Andi memanfaatkan batu-batu itu untuk kreasi bonsai dan suiseki. Lalu ketika adenium tren pada 2000-an ia juga menggunakan batu sebagai ornamennya. Kini giliran lidah mertua yang dipadukan dengan batu agar terlihat lebih cantik.
Saat budidayatani bertandang ke kebunnya di Desa Krician, Kabupaten Karanganyar, tampak S. trifasciata ‘bantel’s sensation berdiri anggun di tengah-tengah sebongkah batu berwarna cokelat muda berdiametar 15 cm.
S. trifasciata hahnii jade pun "ditumbuhkan" di atas batu dan ditempatkan dalam pot keramik bermedia pasir malang dan arang sekam.

batu bonsai yang dipilih Andi untuk media tumbuh sansevieria agar terlihat alami layaknya kebiasaan hidup beberapa jenis sansevieria yang epifit di batu atau batang tanaman. Kesan alami itu jauh lebih menonjol daripada ditanam dalam pot. Batu yang digunakan jenis calcedone.
"Itu jenis batuan alam dengan tingkat kekerasan 3 sampai 4 scalemol," ungkap Bambang Tri Kusmandono Raharjo, pematung di Tulungagung yang sering memasok batu untuk Andi.
Itu penting, karena jika tekstur batu terlalu keras sulit dilubangi. Terlalu rapuh pun tidak baik lantaran gampang pecah dan tak tahan lama.
Selain kekerasannya pas, calcedone juga dipilih lantaran corak dan warna abstraknya menawan. Pantas, jenis batuan itu biasa dipakai sebagai bahan patung, perhiasan, sampai furniture. Marmer dan onyx, dua varian calcedone yang banyak dijumpai di alam.
Kusmandono menyebutkan daerah Kuningan, Jawa Barat, Nganjuk, Jawa Tengah, dan pesisir antara Tulungagung sampai Wonosari jadi gudang batuan itu.
"Untuk tanaman, biasanya saya carikan batu utuh, bukan berbentuk bongkahan yang diambil dari gunung," kata pria yang bermain suiseki sejak 1990.
Hal itu agar terkesan alami, bukan pahatan. Ukurannya bervariasi, mulai dari hanya sekepalan tangan, sampai sebongkah dengan lebar lebih dari 30 cm.
Andi tak mengerjakan sendiri, pembuatan lubang untuk memasukkan akar tanaman diserahkan pada Kusmandono. Musababnya, selain butuh bor khusus, juga perlu ketelitian.
Setiap batu dibuat satu atau lebih lubang tanam, tergantung ukuran. Lubang itu tembus dari satu sisi ke sisi lain. Maksudnya, agar akar bisa keluar dan mengisap nutrisi yang ada di media dalam pot. "Batu hanya sebagai pijakan saja," kata Andi.
Jika batu bonsai yang digunakan besar akar sansevieria tidak tembus ke sisi lubang bawah harus diisikan media tanam. Dengan begitu akar lama kelamaan tumbuh memanjang dan mampu mencapai media dalam pot.
Oleh karena itu media dalam pot lah yang menentukan tumbuh subur tidaknya tanaman, bukan batu. Media yang biasa digunakan Andi adalah campuran arang sekam dan pasir malang.
"Sebelum akar menjangkau media, tanaman tetap disiram dengan menyiramkan air perlahan-lahan ke dalam lubang," imbuh ayah satu anak itu. Itu rupanya yang membuat sansevieria dalam batu milik Andi tetap bongsor.

Nun di Malang, Jawa Timur, Agus Gembong Kartiko hobiis sansevieria di Malang melakukan hal serupa. Hanya saja jenis batu dan cara tanamnya berbeda.
Pria yang gemar mengenakan kaos putih dan celana hitam itu memilih batuan vulkanik asal Blitar, Jawa Timur. Tekstur batuan ini remah, sehingga perlu hati-hati saat melubanginya.
Namun, justru karena remah itulah ia mampu menyerap air dan menyimpannya untuk keperluan tanaman. Makanya, Gembong tidak meletakkan batu itu di atas media seperti yang dilakukan Andi.
Lubang batu bonsai tidak ditembuskan hingga bagian bawah, tapi cukup sedalam 5 cm tergantung ukuran batu dan rimpang.
Paling hanya dibuat lubang kecil di bagian bawah sebagai jalan keluarnya air yang berlebihan. Media yang tersedia hanya terbatas pada yang diisikan ke lubang tanam.
Konsekuensinya, tanaman tumbuh lambat. "Tapi justru itulah yang diinginkan," tutur Gembong.
Menurut pria kelahiran Malang 49 tahun lalu itu, sansevieria yang tetap kerdil justru unik. Buktinya setiap bulan tidak kurang dari 50 pot habis terjual.
Harganya pun jelas lebih tinggi, karena tanaman jadi lebih berkarakter. Andi menjual S. trifasciata hahnii dalam batu Rp 100.000.
Artinya 5 kali lipat dibandingkan yang ditanam dalam pot. Sansevieria terpasung dalam batu bukan kutukan, tapi sentuhan seni untuk tingkatkan pamor lidah mertua
Saat budidayatani bertandang ke kebunnya di Desa Krician, Kabupaten Karanganyar, tampak S. trifasciata ‘bantel’s sensation berdiri anggun di tengah-tengah sebongkah batu berwarna cokelat muda berdiametar 15 cm.
S. trifasciata hahnii jade pun "ditumbuhkan" di atas batu dan ditempatkan dalam pot keramik bermedia pasir malang dan arang sekam.

Chalcedony bonsai
batu bonsai yang dipilih Andi untuk media tumbuh sansevieria agar terlihat alami layaknya kebiasaan hidup beberapa jenis sansevieria yang epifit di batu atau batang tanaman. Kesan alami itu jauh lebih menonjol daripada ditanam dalam pot. Batu yang digunakan jenis calcedone.
"Itu jenis batuan alam dengan tingkat kekerasan 3 sampai 4 scalemol," ungkap Bambang Tri Kusmandono Raharjo, pematung di Tulungagung yang sering memasok batu untuk Andi.
Itu penting, karena jika tekstur batu terlalu keras sulit dilubangi. Terlalu rapuh pun tidak baik lantaran gampang pecah dan tak tahan lama.
Selain kekerasannya pas, calcedone juga dipilih lantaran corak dan warna abstraknya menawan. Pantas, jenis batuan itu biasa dipakai sebagai bahan patung, perhiasan, sampai furniture. Marmer dan onyx, dua varian calcedone yang banyak dijumpai di alam.
Kusmandono menyebutkan daerah Kuningan, Jawa Barat, Nganjuk, Jawa Tengah, dan pesisir antara Tulungagung sampai Wonosari jadi gudang batuan itu.
"Untuk tanaman, biasanya saya carikan batu utuh, bukan berbentuk bongkahan yang diambil dari gunung," kata pria yang bermain suiseki sejak 1990.
Hal itu agar terkesan alami, bukan pahatan. Ukurannya bervariasi, mulai dari hanya sekepalan tangan, sampai sebongkah dengan lebar lebih dari 30 cm.
Andi tak mengerjakan sendiri, pembuatan lubang untuk memasukkan akar tanaman diserahkan pada Kusmandono. Musababnya, selain butuh bor khusus, juga perlu ketelitian.
Setiap batu dibuat satu atau lebih lubang tanam, tergantung ukuran. Lubang itu tembus dari satu sisi ke sisi lain. Maksudnya, agar akar bisa keluar dan mengisap nutrisi yang ada di media dalam pot. "Batu hanya sebagai pijakan saja," kata Andi.
Jika batu bonsai yang digunakan besar akar sansevieria tidak tembus ke sisi lubang bawah harus diisikan media tanam. Dengan begitu akar lama kelamaan tumbuh memanjang dan mampu mencapai media dalam pot.
Oleh karena itu media dalam pot lah yang menentukan tumbuh subur tidaknya tanaman, bukan batu. Media yang biasa digunakan Andi adalah campuran arang sekam dan pasir malang.
"Sebelum akar menjangkau media, tanaman tetap disiram dengan menyiramkan air perlahan-lahan ke dalam lubang," imbuh ayah satu anak itu. Itu rupanya yang membuat sansevieria dalam batu milik Andi tetap bongsor.

Bonsai Nan Kerdil
Nun di Malang, Jawa Timur, Agus Gembong Kartiko hobiis sansevieria di Malang melakukan hal serupa. Hanya saja jenis batu dan cara tanamnya berbeda.
Pria yang gemar mengenakan kaos putih dan celana hitam itu memilih batuan vulkanik asal Blitar, Jawa Timur. Tekstur batuan ini remah, sehingga perlu hati-hati saat melubanginya.
Namun, justru karena remah itulah ia mampu menyerap air dan menyimpannya untuk keperluan tanaman. Makanya, Gembong tidak meletakkan batu itu di atas media seperti yang dilakukan Andi.
Lubang batu bonsai tidak ditembuskan hingga bagian bawah, tapi cukup sedalam 5 cm tergantung ukuran batu dan rimpang.
Paling hanya dibuat lubang kecil di bagian bawah sebagai jalan keluarnya air yang berlebihan. Media yang tersedia hanya terbatas pada yang diisikan ke lubang tanam.
Konsekuensinya, tanaman tumbuh lambat. "Tapi justru itulah yang diinginkan," tutur Gembong.
Menurut pria kelahiran Malang 49 tahun lalu itu, sansevieria yang tetap kerdil justru unik. Buktinya setiap bulan tidak kurang dari 50 pot habis terjual.
Harganya pun jelas lebih tinggi, karena tanaman jadi lebih berkarakter. Andi menjual S. trifasciata hahnii dalam batu Rp 100.000.
Artinya 5 kali lipat dibandingkan yang ditanam dalam pot. Sansevieria terpasung dalam batu bukan kutukan, tapi sentuhan seni untuk tingkatkan pamor lidah mertua