Jumat, 05 Juli 2019

30 Juta Perbulan Lewat Budidaya Sayuran Organik Menggunakan Sistem Aeroponik

Di greenhouse 1.000 m2 milik Parung Farm, bayam merah dan hijau menghampar di atas bak seluas 18-20 m2. Tanaman terlihat sehat; daunnya lebar dan sosok vigor. Itu lantaran setiap 3-5 menit sekali nozel menyemprotkan nutrisi ke akar yang menggantung di bawah styrofoam. Dengan aeroponik, anggota famili Amaranthaceae itu mampu berproduksi 5-10% lebih tinggi dibanding menggunakan sistem NFT atau floating raft.

Begitulah Parung Farm, Parung,Kabupaten Bogor, memproduksi bayam untuk memasok kebutuhan pasar swalayan, restoran, hotel, dan kafe langganannya. “Bayam sangat cocok ditanam menggunakan sistem aeroponik dibanding dengan teknologi hidroponik lain,” kata Matius Aritonang, direktur Parung Farm. Itu lantaran pemberian nutrisi lebih tepat dan teratur.

Menurut Matius tren mengkonsumsi sayuran aeroponik dan hidroponik memang meningkat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Kini, hampir semua pasar swalayan di seluruh nusantara memajang aneka sayuran hidroponik Konsumen mulai mengerti hidup sehat. Mereka menginginkan sayuran dengan kualitas tinggi, bersih, dan residu pestisida rendah,” katanya. Makanya selain sayuran aeroponik, sayuran lainnya seperti selada, romanian, dan lolorosa hasil hidroponik NFT juga diminta pasar.

Untung tinggi Dari Teknik Budidaya Aeroponik

Tak heran bila setahun silam Riza Helisandi, mantan general trading bidang otomotif di Bandung menjadi pekebun hidroponik. Halaman yang luas di Cimanggis, Depok disulap menjadi kebun hidroponik seluas 5.000 m2. “Lebih menguntungkan dibanding kerja di Bandung. Pasarnya lebih terbuka dan jelas, asal kualitas bagus,” kata Riza. Di antara puluhan talang NFT yang dialiri nutrisi itulah ia memulai menanam kangkung, caisim, pakcoy, bayam, dan kailan.

Dengan produktivitas rata-rata 1,5- 2 kg/m2 untuk setiap komoditi, alumnus jurusan Teknik Sipil, Universitas Parahyangan, Bandung, itu mampu memanen rata-rata 50 kg/hari. Produksi itu jelas lebih tinggi dibanding budidaya konvensional yang hanya menghasilkan 0,3-1 kg/m2. Dengan total produksi 3-4 ton per bulan, ayah Btari Ista Rahmani itu mampu meraup omzet Rp30-juta-Rp40-juta setiap bulan dengan harga penjualan rata-rata Rp7.000/kg- Rp10.000/kg.

Angin segar dari bercocok tanam aeroponik dan hidroponik juga bertiup di Tapos Hidroponik Farm, Kabupaten Bogor. Awalnya Ir Agus Misbah, pengelola kebun, membangun kebun aeroponik dan hidroponik seluas 600-800 m2 di daerah Cimande, Bogor. Kebun yang terletak 10 km dari Ciawi itu memproduksi caisim dan kangkung 1-2 ton per bulan.

“Karena lagi tren mengkonsumsi sayuran sehat dan higienis, permintaan ikut naik sekitar 50%,” ujar Agus. Akhirnya, greenhouse baru seluas 1.000 m2 di Kampung Tapos, Desa Cileungsi, Kecamatan Ciawi didirikan untuk menopang produksi kebun Cimande. Komoditas aeroponik dan hidroponik seperti bayam, kailan, dan pakcoy pun ditanam selain kangkung dan caisim. Dengan harga jual ke distributor Rp 10.000-Rp15.000/kg/ komoditas, omzet ditangguk minimal Rp30-juta-Rp40-juta per bulan.

 

Permintaan Akan Sayuran Organik Cukup tinggi

“Permintaan bayam dan komoditas hidroponik lainnya meningkat 2 kali lipat dari tahun sebelumnya,” ucap Matius. Setiap bulan alumnus jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang langganan 3-4,5 ton sayuran segar. Menurut Matius lonjakan permintaan hingga 90% dirasakan berasal dari pasar swalayan, kafe, dan hotel-hotel berbintang di Jakarta,Batam, Bali, dan Makassar.

Winz Farm, produsen sayuran hidroponik di Cugenang, Cianjur, juga mengalami kenaikan permintaan selada keriting hingga 25% dari tahun sebelumnya. “Seluruh sayuran aeroponik dan hidroponik mengalami peningkatan permintaan,” ujar Merry Christmas, staf pemasaran. Tak pelak, perluasan areal penanaman hingga 30% dari luasan 20-30 ha.

Ida Bastari bersama suami Ir Daud Husni Bastari, pemilik Abbas Agri Farm di Cipanas itu juga menuai laba tinggi. Ia memasok berbagai jenis sayuran hidroponik seperti kailan, pakcoy, bermacam jenis selada, dan sayuran daun lain. Tidak tanggung-tanggung, permintaan mencapai 300 kg/ bulan untuk 2 komoditas andalan, kailan dan pakcoy.

Menurut Ida Bastari permintaan melonjak drastis pada musim liburan, Natal, dan hari besar lain. “Permintaan hotel dan restoran naik minimal 60%,” katanya. Selada keriting misalnya, untuk memasok sebuah perusahaan distributor di Bintaro, Tangerang saja, ia harus menyiapkan 400- 600 pak berbobot 250 g per bulan. “Itu belum termasuk tambahan permintaan dari hotel-hotel,” tambahnya.

Kurangnya pasokan Produk Organik

Besarnya permintaan yang masuk ke Parung Farm membuat Matius kewalahan memenuhi pasokan. “Sekarang sulit cari barang,” katanya. Sulitnya mendapat pasokan sehingga permintaan ekspor ke Amerika Serikat pun tak terpenuhi. Sama halnya yang dialami Bastari. Lonjakan permintaan membuatnya kelabakan mencari pasokan. “Produksi kebun hanya bisa memenuhi 60-70% dari permintaan,” kata Bastari. Makanya untuk menjaga kontinuitas produksi ia bermitra dengan petani agar kekurangan 30% dapat tertutupi.

Tak heran bila para pekebun aeroponik dan hidroponik lain berusaha meningkatkan produksi. “Produksi kita terbatas karena luasan lahan tidak mencukupi,” kata Agus. Menurut kelahiran Bandung 33 tahun silam itu total produksi 2 kebun yang dikelola 3- 4 ton sebulan sedangkan permintaan bisa 50% lebih tinggi dari produksi.

Sementara untuk memboyong teknologi aeroponik ke kebun membutuhkan biaya tinggi. “Membuat greenhouse, bak nutrisi, nozel, listrik, hingga tenaga kerja membutuhkan modal jutaan bahkan puluhan juta rupiah,” tutur Agus. Menurut hitung-hitungan alumnus Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor itu dibutuhkan Rp6-juta-Rp10-juta untuk membangun 1 blok perangkat aeroponik seluas 73- 75 m2. Artinya, dibutuhkan minimal Rp 100.000 per m2 untuk mengoperasikan kebun. Itu belum termasuk kebutuhan benih Rp200-ribu per bulan.

Besarnya modal untuk membangun greenhouse hidroponik diamini Riza. Menurut kalkulasinya, skala ekonomis budidaya aeroponik dan hidroponik pada luasan 5.000 m2. “Kalau di bawah luasan itu untung sangat kecil malah cenderung rugi kata suami Aslis Lerningtias itu Menurut kelahiran Bandung 34 tahun silam untuk membangun greenhouse lengkap dengan sarananya membutuhkan modal awal 250 juta sampai Rp300 juta. Itu belum termasuk biaya bibit dan tenaga kerja.

Walaupun padat modal tetapi keuntungan yang diraup Juga Besar. Apalagi kemudahan teknologi memberikan harapan untuk diusahakan dalam skala besar maupun rumah tangga toh hingga saat ini pasokan belum terpenuhi Artinya kesempatan mengusahakan sayuran aeroponik dan hidroponik tetap terbuka.

Document last updated at: Jumat, 5 Jul 2019