Berburu Eksotik Botia Langsung Di habitat Alaminya

Berburu Eksotik Botia Langsung Di habitat Alaminya

Semilir angin berhembus menerpa pohon rengas di sepanjang sungai Batanghari. Di ufuk barat mentari jatuh di kaki langit. Perlahan-lahan ronajingga memudar. Dari sungai terlebar di Jambi itulah bajubang alias botia menjadi sumber penghidupan puluhan nelayan. Inilah laporan budidayatani yang menyusuri sungai itu.

Gemercik aliran air sungai selebar 600 m itu sayup-sayup terdengar di telinga. Sebuah sampan bergerak di tepi sungai. Seorang nelayan menebar jala dari atas sampan itu. Sekali melempar, 4 ikan kecil tersangkut mata jaring.

Alunan adzan Maghrib berkumandang dari mesjid di dusun Senaning, Desa Lubukruso, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari. budidayatani, Achiang dan Munib, pemasok botia di Jambi, Sukirman, pensiunan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi, duduk di tepian sungai. Perahu yang dipesan belum kunjung tiba.

Deru perahu motor 25 PK meraung raung memecahkan kesunyian malam. Dengan berpijak pada papan kayu, kami melompat ke atas perahu. budidayatani duduk di tengah, Sukirman dan Aching di belakang. Sementara Munib nongkrong di depan memandu kami menyusuri sungai Batanghari. Senter yang dipegang Munib acap dihidupkan untuk memudahkan olah gerak kapal kayu itu.

Dua jam Pukul 18.30 perahu yang kami tumpangi bergerak perlahan menyeberangi sungai sedalam 10 m itu. Sunyi senyap. Yang terdengar hanya deru motor yang terseok-seok mengikuti arus air.

Untuk mencapai Sungai Danau Bangko—lokasi perburuan botia butuh waktu sekitar 2 jam. Perjalanan harus menyusuri anak sungai Batanghari yang berkelok—kelok.

Satu jam berselang Munib menyalakan senternya. Tampak gundukan pasir memecah sungai menjadi 2 bagian. Perahu pun bergerak ke kiri menuju anak sungai selebar 8 m itu.

Suara burung malam seperti menyambut kedatangan kami. Tak ada lagi lampu neon di sisi sungai. Gelap gulita. Yang tampak rerimbunan pohon dan akar—akar besar memadati sungai. Senter di tangan Munib tak henti-hentinya menyala agar perahu tidak menabrak dinding sungai. Untungnya, Rosihan— sang nakhoda sudah hafal liku-liku sungai itu.

Sepanjang perjalanan, budidayatani melihat nelayan memancing ikan belida. Mereka “bersenjatakan” pancing dan umpan ikan kecil. Kalau musim, November—Januari, pemburu botia sudah bisa dijumpai di tempat itu.

Bila tidak, nelayan terpaksa berburu ke hulu sungai. Untuk membedakan dengan nelayan ikan lain, Munib menyebut ’’nabung” istilah untuk penangkap botia.

 

Perangkap Botia Menggunakan Bambu kecil

Penangkap botia mudah dikenali. Sebab, ia selalu melambaikan tangan sebagai isyarat; nelayan ikan lain, diam. Isyarat itu muncul saat sebuah perahu merapat ke pinggir. Nakhodanya Sono tampak lusuh. Namun, senyum merekah dibibir pria berusia 57 tahun itu. Sesekali rokok kretek disedotnya dalam-dalam untuk menghangatkan badan.

Sono duduk di tengah sampan. Lampu kapal—alat penerangan berbahan bakar minyak tanah di haluan memancarkan sinar kuning sejauh 3 m. Di buritan keranjang plastik kumal berisi bekal dan termos kopi.

Dayung kayu yang digenggam di tangannya diayunkan perlahan ke permukaan air. Sampan kayu itu bergerak perlahan. Begitu mendekati tali plastik yang terikat di ranting, 3 bambu seukuran jempol kaki dan panjang 30 cm langsung diangkat. Itulah alat para “nabung” untuk menangkap botia.

Batang beruas di tengah itu diikat dengan tali plastik, lalu dihubungkan tali lain sepanjang 50 cm. Agar bambu tetap melayang, sekaligus sebagai tanda, dipasang styrofoam kecil sepanjang 30 cm dari bambu. Botia macracantha biasanya bersembunyi di bambu itu saat matahari tenggelam. Begitu masuk, botia berukuran 1 inci dipastikan tidak bisa keluar lagi. Ikan berbentuk kapal selam itu terjebak dalam bambu. Semakin dikejutkan ikan lincah itu kian masuk ke dalam.

Bambu kemudian diangkat dan diketuk-ketukkan ke serokan, 2 botia menggelepar di jaring. Dengan cekatan tangan Sono memungutnya, lalu dimasukkan ke kantong plasitik. Perahu pun beringsut ke bambu lain yang dipasang sejauh 3 m. Sebanyak 2.000 “perangkap” dimiliki Sono.

 

Pasokan Botia Yang Terus Berkurang

Malam Jumat itu, dewi fortuna seperti menjauh. Empat jam menyusuri Sungai Batanghari sejak 18.00 Sono hanya mengumpulkan 25 botia. Itu setelah ia mengangkat 500 bambu. Biasanya ia berhasil mengumpulkan ratusan ekor dalam waktu sama.

Sono memutuskan untuk pulang. Dengan hasil tangkapan itu ia berharap mendapat Rp 18.750 dari penjualan botia. Harga jual seekor botia 1 inci Rp750 saat tidak musim yang jatuh pada Februari— April. Ketika musim, harganya cuma Rp75.

Malam semakin larut. Meski telah menyusuri sepanjang 30 km, budidayatani hanya menjumpai seorang nelayan. Rombongan pun memutuskan untuk kembali ke Lubukruso.

Sungai Bangko hanya salah satu lokasi penangkapan botia. Masih banyak anak sungai Batanghari yang menyimpan ikan bergaris hitam itu. Contohnya di Sungai Alai. Lubuktapak, Pulau Tamiang, Lubuk Kayo Aro, Lubukmanik, Lubukapung. dan Danau Teluk.

Botia salah satu komoditas ikan hias yang banyak diminta pasar dunia. Selain dari Jambi, ikan bercorak indah itu juga ditangkap di Palembang dan Kalimantan. Maklum hingga saat ini botia mengandalkan tangkapan alam.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus