Setiap Maret tiba, sebaiknya kita berpikir tentang air. Mengapa? Pertama, musim banjir sudah lewat. Musim hujan hampir selesai.
Masyarakat internasional merayakan Hari Air Sedunia pada tanggal 20 Maret. Kedua, kita berada di sebuah bulan yang erat hubungannya dengan ikan, yaitu di bawah perlindungan rasi bintang Pisces. Indonesia menghadapi saat-saat berat pada kuartal pertama 2018. Gelombang laut mengganas di mana-mana. Nelayan tak bisa melaut. Pasokan ikan berkurang, sehingga harga ikan melonjak.
Ikan bandeng yang sangat diperlukan pada perayaan tahun baru Imlek juga susah didapat. Harganya naik, dari Rp35.000 menjadi Rp50.000 per kilogram. Krisis ikan memang semakin ganas mendera. Konsumsi ikan bangsa kita kini mencapai 1,2-juta ton per tahun. Padahal ikan di laut semakin sulit ditangkap. Bukan karena gelombang tinggi dan gejala penangkapan berlebihan, tapi juga karena polusi. Pencemaran laut, akibat pembuangan limbah di pantai, setiap saat membunuh berjuta-juta ikan.
Pernahkah Anda berlayar di Teluk Jakarta dan melihat ribuan ikan menggelepar beberapa kilometer menjelang pantai? Pembuangan limbah yang sembrono ke laut, membuat ikan mabuk, bahkan mati serentak, sekejap mata. Ribuan, puluhan ribu, bahkan berjuta-juta ikan mati dalam sehari akibat menurunnya kualitas air. Di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, menurut catatan para aktivis lingkungan, terdapat 53 spesies ikan pada 1999, kini hanya tinggal belasan macam. Lainnya punah.
Demikian juga di Jawa Timur, khususnya di sepanjang Kali Surabaya. Ikan habis gara-gara pencemaran batang air yang menggebu-gebu. Maka, krisis perikanan semakin jelas. Di darat, jumlah situ, kolam, dan telaga berkurang. Produksi ikan juga terancam merosot. Padahal konsumsi ikan terus meningkat, seiring dengan pertambahan penduduk. Pantaslah kalau para ahli pangan dunia meramalkan, anak-cucu kita akan sulit makan ikan pada 2050-an. Para penggemar sea-food sudah diajak prihatin mulai sekarang.
Tabungan air
Laut sepertinya menjadi kurang bersahabat. Gelombang tinggi, pemanasan global yang mendorong naiknya permukaan, menenggelamkan pulau-pulau, menjadi berita silih berganti. Itu diperparah dengan semakin getolnya manusia menjadikan laut sebagai tempat sampah. Kesibukan manusia di laut semakin beragam. Bukan hanya tanker-tanker minyak yang berpotensi bocor, tapi juga limbah pabrik dan perkotaan. Teluk Jakarta hanya contoh nyata, yang memamerkan betapa giat manusia mengotori lautnya.
Padahal upaya kongkrit membersihkan laut sangat sulit, jarang dilakukan, dan sangat mahal. Namun, bukan hanya karena pencemaran di laut, maka kita harus bicara tentang air. Persediaan air di darat pun perlu perhatian. Setelah banjir surut, biasanya warga merasa santai. Tidak takut banjir, tapi juga kurang memperhatikan air. Padahal saat hujan berhenti, musim kemarau datang menyapa. Bencana kekeringan menghadang di depan mata.
Itu bukan masalah perikanan saja, tapi juga pertanian, dan hajat hidup manusia. Di dalam hidup sehari-hari, kita lebih memikirkan uang bila bicara tentang tabungan. Jarang yang mengasosiasikan langsung antara tabungan dengan bahan makanan pokok, apalagi air. Pada zaman dulu, tabungan bisa identik dengan lumbung padi, tumpukan hasil bumi, ternak, termasuk ikan hidup, maupun ikan asin yang sudah dikeringkan. Sekarang, tabungan berarti rekening di berbagai bank berikut berbagai macam insentifnya.
Ada yang menabung untuk dapat hadiah mobil. Ada juga yang terdorong iming-iming tamasya ke luar negeri, atau rumah yang disponsori oleh perusahaan properti. Padahal, banyak tabungan lain yang mampu menjamin hari esok lebih nyata. Termasuk yang paling konkret adalah tabungan air. Air hujan yang berlimpah-ruah pada pergantian tahun, dibiarkan hilang begitu saja. Akibatnya, berkah kehidupan menghilang di depan mata, digantikan oleh ketidak-pastian yang mencekam. Krisis pangan dan krisis masa depan, sepertinya sudah mulai.
Tentu bukan untuk ditakuti, tetapi justru untuk diwaspadai, diatasi. Manusia sudah terbiasa menjadi kreatif pada saat menghadapi kesulitan yang diakibatkan oleh perilakunya sendiri. Berbagai upaya menyelamatkan air dan lingkungan dikampanyekan setiap hari. Ada upaya penanggulangan sampah, penanaman pohon, dan penghematan energi. Tujuannya apa? Untuk memperpanjang umur, memperindah kehidupan di bumi.
Tabungan air dikampanyekan melalui pembuatan biopori, sumur resapan, penanaman pohon, dan efisiensi penggunaan air bersih. Biopori yang dirasakan asing 10 tahun silam, kini mulai mendapat penggemar. Di berbagai kalangan mulai muncul kesukaan membuat lubang-lubang kecil, dengan bor besi sederhana. Bor sepanjang satu meter, dengan garis tengah 10 dan 15 cm dapat menyelamatkan air sampai 10 liter di tiap lubang. Boleh dihitung, berapa ribu liter air bisa ditabung bila setiap desa punya 5.000 lubang biopori.
Tanah subur
Bukan hanya persediaan air yang diperbaiki, tapi juga kesuburan tanah Indonesia. Beribu-ribu desa dapat menciptakan beribu-ribu pori-pori bumi. Lubang-lubang kecil itulah sebenarnya yang akan menyelamatkan mata air dan sekaligus mencegah banjir. Bagaimana mata air bisa diselamatkan? Karena resapan hujan ke bumi ditingkatkan. Bagaimana banjir bisa dicegah? Karena air hujan tidak melimpah ke mana-mana, tetapi meresap ke dalam tanah. Serentak dengan itu, cacing-cacing mendapatkan istana mereka.
Cacing adalah hewan paling berjasa dalam menjaga kesuburan bumi Mereka bekerja siang dan malam untuk menghasilkan pupuk gratis bagi manusia.
Cacing tidak punya mata,
sehingga bisa menyusup dengan leluasa ke dalam lumpur. Cacing-cacing, secara tradisional dan alami adalah pakan ikan. Perikanan darat akan berkembang. Bukan hanya karena banyaknya persediaan cacing, tapi terutama karena air kembali berlimpah dan sehat. Itulah pentingnya tabungan air.
Tentu penyelamatan air tidak cukup hanya melalui upaya mikro. Pembangunan tabungan air dalam sekala menengah, sedang dan besar juga perlu terus berjalan. Sistem drainase yang baik, perlu dikembangkan di setiap kota. Waduk-waduk kecil perlu dibuat lagi, selain taman-taman kota yang dikenal sebagai ruang terbuka hijau. Manusia memerlukan kolam air segar di seputar huniannya.
Para pengembang sudah waktunya diwajibkan membuat danau-danau buatan. Selama ini undang-undang untuk melengkapi setiap rumah dengan sumur resapan, sering ditanggapi dengan berbagai kelit. Ada yang berkelit menukar dengan menanam sejumlah pohon, ada juga yang tidak melaksanakan sama sekali. Semestinya, bila di setiap rumah tidak mungkin ada sumur resapan, karena kualitas tanah lempung yang kurang porus, setiap perumahan perlu memikirkan waduk-waduk penampungan air hujan.
Waduk-waduk itu dapat bermanfaat untuk penyiraman tanaman, pencucian mobil, dan tempat rekreasi. Bisa untuk olahraga air maupun untuk sarana transportasi. Namun, yang paling utama, hasil waduk adalah ikan. Tentu saja dengan catatan airnya sehat karena kualitasnya terjaga.
Pelihara ikan
Indonesia artinya negeri air, tanah air. Sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan. Berapa ribu hektar laut yang benar-benar diurus, untuk budidaya ikan, mutiara, dan rumput laut? Kesan yang mengemuka, adalah satu di antaranya. Kita sudah pernah didorong untuk memelihara lele, mujahir, dan belut di kolam-kolam kecil, bak semen, bahkan tong kayu, tong logam, maupun tong plastik.
Tidak perlu rumah besar untuk memelihara ikan diskus yang mahal. Berbagai usaha ikan hias justru beruntung dengan ruang-ruang yang kecil dan efisien. Peternakan ikan yang bernilai ekonomi tinggi, justru bukan di tempat yang luas. Majalah budidayatani ini berulang-ulang memperlihatkan sukses beternak lobster, lou han, maskoki, dan koi di areal mini. Kuncinya: air yang berkualitas.
Di dunia tanaman, kita sudah mengenal tanaman buah di dalam pot (tabulampot). Di dunia perikanan, kita perlu inovasi dan pengembangan ikan di akuarium, baik ikan hias maupun ikan konsumsi. Sebagaimana satu orang dapat menanam satu batang pohon, pada gilirannya, setiap orang dapat memelihara ikan masing-masing. Tentu bukan hanya di dalam tempat tinggalnya. Bisa saja kita mengadopsi ikan di laut, di danau,
di sungai atau di banjir-banjir kanal, asal kualitas airnya terpelihara.
Memelihara kualitas air, melalui budidaya ikan itulah tugas kita sekarang. Kita mengenal sembilan kebutuhan pokok yaitu beras, minyak goreng, gula, garam dan seterusnya. Kebutuhan pokok kesepuluh adalah pohon, yang langsung memberikan pasokan oksigen. Sedangkan kebutuhan pokok ke
sebelas adalah ikan. Bersama ikan di rumah maupun di pekarangan, kita memastikan adanya air, baik kualitasnya maupun kuantitasnya.
Dengan memelihara ikan secara pribadi maupun secara kolektif, kita bisa ikut menyehatkan dunia. Ini bukan hanya peluang bisnis, tetapi juga panggilan untuk kemanusiaan, dan perbaikan lingkungan. Selamat mencintai air, bersama ikan-ikan hias yang indah, maupun berbagai jenis ikan konsumsi lezat, kalau mau hidup bahagia