Sejak 6 kulan lalu PT Nusantara Bangla Abadi (NBA) menghentikan ekspor kayumanis ke mancanegara. Persaingan harga antar eksportir menjadi pemicu. Seperti efek domino, pekebun dan pengepul turut kena getahnya. Beruntung, nasib buntung itu tak menjalar ke eksportir di Padang, Sumatera Barat.
Gejala kelumpuhan ekspor kayu manis itu mulai terasa sejak 1990. Ketika itu terbit surat edaran Dirjen Perdagangan Luar Negeri No 14A/ Daglu-32/82/EX dan KUM804/Daglu/ 1490/87. Isinya mencabut kuota ekspor. Pemerintah tidak lagi membatasi volume ekspor keluarga Lauraceae yang sebelumnya berada pada kisaran 12.837 ton per tahun.
Di satu pihak peraturan itu memang menguntungkan. Sebab, permintaan yang merangkak terpenuhi. Di sisi lain justru menjadi bumerang. Ibarat gula, eksportir (dadakan) ramai-ramai mengirim kayumanis. Yang penting barang terjual. Perang harga pun tak terelakkan. Dampaknya banyak eksportir yang berhenti.
![]() |
Gara-gara terpuruk daun dan ranting dijual |
“Tipis untungnya tak sebanding dengan operasional,” ucap Indri dari NBA. Semula eksportir di Jakarta Pusat itu mengirim lOton/bulanpada 1995. Volume itu berangsur-angsur turun hingga 3 ton/ bulan, lalu benar-benar berhenti.
Pada masa keemasan sekitar 1980— 1990-an, harga kayumanis kualitas AA berkadar minyak 2,25% mencapai US$90 sen per pond (1 pond = 0,4536 kg). Begitu kuota dicabut perlahan harga merosot. Saat ini per pond menyentuh US$30 sen. Agustus—November silam harga itu terdongkrak mencapai US$42 sen per pond.
Soal jenis pun ditengarai menjadi biang keladi. Pasalnya, rata-rata ekportir yang gulung tikar khususnya di Jawa menjual Cinnamomum cassia. Jenis kayumanis asal Cina itu memiliki kadar sinnamaldehid yang tinggi sekitar 85% sehingga terasa pahit. Ia cocok sebagai bahan baku minyak asiri bukan bumbu. Itulah sebabnya pasar dunia lebih menyukai C. burmanii.
Terpuruk
Kenyataan itu terasa menyesakkan pekebun di Jawa. Bila menyusuri sentra kayumanis tertua di Jawa sejak zaman VOC di Desa Kebumen, Kecamatan Baturaden, Purwokerto, rempah manis itu mulai tersaingi albazia. C. cassia tak lagi memberi harapan. “Sejak 1985 sampai sekarang harganya sama saja cuma Rp1.500 per kg basah dan Rp2.500 per kg kering,” ucap Kaslam pekebun setempat. Dari 1.000 pohon yang dipelihara turun-temurun kini tersisa 200 pohon. Penyusutan itu terjadi karena ayah putra 2 memperbanyak sengon.
Sangadi memilih membiarkan 100 pohon yang rata-rata berumur 10 tahun. Pekebun di Desa Ngalarak, Kecamatan Jambu, Semarang itu patah arang lantaran pengepul enggan menampung kayumanis. Padahal, pada 1985—1990, justru pengepul berbondong-bondong berebut membeli. Bahkan tak sungkan turut ikut memanen.
Saat ini pengepul memang mengurangi volume pembelian. Malahan Nasruddin dan Yatin, dua pengepul besar di Purwokerto dan Ambarawa, melakukannya sejak 5 tahun lalu. Nasrudin semula rutin memasok 4—5 ton per 3 bulan ke pedagang di Cianjur, Jawa Barat. Kini cuma menerima order 3 ton/ tahun. Situasi lebih parah dialami oleh Yatin. Hampir setengah tahun 5 ton kayumanis di gudang tak bisa terjual.
Keadaan seperti itu mendorong Lukmadi mantan pengepul kulit di Desa kebonmanis, Kecamatan Baturaden, Purwokerto, memilih jadi pengumpul daun dan ranting kayumanis. Per 3 bulan sebanyak 4 ton bahan itu diambil oleh pedagang di Semarang untuk bahan baku jamu. Ayah 2 putra itu membeli Rp250 per kg ranting beserta daun kering sebelum dijual kembali Rp600 per kg.
Perdagangan
Dalam dunia perdagangan, terdapat 3 jenis kayumanis yang diperjualbelikan. Cinnamomum burmanii, C. cassia, dan C. zeylanicum. Ketiganya dikebunkan diberbagai daerah di Indonsia seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Segmen pasar C. burmani adalah industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, rokok, dan oleoresin. C. cassia dan C. zeylanicum lantaran berkadar minyak di atas rata-rata 3% digunakan sebagai sumber minyak asiri.
Kebutuhan dunia untuk ke—3 jenis Cinnamomum berupa kulit kini berkisar 22.000—30.000 ton per tahun. Itu tidak termasuk bahan baku untuk minyak asiri 150 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan oleoresin—diperoleh dari ekstrak kayu dengan pelarut organik—mencapai 7—10 ton per tahun. “Setiap tahun ada kenaikan 1,5—2,5%,” ucap Sufli Yusuf, direktur pemasaran Sufindo Grup, eksportir di Jakarta.
Indonesia memang pemasok utama kayumanis. Hampir 80% pangsa pasar dikuasai Cinnamomum dari Nusantara. Sayang, karena keterbatasan teknologi, eksportir menjual dalam bentuk setengah jadi. “Itu berbeda dengan Vietnam dan Cina. Keduanya mampu menghasilkan olahan berkualitas tinggi,” ucap Ir Sofyan Rusli, ketua Kelompok Peneliti Pascapanen Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Bogor.
Vietnam dan Cina memang mulai tampil sebagai pesaing serius cassiavera Indonesia. Dalam situs agroviet, produksi nasional Vietnam mencapai 15.450 ton per tahun. Calon-calon kompetitor lain seperti Malaysia dan Kamboja malah mulai mengebunkan secara komersial.
![]() |
Dipakai sebagai campuran makanan di mancanegara |
Jaminan mutu
Meski begitu tetap diakui mutu kayumanis terbaik dari Indonesia. Terutama Cinnamomum burmanii dari Padang dan Kerinci. Oleh karena itu kesulitan pasar tidak menimpa eksportir kayumanis Cinnamomum dari kedua daerah itu.
PT Natrasco Spices Indonesia (7NSI), misalnya setiap bulan mengirim 600 ton kayumanis ke 35 negara tujuan. “Yang terbesar Amerika Serikat sekitar 40%. Sisanya, Eropa dan beberapa negara Asia seperti Korea, Jepang, dan Hongkong,” ucap Indra Wijaya Effendi BSc, direktur NSI di Padang, Sumatera Barat.
Total setiap tahun NSI mengekspor 7.000 ton. Volume itu bertahan sejak 1995. Sebelumnya, hanya 4.000—5.000 ton per tahun. Kenaikan volume itu disebabkan kebutuhan pembeli meningkat. Apalagi masyarakat Eropa mulai keranjingan menyeruput cinnamon capucino dan teh cinnamon.
Untuk menjaga pasokan, NSI merangkul pekebun di Batusangkar dan Kerinci. Setiap kg kering diborong Rp3000—Rp7000 tergantung kualitas dan kadar air. Menurut Indra, perusahaannya cukup mengirim ke sister company di Amerika Serikat. “Mereka yang mengerjakan bottling, labeling, packaging hingga pemasaran,” tutur putra dari Arifin Effendi itu.
Pantas jika eksportir di Jakarta seperti Sufindo Group berburu langsung ke Padang dan Medan untuk memperoleh kayumanis C. burmanii. Harga mahal pun tak masalah. “Kami membeli Rp5.000 per kg kering,” ucap Sufli Yusuf. Barang itu kemudian dipasarkan bentuk cutting (10%), tepung alias cinnamon dust (20%), dan asalan (70%). Paling tidak, perusahaan yang berkantor di Durensawit, Jakarta Timur, itu kini menyetor 30—50 ton/bulan ke Amerika, India, Korea, dan Jepang. Volume itu bertahan sejak 1999.