Analisis Dan Prospek Budidaya Cokelat Ditanah Air

Memasuki musim tanam 2018, dua konsultan cantik datang dari Maryland, Amerika Serikat, ke sarang saya, di Ratu Plaza, Jakarta. “Indonesia harus segera meningkatkan produksi cokelatnya!” kata mereka.

Lebih tegas lagi, dua gadis yang masih tergolong remaja itu yakin, agribisnis, agroindustri, bahkan agroforestri bisa mengangkat daya kompetisi bangsa ini. Bagaimana bisa? Bukankah ekspor cokelat kita sulit menembus pasar karena kadar air yang tinggi dan masalah jamur?

Betul. Namun lihat, konsumsi cokelat dunia terus melonjak. Pengepul dan importir biji kakao (cacao beans‘) yang besar di San Diego menyatakan besar-besar: Out of Stock—persediaan habis. Bukan hanya di Kalifornia, tapi di seluruh dunia. Kakao yang genap 500 tahun lalu dibawa Columbus sebagai oleh-oleh untuk raja Ferdinand di Spanyol, kini menjadi kegemaran di mana-mana.

Mungkin karena remaja tumbuh berlimpah hampir di banyak negara. Atau mungkin juga karena industri pengolahan cokelat berkembang luar biasa. Bukan hanya permen cokelat yang mereka lahap, tapi juga eskrim cokelat, roti cokelat, susu cokelat, dingin maupun panas. Manis, pahit, maupun tawar. Hasil riset mutakhir menyatakan perempuan lebih suka diberi cokelat daripada diajak bermain cinta.

cacao beans
cacao beans

Salah satu, dari dua konsultan cantik itu benar-benar mempesona. Wajahnya oval, matanya cokelat berkilap-kilap. Ia mengingatkan saya pada sobat karib saya di masa remaja. Ah, apa kabar si Cokelat Panas?

Begitu saya memanggilnya. Saya tahu, tidak semua orang suka cokelat. Satu di antara 500 penduduk, bahkan punya kemungkinan alergi terhadap cokelat. Namun, teman saya yang satu ini, betul-betul suka cokelat panas. Pertama kali kami minum berdua, di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, pada 1977. Harganya waktu itu hanya Rp250 secangkir, tapi kurs US$1 sekitar Rp425.

Sekarang, berapa secangkir cokelat dingin di warung donat terdekat? Minimal Rp7.500 kan? Berarti telah meningkat 30 kali lipat. Namun, itu pun belum seberapa jika dibandingkan dengan cokelat panas yang kita nikmati di New York, Paris, atau Tokyo. Pada suatu sore si Cokelat Panas mentraktir saya dengan 2.000 yen, setara Rp 150.000, secangkir, dalam sebuah kafe yang hangat di kawasan Shinjuku.

Terus terang, si Cokelat Panas itulah yang banyak memberikan inspirasi. Ia berpendapat dari sisi bisnis keanekaragaman hayati di Indonesia baru berarti bila masyarakat telah mampu mengolahnya. Jadi, setiap kali sampai di satu daerah, saya diminta mengumpulkan berbagai macam snack, makanan setempat. Naluri kita pada kekayaan alam perlu lebih diperkuat. Jangan bicara Indonesia subur, makmur, dan tergolong mega-diversity, kalau tak punya macam-macam kudapan.

Seperti lazimnya TKI di luar negeri, si Cokelat Panas juga membuktikan diri bahwa orang Indonesia bisa juga gila kerja, workaholic, seperti koleganya di Jepang. Kalau saja kerja-keras itu bisa dilakukan di dalam negeri, seluruh Indonesia sudah kaya raya. Apalagi saat terjadi krisis moneter (1997—2002), ketika para petani kakao di Sulawesi dan Sumatera berlimpah berkah.

Melejitnya nilai dolar—atau lebih tepat: anjloknya rupiah—membuat semua komoditas ekspor betul-betul tampil sebagai kursi roda bagi ekonomi negeri yang lumpuh. Sekadar contoh, harga pasaran kakao mentah di Amerika Serikat mencapai US$350 untuk setiap kantong berisi 22 lbs atau sekitar 10 kilogram. Penghasilan besar itu ternyata telah menina-bobokan pekebun dengan komoditas ekspor.

Sayangnya, harga yang bagus tidak menuntun perencanaan jauh ke depan. Alam subur, keragaman flora dan fauna justru membuat kita terlena. Tidak merasa perlu banting-tulang, apalagi bersaing.

“Indonesia bisa menjadi kompetitif sebagai produsen cokelat,” kata konsultan cantik itu lagi. Tunggu sebentar, nona!

Saya lahir dan besar di pedesaan Jawa. Sejak kecil sudah kenal pohon kakao. Di kebun kakek saya yang rimbun, ada beberapa batang sejak 1960-an. Kalau sedang panen, buahnya berlimpah sampai membusuk. Kami tidak tahu mengolahnya! Hanya nenek yang suka menjemur biji-bijinya, untuk disangrai bersama biji kopi, ditumbuk dan diseduh. Rasanya pahit-pahit sedikit, tidak selezat yang dikirim ke Swiss dan balik lagi dengan harga seratus kali lipat itu!

Itulah tragedi cokelat alias kakao. Masyarakat perdesaan kita hanya pintar menanam, tanpa tahu bagaimana mengolahnya. Setelah panen, hasilnya menunggu dibeli tengkulak. Padahal, duit akan mengucur setelah bahan baku diolah. Aspek finansial cokelat sangat besar setelah menjadi komoditas perdagangan.

Camilan dan kecantikan

Nama latin buah cokelat adalah Theobroma cacao. Bila diterjemahkan kata perkata, cacao berarti camilan para dewa. Itulah nama yang diberikan oleh ilmuwan Swedia, Carl von Linnaeus, sejak 1753. Semula cokelat termasuk biji-bijian rimba, yang berasal dari hulu kawasan Amazon. Sekarang cokelat merupakan afrodisiak (makanan pembangkit gairah) yang paling laku di seluruh penjuru dunia. Kakao adalah sumber magnesium nomor satu di antara seluruh makanan.

Jauh-jauh hari sebelum itu, sekitar abad ke-4 dan 5 Masehi, biji kakao telah memasyarakat di kalangan bangsa Indian kuno. Menurut sejarawan terkenal Francisco Salazar di istana Kaisar Montezuma, penguasa Aztec, gudang cokelatnya berfungsi sebagai sebuah bank. Di sana tersimpan hampir satu milyar biji kakao setiap hari. Setiap butir dimasukkan kotak berisi 400 butir, dan dihitung cermat. Mengapa?

Pada masa itu biji kakao mentah dipakai sebagai mata uang. Sebutir biji kakao nilainya sama dengan sebuah jambu. Seekor ayam kalkun betina senilai dengan seratus biji kakao. Sedangkan seekor anak kelinci cukup dengan 30 butir kakao. Jadi, biji kakao pernah berfungsi sebagai uang, yang sekaligus juga dapat dimakan.

Berbagai penelitian farmasi menunjukkan kakao mengandung arginin (semacam viagra alamiah), serotonin (pengantar antistres), tryptophan (asam amino penahan depresi) dan polyphenol yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan antioksidan dalam kakao, menurut riset di Universitas Cornell hampir dua kali lebih tinggi ketimbang dalam anggur merah maupun teh hijau.

Biji kakao tidak mengandung gula. Kandungan lemaknya relatif rendah bila dibandingkan kacang-kacangan, sehingga tidak usah khawatir menjadi gemuk. Begitulah kampanye konsumsi biji cokelat, dengan produk yang didominasi oleh petani cokelat dari Equador, Amerika Tengah.

Yang menarik, konsumsi “kacang” cokelat mentah ini banyak dikaitkan dengan makanan untuk memelihara kecantikan. Salah satu pakar dan penganjurnya, David Wolfe, penulis buku laris Eating for Beauty. Pria kelahiran 1970 itu terkenal sebagai pakar makanan mentah dan memproduksi berbagai makanan sehat alami.

Budidaya Cokelat

 

Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas

Ibu Lestari pelopor dan pemilik dari Lestari Food Industry yang terkenal itu, punya semboyan jitu: rasa, warna, harga. Di atas semua itu yang penting: tersedia! Sayang semboyan itu bukan untuk cokelat, tapi untuk kacang goreng, kripik pisang, sukun, dan berbagai ragam camilan, temasuk rempeyek dan kacang bawang. Kekuatan bisnis camilan kita bertumpu pada industri rumah tangga, bukan pada teknologi tinggi.

Satu contoh yang jelas, hingga saat ini hanya 13 pabrik pengolahan biji kakao di Indonesia. Dari jumlah itu hanya 4 yang beroperasi. Selebihnya menganggur karena pasokan bahan baku tidak mencukupi. Di kalangan yang beroperasi, hanya mampu memenuhi separuh kapasitas saja dari 200-ribu ton per tahun. Alhasil, produksi biji kakao Indonesia hanya sekitar 400-ribu ton setahun. Jauh, sangat jauh dari kebutuhan cokelat di seluruh dunia.

Padahal, Indonesia negara ketiga penghasil cokelat terbesar, setelah Pantai Gading di Afrika yang memimpin dengan produksi di atas satujuta ton per tahun, dan Ghana. Demikian luasnya perkebunan kakao di tanah air kita, tapi 80% dari yang diekspor adalah hasil panenan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Dalam deretan pemasok cokelat Indonesia hanya mampu menduduki peringkat ke delapan, tertinggal di belakang Amerika Serikat, Arab Saudi, Malaysia, Australia, Swiss, Belanda, Singapura, Selandia Baru, dan Inggris.

Hal itu telah tercermin dari keadaan di dalam negeri. Ketua Umum Asosasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang, mengatakan perusahaan dari luar kini menguasai sekitar 90% dari total volume ekspor biji kakao Indonesia dan hanya 10% saja yang dikuasai oleh para pedagang lokal.

Artinya apa? Kemampuan rakyat kita dalam mengolah kekayaannya masih jauh dari harapan.

Selain produktivitas yang rendah, hingga 2002, produk kakao Indonesia juga termasuk buruk. Di terminal kakao New York, ekspor dari Indonesia bisa kena diskon sampar US$300 per ton. Melalui standarisasi SNI, kualitas biji cokelat kita diharapkan bisa naik, sehingga diskon itu bisa ditekan sampai US$100 per ton. Kelemahan umum produksi cokelat Indonesia adalah tingginya cendawan, kadar air, dan campuran residu. Singkatnya: mungkin kurang bersih.

Sekarang dapatkah para petani kita menjawab tantangan itu, dengan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksinya? Saya katakan pada kedua nona dari Amerika Serikat, semoga cokelat bisa merangsang rakyat Indonesia lebih cinta perdamaian. Terima kasih kalau bisa membuat petani lebih paham mata-rantai produksi, dan perdagangan kakao di bumi. Bukan hanya menikmati harga bagus dengan menjual bahan bakunya, tapi juga mengerti lebih dalam, lebih pandai mengolah, menjual maupun menikmatinya.

Lebih baru Lebih lama