Pembesaran kepiting di Maros memang masih mengandalkan bibit tangkapan alam. Harap mafhum belum ada peternak yang berhasil membibitkan kepiting. Henky Johan, eksportir kepiting di Makassar, pernah mencoba tapi gagal.
Musababnya larva umur 20 hari yang dipelihara di kolam mati sebelum menjadi besar. “Kanibalisme dan serangan bakteri menjadi sebab utama kematian larva dalam waktu singkat,” ujar Ir Sulaeman M.Fil, peneliti crustaceae dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan.
Aktivitas berburu anak-anak kepiting berbobot sekitar 50 g/ekor itu sudah berlangsung selama 10 tahun. Awalnya, setelah banyak terkumpul anak-anak Desa Pabentengan itu langsung menjual kepiting itu ke pasar seharga Rp 15.000/kg.
Nasib baik bila mendapat kepiting besar, di atas 250 g/ekor yang dijual Rp 40.000/ekor. “Sudah setahun terakhir ini tangkapan anak-anak kepiting itu diambil untuk dibesarkan di kolam,” ujar Syamsu yang berhitung bakal mendulang pendapatan besar bila menjual ukuran 250 g/ekor.
Terbatasnya sumber bibit itu menyebabkan budidaya kepiting belum bisa dikembangkan besar-besaran. Padahal, serapan pasar dunia untuk kepiting mencapai 400.000 ton/tahun. Indonesia hanya mampu memasok 18.848 ton/tahun, sekitar 21% dari total kebutuhan itu.
[caption id="attachment_18424" align="aligncenter" width="300"]
Kepiting Dengan Bobo 250gr Sudah Siap Untuk Dipanen[/caption]
Syamsu memilih membesarkan bibit kepiting minimal berbobot 50 g/ekor. Itu dilakukan untuk memperkecil risiko kanibalisme. Untuk mencapai ukuran konsumsi di atas 250 g/ekor butuh waktu sekitar 3 bulan. Selama itu kepiting-kepiting itu
akan melewati 2 kali masa moulting atau ganti kulit. “Itu dengan tingkat kelulusan hidup sekitar 40%,” tambah Syamsu. Kepiting-kepiting itu dibesarkan di kolam tanah seluas 5.000 m2 yang berada di tepi Laut Sulawesi.
Sejatinya Syamsu memiliki kolam-kolam lain di lahan 3 ha. Namun karena jumlah bibit kepiting terbatas, kolam-kolam itu lebih banyak dipakai beternak bandeng. Agar kepiting tidak berpindah ke kolam bandeng, Syamsu memberi jaring setinggi 2 m di sekeliling kolam.
Kolam pembesaran kepiting sedikit berbeda dibandingkan kolam bandeng. Kolam itu memiliki kedalaman 1 m. Setengah dati tinggi kolam diberi lumpur setebal 50 cm. “Itu sebagai tempat sembunyi kepiting supaya tidak saling menyerang,” ujar Syamsu.
Tinggi air kolam dijaga sekitar 30 cm. air dijaga stabil. Syamsu juga membuat parit kecil selebar 30 cm di 2 sisi kolam. Bila air jernih, dibiarkan tergenang. Sebaliknya jika air terlihat kotor penuh lumpur, pintu parit dibuka agar tidak menjadi sarang penyakit. “Kolam seluas itu dapat ditebar 30—60 kg bibit,” ujar Syamsu
Kepiting-kepiting itu diberi pakan ikan rucah, limbah pelelangan ikan dan pemotongan hewan. “Kepiting hewan omnivora, sehingga dapat makan apa saja,” kata Sulaeman. Ikan rucah disukai karena tenggelam. Itu sesuai karakteristik kepiting yang mencari pakan di dasar kolam.
Ikan rucah pun kaya kandungan protein, mencapai 25%. Sedangkan limbah ternak mengandung 33,5% karbohidrat dan 8,4% protein. Udang kadang-kadang diberikan sebagai sumber kalsium. Untuk 60 kg bibit, Syamsu menaburkan 36 kg pakan yang dibagi 2 kali pemberian, pagi dan sore.
[caption id="attachment_18423" align="aligncenter" width="300"]
Dari kolam 5.000 m2 dipanen 1 kuintal kepiting[/caption]
Panen tak bisa serempak karena kecepatan pertumbuhan kepiting berbeda. Setelah berumur 3 bulan, panen dilakukan seminggu sekali dengan sistem seleksi menggunakan perangkap dakkang. Perangkap itu ditancapkan di sisi jaring dengan jarak 2 m satu sama lain.
Untuk kolam pembesaran kepiting seluas itu dibutuhkan 50 buah dakkang. Dengan umpan ikan rucah yang diselipkan di pangkal dakkang, tak sampai 5 menit kepiting berukuran di atas 250 g terjebak. Yang berbobot kurang dari 250 g dikembalikan dalam kolam.
Kepiting yang dipanen diikat menggunakan tali plastik. Namun, saat hasil panen melimpah, kepiting itu cukup dimasukkan ke dalam keranjang yang berisi daun-daun bakau segar. “Daun-daun itu sebagai tempat bersembunyi untuk mencegah kepiting saling serang,” ujar Syamsu. Setelah sampai di darat, kepiting itu diikat.
Lantaran pembesaran kepiting menggunakan cara tradisional, Syamsu perlu waktu hingga 7 jam untuk memanen kepiting. Sekali panen diperoleh 50—100 kg kepiting. Nah, biasanya sekitar pukul 19.00 WITA, kepiting hasil panen itu diantarkan ke salah satu gudang milik eksportir kepiting di Makassar.
Dari sana kepiting-kepiting itu dikirim ke Singapura, Thailand, dan China. Dari budidaya kepiting itu Syamsu mendapat omzet bisnis kotor Rp4-juta sampai Rp8-juta/minggu.
Syamsu memang bukan satu-satunya peternak pembesar kepiting di Maros. Masih ada sekitar 20 peternak lain dengan luas kolam bervariasi antara 0,5—10 ha.
Namun, terdapat kesamaan di antara peternak-peternak itu. Mereka tetap mengandalkan bibit kepiting tangkapan alam untuk mendulang pendapatan besar.
Musababnya larva umur 20 hari yang dipelihara di kolam mati sebelum menjadi besar. “Kanibalisme dan serangan bakteri menjadi sebab utama kematian larva dalam waktu singkat,” ujar Ir Sulaeman M.Fil, peneliti crustaceae dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan.
Aktivitas berburu anak-anak kepiting berbobot sekitar 50 g/ekor itu sudah berlangsung selama 10 tahun. Awalnya, setelah banyak terkumpul anak-anak Desa Pabentengan itu langsung menjual kepiting itu ke pasar seharga Rp 15.000/kg.
Nasib baik bila mendapat kepiting besar, di atas 250 g/ekor yang dijual Rp 40.000/ekor. “Sudah setahun terakhir ini tangkapan anak-anak kepiting itu diambil untuk dibesarkan di kolam,” ujar Syamsu yang berhitung bakal mendulang pendapatan besar bila menjual ukuran 250 g/ekor.
Terbatasnya sumber bibit itu menyebabkan budidaya kepiting belum bisa dikembangkan besar-besaran. Padahal, serapan pasar dunia untuk kepiting mencapai 400.000 ton/tahun. Indonesia hanya mampu memasok 18.848 ton/tahun, sekitar 21% dari total kebutuhan itu.
[caption id="attachment_18424" align="aligncenter" width="300"]

Budidaya Kepiting Di Kolam tanah
Syamsu memilih membesarkan bibit kepiting minimal berbobot 50 g/ekor. Itu dilakukan untuk memperkecil risiko kanibalisme. Untuk mencapai ukuran konsumsi di atas 250 g/ekor butuh waktu sekitar 3 bulan. Selama itu kepiting-kepiting itu
akan melewati 2 kali masa moulting atau ganti kulit. “Itu dengan tingkat kelulusan hidup sekitar 40%,” tambah Syamsu. Kepiting-kepiting itu dibesarkan di kolam tanah seluas 5.000 m2 yang berada di tepi Laut Sulawesi.
Sejatinya Syamsu memiliki kolam-kolam lain di lahan 3 ha. Namun karena jumlah bibit kepiting terbatas, kolam-kolam itu lebih banyak dipakai beternak bandeng. Agar kepiting tidak berpindah ke kolam bandeng, Syamsu memberi jaring setinggi 2 m di sekeliling kolam.
Kolam pembesaran kepiting sedikit berbeda dibandingkan kolam bandeng. Kolam itu memiliki kedalaman 1 m. Setengah dati tinggi kolam diberi lumpur setebal 50 cm. “Itu sebagai tempat sembunyi kepiting supaya tidak saling menyerang,” ujar Syamsu.
Tinggi air kolam dijaga sekitar 30 cm. air dijaga stabil. Syamsu juga membuat parit kecil selebar 30 cm di 2 sisi kolam. Bila air jernih, dibiarkan tergenang. Sebaliknya jika air terlihat kotor penuh lumpur, pintu parit dibuka agar tidak menjadi sarang penyakit. “Kolam seluas itu dapat ditebar 30—60 kg bibit,” ujar Syamsu
Kepiting-kepiting itu diberi pakan ikan rucah, limbah pelelangan ikan dan pemotongan hewan. “Kepiting hewan omnivora, sehingga dapat makan apa saja,” kata Sulaeman. Ikan rucah disukai karena tenggelam. Itu sesuai karakteristik kepiting yang mencari pakan di dasar kolam.
Ikan rucah pun kaya kandungan protein, mencapai 25%. Sedangkan limbah ternak mengandung 33,5% karbohidrat dan 8,4% protein. Udang kadang-kadang diberikan sebagai sumber kalsium. Untuk 60 kg bibit, Syamsu menaburkan 36 kg pakan yang dibagi 2 kali pemberian, pagi dan sore.
[caption id="attachment_18423" align="aligncenter" width="300"]

Seleksi Kepiting Saat panen
Panen tak bisa serempak karena kecepatan pertumbuhan kepiting berbeda. Setelah berumur 3 bulan, panen dilakukan seminggu sekali dengan sistem seleksi menggunakan perangkap dakkang. Perangkap itu ditancapkan di sisi jaring dengan jarak 2 m satu sama lain.
Untuk kolam pembesaran kepiting seluas itu dibutuhkan 50 buah dakkang. Dengan umpan ikan rucah yang diselipkan di pangkal dakkang, tak sampai 5 menit kepiting berukuran di atas 250 g terjebak. Yang berbobot kurang dari 250 g dikembalikan dalam kolam.
Kepiting yang dipanen diikat menggunakan tali plastik. Namun, saat hasil panen melimpah, kepiting itu cukup dimasukkan ke dalam keranjang yang berisi daun-daun bakau segar. “Daun-daun itu sebagai tempat bersembunyi untuk mencegah kepiting saling serang,” ujar Syamsu. Setelah sampai di darat, kepiting itu diikat.
Lantaran pembesaran kepiting menggunakan cara tradisional, Syamsu perlu waktu hingga 7 jam untuk memanen kepiting. Sekali panen diperoleh 50—100 kg kepiting. Nah, biasanya sekitar pukul 19.00 WITA, kepiting hasil panen itu diantarkan ke salah satu gudang milik eksportir kepiting di Makassar.
Dari sana kepiting-kepiting itu dikirim ke Singapura, Thailand, dan China. Dari budidaya kepiting itu Syamsu mendapat omzet bisnis kotor Rp4-juta sampai Rp8-juta/minggu.
Syamsu memang bukan satu-satunya peternak pembesar kepiting di Maros. Masih ada sekitar 20 peternak lain dengan luas kolam bervariasi antara 0,5—10 ha.
Namun, terdapat kesamaan di antara peternak-peternak itu. Mereka tetap mengandalkan bibit kepiting tangkapan alam untuk mendulang pendapatan besar.