur sesuai kebutuhan. Caranya dengan mengatur ukuran lubang emitter—lubang kecil yang dipasang di ujung selang—atau lama pengairan.
Instalasi pengairan yang dipakai terbagi dalam 3 tahap, yaitu rumah pompa, pipa utama, dan peralatan di lahan. Air dari sumbernya disedot dengan pompa, ditampung di bak setinggi 4 m, lalu didistribusikan ke pipa saluran. Air yang masuk dan keluar dari bak penampung melalui filter untuk menyaring partikel halus. “Pupuk diramu di bak terpisah, lalu diinjeksi dengan pompa sesuai kebutuhan,” ujar konsultan agribisnis itu.
Dari bak penampungan, air dialirkan ke pipa utama berupa paralon berukuran 2 inci. Selanjutnya didistribusikan ke pipa sekunder berukuran 1 inci ke masing-masing petak seluas 1.000 m2. Pipa itu bercabang menjadi 10 pipa lateral, masing-masing “tersimpan” di bawah mulsa plastik hitam perak (MPHP). Pipa hitam pipih itu berlubang kecil dengan jarak 10 cm secara bersilangan. Begitu dialirkan, air yang merembes melalui lubang itu membasahi media tanam.
Metode sama juga diterapkan untuk penanaman di greenhouse. Bedanya, pipa lateral dibiarkan mencuat di atas MPHP. Setiap 10 cm dipasangi selang yang dilengkapi regulating stick. Alat berbentuk mata anak panah itu ditancapkan dekat batang tanaman. Air yang mengalir melalui alat itu membasahi media. “Menurut perhitungan, setiap areal seluas 100 m2 menelan biaya Rp350.000 untuk membeli peralatan. Lantaran mahal, alat itu portable sehingga bisa dipindah sesuai petakan,” kata sulung dari 6 bersaudara itu.
Tergantung cuaca
Dengan instalasi itu penyiraman tanaman tidak membutuhkan banyak tenaga, meski areal penanaman luas. Pengairan lebih efektif dan efisien. “Di sini tanahnya berpasir, kalau disiram banyak, air tetap saja cepat meresap ke tanah,” kata Syifried.
Oleh karena itu penyiraman diatur menurut kondisi cuaca. Idealnya, pengairan dilakukan setiap hari dengan frekuensi 3 kali: pukul 08.00, 11.00, dan 16.00. Durasi penyiraman berlangsung 15 menit.
Menurut perhitungan Syifried setiap pipa mampu memasok 40 liter air untuk lahan seluas 100 m2 per menit. “Jadi setiap 1 m2 mendapat 0,5 liter air,” ucapnya. Bila hujan, frekuensi penyiraman dikurangi menjadi 2 kali, pada pagi dan sore. Lama penyiraman pun cukup 10 menit.
Penanganan di greenhouse lain lagi. Frekuensi penyiraman 3—4 kali setiap hari. Namun, lama pengairan hanya berlangsung 10 menit.
![]() |
Pakai regulating stick efektif penyiraman |
Pemberian Nutrisi Tambahan
Syifried memakai campuran pupuk NPK 16:16:16 dan multi mikro sebanyak 2,5 %. Pupuk itu diramu di bak tersendiri, lalu diinjeksikan dengan pompa ke pipa distribusi. Lantaran tanah pasir, pemberian pupuk 3 hari sekali. Aplikasi pupuk pada pagi hari. Cara sama diperlakukan untuk penanaman di greenhouse. Kebutuhan pupuk per tanaman disesuaikan umur tanaman. Seminggu setelah tanam diberikan 1 g pupuk per tanaman. Dosis itu meningkat hingga 5 g/ tanaman ketika menginjak umur 2 minggu. Seminggu kemudian pupuk ditingkatkan menjadi 7 g/tanaman; minggu ke-4, 10 g/ tanaman; minggu ke-5, 15 g/tanaman. Sedangkan pada umur 6 minggu dosisnya 10 g/tanaman; minggu ke-7, 5 g/tanaman.
Pemberian kalium nitrat (KNO3) sangat penting untuk mempermanis buah. Syifried menambahkannya 10 g/tanaman. Pemberian pada saat tanaman berumur 35 hari, setiap 3 hari. Sebanyak 3 g diberikan pada 3 hari pertama. Tiga hari kemudian menjadi 5 g, lalu 2 g. Panen bisa dilakukan pada hari ke-60 hingga ke-67.
Permasalahan yang acap dialami Syifried ialah lalat buah. Biasanya serangga itu muncul saat buah sebesar bola tenis, umur 3 minggu. Meski telah dibungkus jaring plastik, sebanyak 2,5% tetap saja busuk. “Itu bisa diatasi bila memakai greenhouse. Sayang, investasinya kelewat mahal,” ujarnya.