Pertanian Aeroponik Dengan Greenhouse

Pertanian Aeroponik Dengan Greenhouse

Pria perlente itu baru saja meneken kerja sama pengolahan limbah dengan sebuah pabrik aluminium di Ngoro Industrial Park, Pasuruan. Walau hari masih siang, Allen Hartono, nama pria itu, tak langsung ke kantor di Surabaya. Ia malahan mengarahkan mobil ke Trawas, Mojokerto. Di sana, setelah melepas sepatu ia asyik-masyuk di greenhouse. Beberapa selada mengering yang ditanam 2 hari lalu disulamnya.

Meski mengenakan pakaian kerja ia tak canggung berkebun. Paling baju lengan panjangnya digulung sebatas siku. Selain menyulam, aktivitas lain adalah meramu nutrisi, mengecambahkan benih, dan memanen beragam sayuran. 

Budidaya sayuran hidroponik kita
Budidaya sayuran hidroponik

Sore itu hingga mentari tergelincir di cakrawala pengusaha itu masih memanen kangkung aeroponik. Satu tray besar yang disesaki Ipomoea aquatica diusung ke bagasi mobil.

“Sekarang istri saya jarang belanja sayuran,” katanya. Itu terjadi sejak Allen menekuni hobi baru: berkebun sayuran. Tentu saja, tidak saban hari keluarganya menyantap sayuran sejenis. Panen kangkung sore itu, misalnya, juga dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga. Dijual? Belum terpikirkan pekebun sayuran hidroponik sejak Juni 2015 itu.

Ia mengelola 2 greenhouse memang sekadar melampiaskan hobi bercocok tanam. Hobi itu bermula dari keisengan pria bersosok tinggi besar itu. 

Di halaman belakang kantornya di bilangan Kenjeran, ia mengadopsi teknologi aeroponik untuk menanam beragam komoditas seperti kacang tanah dan pulepandak. Lantaran kebablasan ia memutuskan membangun rumah tanam di sekitar vilanya di Trawas.

Untuk mewujudkan keinginan bercocok tanam, jutaan rupiah terkuras dari kocek Allen. Ia membangun 2 greenhouse berkerangka besi dengan ukuran masing-masing 10 m x 4 m dan 12 m x 4 m. Biaya membuat greenhouse berkerangka kayu saja, mencapai Rp50.000 per m2. 

Artinya, lebih dari Rp4-juta dibelanjakan untuk membangun 2 greenhouse. Fulus yang mengalir kian deras jika memperhitungkan biaya pengadaan perangkat Pertanian Aeroponik.

Harap maklum, saat ini biaya pembelian tetek-bengek peranti aeroponik atau hidroponik berkisar Rp65.000-Rp75.000 per m2. Mau tak mau Rp5,8-juta harus dikeluarkan ayah 2 anak itu. 

Belum lagi ia mesti mengupah seorang karyawan untuk menjaga greenhouse itu. Hanya itu? Ternyata tidak. Soalnya, Allen juga harus membeli rockwool sebagai media persemaian, benih beragam sayuran, dan nutrisi.

Sayangnya, ia tak mempunyai data besarnya masing-masing kebutuhan itu. Menurut Agus Misbah, pengelola farm aeroponik dan hidroponik di Bogor, untuk luasan hampir 56 m2, kebutuhan rockwool berkisar 2 slaps per bulan setara Rp36.000. Angka 56 m2 itu merupakan 70% lahan efektif dari total luas 2 greenhouse yang dikelola Allen.

Kebutuhan benih dan nutrisi Rp 150.000. Jadi, setiap bulan minimal pundi-pundinya terkuras ratusan ribu. Namun, tak serupiah pun yang ia peroleh dari komoditas yang diusahakan. Lazimnya greenhouse memang hanya untuk kebun produksi.

Gado-gado

Demi kepuasan, ia tak hirau akan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai hobinya. Di greenhouse itu ia menanam beragam sayuran. Komoditas yang dipilih, “Pokoknya saya suka makan apa, ya itu yang saya tanam,” tuturnya. 

Saat muncul keinginan menikmati pakcoy, ia pun segera membenihkan Brassica chinensis. Itulah sebabnya di greenhouse mini itu aneka sayuran dibudidayakan. Beberapa di antaranya selada keriting, batavian letucce, romance letucce, horenzo, dan bayam merah yang dikembangkan dengan teknologi hidroponik NFT (nutrientfilm technique).

Selain itu di Pertanian Aeroponik miliknya, ada pula tomat dan paprika. Tanaman sekerabat anggota famili Solanaceae itu ditanam dengan hidroponik substrat. 

Sedangkan sisi kiri dan kanan di tepi greenhouse dimanfaatkan sebagai parit selebar 60 cm. Oleh Allen parit itu difungsikan sebagai lokasi budidaya kangkung dengan mengadopsi sistem deep floating rafi alias rakit mengapung.

Di atas parit itu diapungkan styrofoam 60 cm x 60 cm yang terdiri atas 36 lubang tanam. Satu lubang tanam diisi 3—4 bibit. Sepanjang parit itu terdapat 7 styrofoam. Agar panen berkelanjutan, ia menanam secara periodik. Sekali tanam lazimnya 2—3 styrofoam. Kangkung memang pilihan pas lantaran mudah tumbuh meskipun oksigen terlarut rendah.

Itu akibat Allen tak melengkapi aerator. “Saya pernah coba pakcoy, pertumbuhannya lambat. Tanaman kelihatan kurus,” katanya. Dua greenhouse itulah yang disambangi pria baruh baya 2-3 hari sekali. 

Biasanya pukul 15.00 ia meluncur ke Trawas yang berketinggian 600 m dpi. Setiap kali kembali ke Surabaya selalu ada sayuran yang dibawa pulang. Di rembang petang ia baru pulang.

Kacang Tanah Bebas Tanah

Lumpur yang terbawa saat penjualan polong kacang tanah mencapai 22%. Allen Hartono berkesimpulan seperti itu ketika berkunjung ke sentra di Tuban, Jawa Timur. Pengusaha itu tergelitik untuk mengaeroponikkan semak asal Amerika Selatan itu. 

“Selama ini Pertanian Aeroponik umumnya hanya untuk sayuran daun. Saya meyakinkan diri saya, masak sih kacang tanah bisa,” ujar ayah 2 anak itu.

Langkah pun diayunkan pada 17 Januari 2002. Anak ke-6 dari 10 bersaudara itu membeli 0,5 kg kacang tanah sebagai benih di Kedungcowek, Surabaya. Sebelumnya ia membuat sendiri bak nutrisi fiberglas berbahan resin 157. Ukuran bak 3 m x 1 m x 0,2 m. 

Benih dipilih yang bernas dengan menyeleksi dalam rendaman air. Lima hari di persemaian rockwool, bibit dipindahkan ke papan styrofoam berjarak tanam 15 cm x 12 cm. Bak diletakkan di halaman belakang kantor di bilangan Kenjeran, Surabaya Timur.

Allen meracik sendiri nutrisi dengan mengelompokkan menjadi 3 fase. Masing-masing 2 pekan pertama, minggu ke-5—ke-8, dan pekan ke-9 panen. EC (electro conductivity) terus ditingkatkan. Pada fase I tercatat EC 2; fase II, 3; dan III; EC 3. 

Tingkat keasaman dipertahankan 6,5. Pemberian nutrisi diatur timer dengan interval 15 menit. Sekali penyemprotan nutrisi 1 menit. Pada umur 1,5 bulan anggota famili Papilionaceae itu berbunga.

Empat pekan kemudian polong terbentuk. Warnanya putih bersih. Kekurangan aeroponik kacang tanah adalah lemahnya rockwool menahan beban polong yang kian membesar. Allen memperkuat dengan menelusupkan lidi di bawah rockwool Sayang, 

Allen tak sabar menanti polong siap konsumsi sehingga tak diketahui total produktivitas. “Ini kan hanya iseng-iseng dan saya merasa sudah berhasil ‘membuahkan’ kacang tanah,” ujarnya

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus