Kebutuhan Pasar Yang Cukup Tinggi, Budidaya Ulat Sutra Tanah AirSemakin Digenjot

Kebutuhan Pasar Yang Cukup Tinggi, Budidaya Ulat Sutra Tanah AirSemakin
Digenjot

Pantas Ratu Sirikit kagum pada kain sutra alam yang diberikan Kanjeng Ratu Hemas. Pasalnya, warga dunia menganggap kualitas benang sutra asal Indonesia kalah jauh dibanding benang asal China dan Thailand. “Kualitas dan ukuran diameter benang tidak seragam.Begitu dibuat kain hasilnya tak sebagus China.” kata FX Koesharto, entomolog dari Institut Pertanian Bogor.

Kain sutra alam dari Yogyakarta itu menjungkirbalikkan fakta yang berkembang di masyarakat. Sejak 1995 Yogyakarta memang mengembangkan sutra har. Itu dipelopori oleh Kanjeng Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Dr Jestmandt Situmorang, pakar ulat sutra dari Universitas Gadjahmada. Keduanya menggandeng pengusaha dari Jepang dan pemerintah kabupaten di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Yang istimewa, Jestmandt memilih ulat sutra Cricula trifenestrata dan Attacus atlas untuk dikembangkan. Keduanya pemakan segala daun, tak seperti ulat sutra Bombyx mory yang hanya doyan daun murbei. Pakar entomologi dari Fakultas Biologi itu melihat di Jawa banyak terdapat kebun mete, mahoni, dan jati. “Cricula dan attacus suka daun itu. Jadi masyarakat tak perlu berkebun murbei, tinggal manfaatkan yang ada,” katanya.

Ulat Sutera Emas#### Pohon Mete dan mahoni

Pilihan Jestmandt dan Ratu Hemas tak sia-sia. Di Kabupanen Wonogiri misalnya. Ulat sepanjang 12 cm seukuran jempol kaki tampak menggantung di daun mete dan mahoni yang tumbuh subur pada November -Maret karena musim hujan. Pemandangan itu sangat luar biasa lantaran areal kebun mete mencapai 20.403 ha. “Hampir setiap kebun dihuni ulat sutra. Pekebun tinggal memungut hasil,” kata Jestmandt.

Dari sana setiap tahun dihasilkan 500 – 700 ton kokon kering. Ia dihargai di Jepang US$100 setara Rp900-ribu per kg. Menurut Jestmand, negeri Sakura adalah penyerap terbesar sutra asal Cricula trifenestrata sebagai bahan kimono, baju khas Jepang. Sayang, pekebun hanya menguasai sektor hulu, sehingga mereka hanya menikmati sekitar Rp90-ribu per kg. Namun, itu tetap menguntungkan. “Toh, perawatan tak seintensif sutra murbei. Cuma mengawasi soal kepemilikan dan memungut kokon,” katanya.

Harga sutra alam tinggi karena eksklusif. Di dunia baru dikembangkan di 2 negara: India dan Indonesia. Sulawesi Selatan dan Yogyakarta adalah 2 daerah yang telah berhasil mengembangkannya di nusantara. Lantaran langka itu harga benang sutra alam melangit hingga Rp1,8-juta per kg. Bila sudah menjadi kain mencapai Rp300-ribu per meter. “Harga itu 3 -4 kali lipat dari sutra biasa,” kata Koesharto. Yang juga membuat langka, sutra alam sangat tergantung musim, ia butuh musim penghujan.

Sayang, Jestmand enggan mengatakan angka pasti permintaan Jepang pada sutra alam. Namun, dari penelusuran budidayatani di dunia maya, sebuah produsen kain sutra Jepang membutuhkan 1 ton benang per tahun dari ulat sutra liar yang dikembangkan masyarakat pedesaan Yogyakarta. Permintaan itu baru terpenuhi 25 kg untuk pembuatan kain bahan pakaian tradisional kimono.

Sutra murbei

Sebetulnya tak hanya sutra liar yang diminta pasar. Kokon dan benang sutra asal Bombyx mory -si pemakan murbei – pun dicari industri lokal. Musababnya, pemerintah Cina melarang pengusaha sutra di negaranya untuk mengekspor bahan baku dasar. “Tahun ini Cina menyetop ekspor kokon, mereka hanya boleh mengirim benang,” kata Koesharto. Padahal, sejarah menunjukkan industri sutra kita ambruk pada dekade 90-an dan baru bangkit ketika 1999 Indonesia mengimpor kokon. Pengalaman itu membuka peluang sektor hulu perulatsutraan Indonesia bangkit kembali. Atau justru sebaliknya, masa kelam industri ulat sutra terulang lagi.

Peluang itulah yang ditangkap oleh PT IPB Petromat Agrotech. Sejak Maret 2003 mereka membuka kebun murbei seluas 1 ha di Sukamantri, Bogor. Murbei ditanam pada blok masing-masing seluas 1/4 ha untuk menjaga rutinitas panen. budidayatani melihat, di tengah lahan berdiri rumah ulat seluas 100 m2. Di dalamnya rak-rak berukuran 6 m x 1,5 m x 1,6 m penuh sesak oleh ulat sutra yang sedang melahap daun murbei. Dari sana setiap 35 hari dipanen 50 -75 kg kokon segar. Itu hasil dari 2 -3 boks telur sutra yang didatangkan dari Soppeng, Sulawesi Selatan dan Candiroto, Jawa Tengah.

#### Permintaan Pasar Akan Produk Sutra tak terbatas

Menurut Rudi Wahyudi, direktur PT IPB Petromat Agrotech, produksi itu belum memenuhi permintaan pesanan pabrik benang. Lantaran itu, ia harus bergerilya ke Sukabumi dan Lampung untuk mencari kokon. “Berapapun jumlahnya kita pasti serap. Permintaan tak terbatas,” kata Rudi. Itu bukan omong kosong. Pasalnya, walau peternak ulat sutra di seluruh Indonesia dikumpulkan, produksi mereka tak mencukupi kebutuhan pasar.

Musababnya, kendala klasik yang menimpa pekebun murbei -sekaligus peternak ulat sutra -tak kunjung teratasi. Ulat sutra hanya makan murbei segar. Itu sulit dipenuhi pekebun lantaran areal tanam tidak dibagi per blok. Pun peternak, pengeringan kokon secara tradisional dengan sinar matahari -menurunkan mutu. “Bila tidak kering, pupa dalam kokon berubah jadi kupu-kupu (ngengat, red). Permukaan kokon bolong, benang yang dihasilkan mudah putus,” kata Koesharto. Andai pun tak jadi kupu-kupu, kualitas kokon tetap rendah karena berwarna cokelat.

Kerikil tajam di sektor hulu itu bukan berarti tanpa jalan keluar. Rudi mampu mengatasi itu dengan manajemen kebun murbei dan pemakaian alat pengering tenaga surya (baca: Pengering Kokon Bertenaga Surya, ).

Kokon yang dihasilkan pun berkualitas. “Putih tak bernoda, dan koclak’,’ katanya. Ia pun mempunyai alat pemintal -sekaligus pemuntir benang -sederhana yang mampu menjaga keseragaman ukuran benang. Bila murbei itu diadopsi pekebun murbei dan peternak sutra di tanah air, kebangkitan sutra Indonesia bukan mimpi di siang bolong. “Inilah saatnya sutra Indonesia bangun dari tidur,” kata Koesharto. Tentu Ratu Sirikit pun tak hanya memuji sutra liar yang dihasilkan pekebun di Yogyakarta. Ia juga pasti mengacungkan jempol pada sutra hasil budidaya

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus