Wajah belimbing dewa memang sudah berubah. Ia taklagi berbaju keranjang bambu, beralas daun pisang, dan dipasarkan di tepi jalan yang becek. “Sekarang dewa menjadi maskot kota. Ia diselimuti plastik wrapping, dimasukkan kotak kemasan, dan diangkut dengan truk berpendingin,” kata Nanang Yusuf, pekebun di Depok. Dengan wajah baru itu belimbing dewa laris manis di toko buah, supermarket, dan hypermart.
Nanang masih ingat, pada akhir 1990-an hingga pertengahan 2000-an belimbing dewa dipikul pengepul ke stasiun untuk dikirim ke Jakarta. Sebagian lain menggunakan truk terbuka. Dari 50 kg yang dibawa paling 30—40 kg yang layak konsumsi. “Sisanya buah rusak menjadi sampah bersama pelepah pisang,” katanya. Tingkat kerusakan tinggi karena memang belimbing tergolong buah rentan. Sirip buah lemah sehingga mudah terluka bila tertindih atau tergencet. Artinya, sortir baru bisa dilakukan di tingkat pedagang di pasar induk.
Fenomena itu lambat laun berubah. “Sejak dipakai kemasan modern, sortir sudah bisa dilakukan di tingkat pekebun,” kata Ir Heru Prabowo, manajer pemasaran Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok. Buah dibagi 3 kelas: grade A, berbobot di atas 250 g; grade B, 150—250 g, dan C, kurang dari 150 g atau buah cacat. Pekebun berkualitas diuntungkan karena grade A dihargai 2,5 kali lipat ketimbang grade C. Pada sistem tradisional harga buah disamaratakan tanpa memperhitungkan kualitas.
Buah belimbing Naik kasta
Menurut Heru pengemasan buah modern menurunkan kerusakan buah secara signifikan. “Selama transportasi kerusakan bisa ditekan hingga kurang dari 5% dan pasar modern tak perlu dipusingkan dengan sortir lagi,” katanya. Sebanyak 10 kg belimbing yang telah dikemas per 3 buah atau 6 buah ditata di dalam kardus. Kardus itu bisa ditumpuk hingga 5 tingkat tanpa merusak isi dan kemasan.
Tuti Buntaran bagian hubungan dan jaringan internasional Federasi Pengemasan Indonesia mengatakan pengemasan buah secara modern yang dilakukan langsung di sentra buah memang patut dicontoh. “Gonta-ganti kemasan di setiap jenjang rantai tataniaga bisa dihindari. Selama ini kemasan berganti di setiap jenjang sehingga buah gampang rusak,” katanya. Negara maju seperti Australia telah mempraktekkan hal tersebut sejak puluhan tahun silam pada komoditas pisang, apel, dan pir.
Dengan kemasan yang menarik status buah pun naik kasta. “Dulu belimbing bukan dianggap buah andalan. Kini menjadi santapan kelas menengah ke atas,” kata Adrian Arditiar, Customer Service Team PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. Harga Rp 17.500—Rp20.000 untuk sekilo belimbing bukan masalah bagi mereka. Apalagi saat ini belimbing disebut-sebut sebagai buah kesehatan bagi penderita darah tinggi. Pantas sejak 2008 Walikota Depok Ir Nurmahmudi Ismail mencanangkan buah dari kahyangan itu sebagai maskot kota Depok.
Menurut Adrian kotak kardus untuk kemasan buah belimbing dewa memang populer di Indonesia sejak 1 tahun terakhir. “Kini 4—5 pemain besar buah-buahan di Jakarta menggunakan kemasan kardus. Dulu dihindari pemain lokal karena dianggap tak tahan air,” katanya. Itu karena teknologi kertas kardus untuk buah-buahan sudah berkembang jauh.
‘Kini kardus didesain sesuai dengan karakter buah segar. Misal, tahan kelembapan tinggi. Teknologi itu diadopsi dari pengemasan hasil laut sehingga
kertas tak rusak meski berada dalam ruangan dengan kelembapan mencapai 80%. Di masa mendatang kemasan kardus itu bakal populer di agribisnis buah-buahan seperti pada agribisnis hasil laut.
Pembungkusan Buah
Menurut Tuti Buntaran di mancanegara— seperti Filipina—penampilan buah dijaga sejak dari prapanen. “Buah sudah dibe-rongsong agar terhindar dari serangan hama. Sosok dan warnanya menjadi lebih cantik,” katanya. Sejatinya belimbing dewa telah dibungkus sejak masih muda dengan pembungkus berupa karbon, plastik mulsa hitam, atau koran. Pembungkus karbon banyak dipakai karena warna belimbing lebih menarik. “Warna buah lebih seragam,” kata dr Purwoko SP vet med, pekebun belimbing di Serang. Untuk mencegah buah terbakar karbon dipakai 2 lapis, bagian perak di bagian dalam yang terkena buah dan bagian perak di bagian luar yang terkena sinar matahari. Namun, karbon sulit diperoleh. Koran kurang disukai karena mengotori dan kerap menempel pada buah saat musim hujan. Pemakaian karbon dan koran pun sulit dilakukan bagi yang kurang berpengalaman.
Pengamatan budidayatani, belakangan banyak pekebun yang membungkus buah dengan bahan polietilen. Bahan itu dibuat berbagai ukuran dengan pengikat talik ulur sehingga mudah dipasang. “Lebih hemat tenaga kerja, tinggal pengikat ditarik, buah sudah terbungkus,” kata Harto dari PT Gani Arta Dwi Tunggal, produsen AgroNet. Pembungkus berbahan polietilen pun dapat dipergunakan 2—3 kali sehingga lebih hemat.
Menurut Tuti, perbedaan bahan pembungkus itu tak menjadi masalah. Itu tergantung dari ketersediaan bahan di sentra buah dan kemudahan pemakaian. “Yang terpenting buah dipersiapkan dan diseleksi sejak dari pra panen. Kerusakan pada pascapanen menjadi lebih rendah,” katanya. Dengan cara itu, menurut Tuti, tak hanya belimbing dewa yang bakal naik kasta, tapi buah lain yang kini masih di pasar becek.