Setidaknya 3 kali setahun H. Mastur Fuad menerima benih sayuran varietas baru dari produsen lokal dan asing. Sekali uji coba biasanya 3-6 varietas ditanam sekaligus. Cara itu ditempuh produsen untuk memperkenalkan varietas baru kepada masyarakat. Maklum saja pekebun senior seperti Mastur Fuad acapkali menjadi contoh bagi pekebun lain.
Yang menyodorkan benih baru kepada Mastur Fuad sebetulnya tak hanya 3 produsen. “Banyak! Tapi saya memang membatasi diri,” kata pengelola PT Pacet Segar, pemasok aneka sayuran itu. Jika dari 1 varietas ia membudidayakan 2.000 tanaman, 6 varietas 12.000 populasi. Sarana produksi seperti pestisida dan mulsa umumnya diberikan produsen 4 benih. Namun, bungsu 3 bersaudara itu tetap harus menyediakan lahan cukup luas, 9.000 m2 untuk penanaman 6 varietas.
Jika komoditas baru diterima pasar kelahiran 4 Agustus 1947 itu merekomendasikan ke pekebun plasma yang dibina. Selama ini Mastur memang mengandalkan pasokan beragam sayuran dari 12 pekebun di Sukabumi, Cianjur,Bandung, dan Garut. Pada akhirnya pekebunlah yang diuntungkan dari pertarungan produsen yang kian sengit. “Petani adalah hakim tertinggi dalam persaingan itu dengan memilih produk yang berkualitas. Produk mana yang dipilih itu tergantung petani,” kata Ir Alfasyahri Pane, agronom PT Multi Benih Unggul Indonesia. Perusahaan itu memproduksi aneka benih sayuran bermerek Bintang Mas.
Benih unggulan

Bagi produsen persaingan itu cukup positif. Mereka memetik hikmah dengan berlomba menciptakan benih-benih unggul. “Kami justru termotivasi untuk menghasilkan benih yang dapat diterima petani,” ujar Ir Dwi Kartiko Ghazalie dari PT Tani Unggul Sarana. Hal senada diungkapkan Dibyo Pramono dari PT Tanindo Subur Prima (TSP). Kriteria benih unggul, daya kecambah tinggi, resisten organisme pengganggu, produktivitas tinggi, dan produk diterima pasar.
Menurut Manajer pemasaran PT East West Seed Indonesia, Ir Yohanes Sukoco, penggunaan benih unggul hibrida dan open pollineted relatif kecil. Di Jawa pemanfaatannya tak lebih dari 30%, di luar Jawa 15%. “Itu kan peluang pasar yang dapat kita garap. Tapi itu tak mudah karena harus mengubah pola pikir petani supaya mau menggunakan benih unggul,” katanya. Di Sulawesi misalnya, mengkonsumsi sayuran belum menjadi budaya lantaran komunitas di sana lebih menyukai ikan.
Berapa kebutuhan benih unggul nasional per tahun? Tak ada data valid sebagai patokan. Di institusi sekaliber Direktorat Bina Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura pun data itu tak diperoleh. Namun, beberapa produsen benih yang dihubungi menyatakan, kebutuhannya “sangat tinggi". “Selama manusia masih mengkonsumsi sayuran benih tetap diperlukan,” ujar Pane. Hal senada diungkapkan Yohanes.
Seiring peningkatan pendapatan dan kesadaran terhadap kesehatan kebutuhan sayuran juga melonjak. Pantas jika volume penjualan PT East West Seed Indonesia sejak 1998 terus membumbung hingga 20%-30% per tahun (baca Panah Merah Menancap Sasaran hal. 78-79). Berkah itu pula yang dinikmati PT Tanindo Subur Prima. Menurut Dibyo Pramono pertumbuhan penjualan per tahun terus meningkat 20%-30%. “Yang paling signifikan pada 1996 karena krisis ekonomi banyak yang melirik agribisnis,” kata Dibyo. Sayang, ia enggan menyebut volume penjualan tahun sebelumnya.
TSP yang berdiri pada 1986 menjalin kerjasama dengan Chia Tai, produsen benih di Thailand. Merek yang beredar di pasar adalah Kapal Terbang. Riset pemuliaan memang dilangsungkan di Bangkok. Namun, sebelum diproduksi massal benih TSP menjalani tahap uji multilokasi. Perusahaan itu mengelola kebun percobaan di berbagai tempat seperti Malang, Kediri, dan Bogor.
Memanjakan konsumen
Setiap produsen mempunyai andalan masing-masing untuk memenangkan persaingan (lihat tabel). Menurut Pane penentu diterimanya benih oleh konsumen antara lain kualitas meliputi daya kecambah, ketahanan hama penyakit, dan produktivitas. Faktor lain, promosi dan penerimaan pasar. Oleh karena itu produsen dan distributor biasanya menyediakan konsultan di berbagai kota. Tujuannya, melayani konsumen dalam budidaya tanaman.
Cara lain merangkul konsumen diterapkan PT Multi Benih Unggul Indonesia. Perusahaan yang didirikan Totok Tugas Utama 2 tahun silam itu turut memasarkan panen pekebun yang menggunakan benih produksinya. MBUI menjalin kerjasama dengan pedagang besar di Jember. Di kota-kota lain cara serupa tengah dirintis pelaksanaannya.
Menurut Ir Roto Priyono dari MBUI, kelemahan pekebun di rantai pemasaran sehingga segmen itulah yang mesti dibantu. Sedangkan TSP menjembatani pekebun dengan pasar swalayan. Kebutuhan pasar swalayan di Surabaya dan sekitarnya nanti dipasok pekebun binaan TSP
Kenalkan hibrida

Perseteruan benih sayuran di Indonesia tak hanya diramaikan oleh produsen lokal. Benih keluaran produsen asing juga hadir dengan perwakilan di tanah air. Known-You Seed Co Ltd (KYS), produsen di Kaohsiung, Taiwan, menggandeng PT Tani Unggul Sarana untuk mendistribusikan benih di Indonesia. Sejak 1983 mendiang Robin Sasono, pendiri TUS, bekerja keras memperkenalkan benih sayuran hibrida produksi KYS kepada pekebun.
“Bayangkan waktu itu petani belum mengenal hibrida dan mulsa plastik. Betapa susahnya mengenalkan benih hibrida,” ujar Dwi Kartiko mengenang.Mereka biasanya menggunakan benih lokal yang harganya Rp2.000 per 1 gelas. Betapa sulitnya mengubah kebiasaan itu dengan menyodorkan benih hibrida yang ketika itu harganya Rp1 1.000 per lOg.
Namun, perusahaan yang sekarang dikomandoi Febrina Sulistianingsih itu tak patah arang. Untuk meyakinkan petani dibangun kebun percontohan 1,5 ha. Lahan di Ambarawa, Jawa Tengah, itu ditanami cabai hibrida seperti hot beauty dan hero secara intensif. Kelak hot beauty menjadi andalan KYS meraup laba. Pekebun pentolan dari berbagai kota seperti Magelang, Solo, Sukabumi diundang menyaksikan panen cabai hibrida.
Benih "dipermak"

Siasat itu cukup cespleng. Mereka tertarik dan membeli benih hibrida produksi KYS. Itulah awal petani kita berkenalan dengan benih hibrida. Permintaan benih terus melonjak. Pada 1995 tercatat luas penanaman hot beauty mencapai 4.000 ha di berbagai sentra. Jika 1 ha membutuhkan 125 g, berarti 500 kg benih dipasarkan. Harga per 10 g setara 1.300-1.700 biji ketika itu Rp50.000.
Seperti jamaknya dalam setiap persaingan, mempertahankan memang lebih sulit ketimbang merebut prestasi. Pangsa pasar TUS itu digerogoti produsen lain hingga pada 2001 luas penanaman cuma 1.000 ha. Nasib serupa dialami tomat precious yang semula juga andalan TUS. Varietas yang “hilang” itu, menurut Kartiko, menandakan konsumen kurang menyukai. Itulah sebabnya, produsen senantiasa menyempurnakan varietas yang dilepas di pasaran.
Saat ini konsumen lebih menyukai cabai besar atau kecil sekalian. Hot beauty yang dulu dikenal sebagai cabai besar sekarang menjadi tanggung. Itulah sebabnya KYS tengah menguji coba cabai baru megahot di Tasikmalaya, Sukabumi, Magelang, dan Jember. Ukuran megahot: bobot per buah 25 g dan panjang 22 cm. Benih KYS yang permintaannya cukup stabil di antaranya kubis summer autumn dan summit. Menurut Dwi luas penanaman keduanya mencapai 10.000 ha antara lain di Salatiga, Magelang, dan Tulungagung. Kebutuhan benih per ha 300-350 g.
Yang juga mengageni benih adalah PT Winon Intercontinental (WI). Perusahaan itu tak tanggung-tanggung mendistribusikan lebih dari 8 produsen dari beberapa negara. Beberapa di antaranya Nong Woo Bio (Korea Selatan), Taiwangree (Cina), Royal Swiss (Belanda), Vikima (Denmark), dan Petoseed (Amerika Serikat). Produsen itu memang mengizinkan WI memasarkan benih sayuran dari banyak produsen. Hal serupa tak berlaku bagi Known-You Seed Co Ltd.
Dengan beredarnya beragam benih sayuran pekebun leluasa memilih yang terbaik. Walau produsen benih bersaing, pekebun diuntungkan. Pekebun memang bukan pelanduk. Jadi, meski gajah bertarung dengan gajah, pelanduk tak akan mati ditengah-tengah