Jika suatu saat berkesempatan mengunjungi Tokyo, cobalah singgah di Bons Legumes. Beragam olahan sayuran organik dihidangkan pramusaji di atas meja berkaki pendek. "Menunya biasa, tapi rasanya luar biasa. Lebih enak, renyah, dan mantap," ujar Prof Dr Florentinus Gregorius Winarno, direktur utama M-Brio. Tak heran jika pengunjungnya selalu berjubel.
Ternyata tak hanya menu lezat yang dihidangkan, pengunjung juga disuguhi pemandangan kebun sayuran nan asri. Beragam sayuran daun dan umbi tertanam di atas guludan. Sayuran itulah yang nantinya diolah menjadi aneka hidangan istimewa. Namun, itu hanya sebagian kecil. Kebutuhan bahan tetap dipasok oleh produsen sayuran organik.
Di Jepang warung pangan organik bukan restoran eksklusif seperti di Indonesia. Sejak 1990 mereka bermunculan dan sekarang diperkirakan mencapai 400-an kedai. Kebanyakan terkonsentrasi di Tokyo. Yang terbesar adalah Mother’s Shop yang terdiri dari 7 warung pangan besar. Itu belum termasuk warung-warung kecil Lawson yang jumlahnya hampir 7.650-8.800 kios. Bahkan di sana di buka toko khusus produk organik.
Organik melekat di kehidupan masyarakat Jepang. Padahal, untuk mendapatkan olahan sayuran berlabel organik, mereka harus merogoh kocek dalam-dalam. Harganya relatif mahal, bisa mencapai 4-5 kali lipat produk biasa. Uniknya hanya produk organik asli Jepang yang mereka konsumsi. Sedang produk organik mancanegara jarang tersentuh.

Seleksi Super Ketat
Wajar jika mereka fanatik. Karena standar organik yang diberlakukan pemerintah Jepang sangat tinggi. Standar itu bahkan melebihi Codex Alimentrius Commission (CAC) dan International Federation Organic Agriculture Movement (IFOAM) yang dianut berbagai negara. Misalnya, di negara Sakura itu feses manusia tidak boleh digunakan sebagai pupuk, meski sudah diolah menjadi kompos. Sedang di negara lain kotoran itu banyak dimanfaatkan untuk pupuk.
Peraturan itu makin ketat sejak April 2001, setelah dikeluarkan standar baru oleh Japanese Agricultural Standard (JAS). Akibatnya hampir sebagian besar produk organik segar tidak lagi memenuhi status pangan organik. Penjualannya pun anjlok dari US$3-milliar menjadi US$250-juta pada 2002.
Di pasaran, hanya pangan yang memenuhi standar JAS yang sah sebagai produk organik. Sedang yang statusnya merosot hanya dilabeli green food, yaitu produk yang dibudidayakan menggunakan pestisida dan pupuk kimia berdosis rendah. Namun, bagi konsumen organik, label green food kurang disukai karena masih menggunakan bahan kimia.
Tingginya permintaan organik di Jepang menarik minat produsen mancanegara untuk menerobos peluang itu. Standar yang terlalu ketat jadi hambatan bagi importir. Amerika Serikat, misalnya, berusaha keras agar produknya bisa dipasarkan di sana. Namun, ditolak dengan alasan menggunakan limbah manusia sebagai pupuk. Sedang Thailand yang patuh dengan aturan Jepang berhasil memasarkan produknya. Ciri produk organik Thailand ada 2 label di kemasan, logo Thailand dan JAS.
Sulit produksi organik Indonesia menembus pasar Jepang. Di Singapura sayuran asal Brastagi langsung terpental karena residu pestisida tinggi. Lagipula sayuran organik di tanah air kebanyakan belum disertifikasi.
Sistem tei kei

Organik berkembang pesat di Jepang karena konsumen juga ambil peranan. Itu karena sistem tei kei, yaitu penjualan produk organik door to door. Produsen tidak mengandalkan pasar konvensional. Sistem tei kei membuat produsen dan konsumen bisa langsung bertatap muka. Di negara lain kebanyakan pemasaran organik melalui toko besar atau pedagang eceran bersama produk nonorganik.
Tei kei asal dari berkata tie up atau kerjasama antara produsen dengan konsumen. Dengan cara itu produsen dapat mengetahui keinginan konsumen, sehingga tidak bakal kelebihan poduksi. Selain itu harga tidak dipermainkan tengkulak. Desa Myioshi-sejam dari Tokyo merupakan sentra sayuran organik yang mengadopsi sistem itu. Sekitar 30 pekebun harus melayani 1.235 konsumen yang tersebar di ibukota Jepang.
Pekebun menanam sesuai kebutuhan pembeli. Kebun dengan sistem tei kei tanamannya beragam. Seperti aneka kacang-kacangan, mizuna, komatsuna, bok choi, shungiku, wortel, bawang hijau, radish, burdock, dan kembang kol.
Shiganori, salah seorang pekebun lebih senang bertanam sayuran organik dengan sistem tei kei. Pasar terjamin dan harga stabil. Tenaga kerja grastis karena dibiayai pemerintah. Tiga kali seminggu, Shiganori mengendarai truk kecil mengantarkan sayuran langsung ke-60 anggotanya dan 3 restoran. Ia tidak perlu mencuci, mensortir, dan mengemas. Meski sayuran bercampur lumpur dan ukuran tidak seragam tetap dibayar dengan harga sama.
Namun, Shiganori berkewajiban membuat laporan kondisi lahan kepada anggotanya. Dua kali dalam setahun, ketika musim semi dan hujan, diadakan kunjungan kebun. Untuk kebutuhan benih disediakan bank benih. Pekebun organik bisa memperoleh benih dari bank itu.
Sistim Yang Patut Ditiru
Jika melihat 40 tahun silam, tak disangka negara yang giat menggemborkan organik itu pengguna bahan kimia terbanyak di dunia. Pada 1980, dana yang dikeluarkan untuk pestisida dan pupuk kimia 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat. Akibatnya warga Jepang banyak yang terkena penyakit minamata dan keracunan mercuri akibat penggunaan bahan kimia berlebih.
Itu yang memicu sekelompok wanita di Kobe untuk menghasilkan pangan bebas bahan kimia. Bersama dengan pekebun setempat mereka membentuk Japanese Organic Agriculture Association (JOAA). Diciptakan juga sistem tei kei untuk budidaya dan pemasarannya. Tak lebih dari 3 tahun konsumen organik di Kobe mencapai 1.300 anggota.
Sukses tei kei di Jepang ditiru beberapa negara seperti Australia dan Belanda. Apalagi produk organik di kedua negara itu terus meningkat. Jika tidak bisa dipasarkan dengan baik, banyak sayuran dan buah organik yang terbuang dan harga juga merosot. Padahal, kebutuhan pasar domestik tinggi. Itu sebabnya selera pasar harus terbaca produsen.