Meningkatkan Produktifitas Perkebunan Melalui Pola Tanam Rotasi

Meningkatkan Produktifitas Perkebunan Melalui Pola Tanam Rotasi

Awal musim hujan pada November 2018 banyak pekebun berhenti menanam tomat. Namun, Masriyo malah memperluas areal tanam hingga 3  4 ha. Saat panen 3 bulan berselang, pekebun di Garut, Jawa Barat, itu mengantongi Rp 200-juta. Harga tomat melambung menjadi Rp 4.700 per kg dari sebelumnya Rp l.000

Keberhasilan Masriyo mengebunkan tomat bukan datang tiba-tiba. Ia sudah bergelut dengan kerabat kentang itu sejak 10 tahun lalu. Wajar bila karakter tomat diketahuinya di luar kepala. Begitu juga fluktuasi harga yang selalu menyelimuti bisnis Lycopersicon esculentum. “Kuncinya coba dan terus mencoba. Di samping itu lihat pengalaman pekebun lain,” ujar suami Mariam itu. Itu sebabnya, di kala pekebun lain gagal panen tomat di musim hujan akibat serangan penyakit, ia justeru menuai untung.

Masriyo mengebunkan tomat gara-gara tertarik melihat Entis Sutisna, pekebun dari Lembang, Bandung, yang hijrah ke Garut pada akhir 1993. Ketika itu banyak pekebun dari Bandung Selatan memperluas areal tanam ke Kota Dodol.

Langkah Entis ternyata diikuti oleh Haji Ingi, pelopor pekebun tomat di Desa Langeunsari, Kecamatan Tarogong, Garut. Anggota famili Solanaceae itu mengubah keluarga mereka. “Saya kaget. Baru panen beberapa kali, keduanya langsung punya kendaraan roda empat. Bahkan lebih dari satu,” ujar pria kelahiran Garut, 53 tahun silam itu.

 
Ditanam Beragam Varietas Pada Satu Hamparan

Raup untung Lewat Perkebunan

Ayah 6 anak itu sebetulnya juga sudah berkebun. Namun yang ditanam tomat lokal garut—dijuluki tomat goler. Dalam satu musim tanam ia membudidayakan tomat goler seluas 1 ha. Produktivitas rata-rata per tanaman kurang dari 1 kg. Padahal harga di pasaran hanya Rp50—Rp 100, sehingga keuntungan tipis.

Itulah sebabnya tanpa keraguan sedikit pun, pria berkulit sawo matang itu meninggalkan tomat goler dan beralih ke tomat introduksi. Peralihan itu teijadi pada awal 1994. Teknologi budidaya seperti pemberian mulsa, ajir, dan obat-obatan pun dipelajari dari kedua pekebun pelopor di desanya. Maklum, tomat goler yang ditanam sebelumnya, tidak dirawat intensif.

Oleh karena itu ia harus belajar lagi soal budidaya. Acap kali ia menanyakan karakter benih yang ditanam langsung ke produsen benih. Hasilnya 2 kg dipanen dari setiap tanaman. Itu artinya setara dengan pekebun pendahulunya. Keuntungan diraup Rp2-juta saat harga tomat Rp300 per kg.

Laba itu dirasakan amat tinggi dibanding saat ia mengebunkan tomat goler pada luasan yang sama. Paling banter Masriyo meraup untung Rp500-ribu dari tomat goler. Karena keberhasilan itu, ia menambah areal penanaman 1 ha per tahun. Sayang, harga tomat ternyata berayun-ayun, kadang melonjak naik, kadang turun. Bahkan tak jarang anjlok di bawah harga produksi. Itulah sebabnya, ia juga menanam komoditas lain, seperti kol, caisim, dan cabai. Biasanya kala harga tomat turun, komoditas itu nilainya tinggi. Komoditas penyangga itu ditanam di lahan lain.

Ia biasa menjual tomat hasil kebunnya langsung ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur dan Pasar Cibitung, Bekasi. Akhirnya tanpa sadar pria berkulit sawo matang itu dikenal sebagai pengepul di desanya karena nyambi menjual tomat pekebun lain. Waktu itu ia mempunyai usaha dagang. Setiap harinya ia bisa mengangkut 1 truk penuh tomat. Kini usahanya menjadi pengepul diwariskan pada 3 anaknya yang telah berkeluarga.

Campur benih

Bagi Masriyo dan Mariam, mengamati karakter tomat dan pasar menjadi kunci sukses meraup untung. Menurutnya, tomat sulit berproduksi optimal di musim hujan karena rawan penyakit layu. Namun, di saat itulah kerabat kentang harganya melonjak. Jadi, Masriyo memperluas areal tanam di awal musim penghujan walau berisiko tinggi.

Total penanaman 3—4 ha setiap 1 bulan di musim itu. Sebaliknya di awal kemarau, saat para pekebun lain beramai-ramai menanam, Masriyo justru hanya menanam 1 ha per bulan. Saat itu organisme pengganggu relatif sedikit sehingga tanaman berproduksi optimal. Dampaknya produksi membanjiri pasar sehingga harga cenderung menurun.

Untuk menangkal serangan layu, ditanam 4 varietas tomat—yang berbeda karakter—di 1 hamparan. Ada yang tahan cendawan, bakteri, dan kualitas buah beragam. Tujuannya agar heterogen dan teijadi kawin silang antarvarietas. Hasilnya pertanaman tomat terhindar dari penyakit. “Saya amati pekebun lain yang hanya menanam 1 varietas terserang penyakit layu,” ujarnya. Walau begitu, pemberian pestisida tetaplah penting.

Varietas heterogen juga menguntungkan selera pasar. Pasalnya, konsumen di pasar tradisonal terbiasa mendapatkan tomat beragam. Bentuknya ada yang lonjong dan bulat. Begitu juga warnanya ada hijau muda, hijau kemerahan, dan merah cerah. “Selera pasar itu nggak seragam. Konsumen bebas memilih,” ujarnya.

Walau Masriyo sukses mengebunkan tomat, bukan berarti setiap menanam selalu untung. Tahun lalu di kala musim kemarau ia menanam 1 ha per bulan. Populasi per ha sekitar 20.000 tanaman. Bila rata-rata produktivitas 2 kg per tanaman ia menuai 40 ton per ha. Celakanya saat dijual harga menukik tajam, cuma Rp300 per kg. Saat 40 ton tomat itu dijual,kerugian Rp1 8-juta sulit dihindari. “Biaya produksinya saja Rp 1.500 per tanaman. Makanya, boro-boro untung,” tuturnya. Untung ia punya komoditas lain sebagai pelapis. Namun, bila ditotal secara keseluruhan dalam setahun, Masriyo masih bisa menikmati manisnya harga tomat.

 
Mengikuti Pola pekebun Lembang

Tujuh hektar

Berbekal keyakinan itu Masriyo tetap setia bermain tomat. Kini ia mengusahakan kebun seluas 7 ha di Desa Pananjung dan Desa Langeunsari Kecamatan Tarogong, Garut, yang terletak di kaki Gunung Guntur. Lahan seluas itu tak diolah sendiri. Ia mempekerjakan 50 orang. Mereka dipercaya mengolah tanah, merawat, menyemprot, dan memanen. Ia sendiri merencanakan areal tanam, pola rotasi, dan pengawasan pascapanen.

Dari lahan itu, sepekan 2 kali Masriyo memasok minimal 2 truk tomat atau setara 4 ton ke Pasar Cibitung dan Kramatjati. Cucuran keringatnya tak sia-sia. Dua rumah besar setara tipe 72 bertingkat di 2 desa menjadi tempat berteduh. Tiga putranya yang telah berkeluarga bisa berbisnis secara mandiri. Dua putrinya mampu mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Garut. Tomat yang asam manis itu mengubah kehidupan Masriyo.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus