Israel tidak gemah ripah lohjinawi. Negara itu, seperti juga tetangganya di belahan Timur Tengah, identik dengan gurun pasir. Namun, dari tanah gersang itu jeruk, apel, pisang, alpukat, dan anggur mereka bersaing di pasar dunia. Air yang langka di gurun pasir Negev, sentra pertanian di sana, disalurkan melalui pipa raksasa bawah tanah dari pegunungan berjarak 250 km.
Jaffa clementines, itulah jeruk andalan negara zionis itu. Warnanya kuning menyala mengundang selera. Trubus sempat membelinya di Okinawa, Jepang. Ia dijajakan di showcase buah 7 Eleven. Kulit tebalnya begitu gampang terpisah dari daging buah, mirip keprok ponkan-nya Taiwan. Saat dicicipi, nyes ... rasa manis memenuhi rongga mulut.
Teksturnya halus dengan aroma wangi. Jaffa orange atau samouthy orange adalah nama aliasnya. Varietas ini sudah ada di Indonesia sejak awal 90-an dan ditanam pada ketinggian minimal 800 m dpi. Toh, tampilan dan rasanya masih asor daripada produksi penduduk kibbutz (desa, redj di Israel. Perbedaan suhu siang (17°—40°C) dan malam (3°—22° C) yang ekstrim di sana mungkin menjadi penyebab.
Jaffa orange varietas tradisional di sana. Varietas lain yang dikembangkan ialah Valencia dan navel. Ada pula sweetie, silangan antara jeruk besar dan pamelo. Daging buahnya hijau, berbeda dengan ragam jeruk besar lain. Di gurun pasir Negev pun ditanam Chinese orange alias kumquat, limquat, serta pamelo berdaging putih dan merah. Seluruh varietas itu dijual ke mancanegara. Tercatat hasilnya memberi sumbangan 7,1% dari total ekspor pertanian Israel.
Pipa air 250 km
Jeruk bukanlah tanaman pertama yang jadi industri di sana. Apalagi sebelumnya gurun pasir Negev sama sekali tidak bisa ditanami pepohonan. Ratusan tahun lalu gurun yang masih liar “ditundukkan” oleh Tamarix sp. Perdu menyemak ini bertugas merintis jalan untuk tanaman lain lantaran akarnya kuat memegang pasir. Jadi, biarpun angin gurun bertiup kencang, pasir yang sudah terpegang itu tidak bakal buyar. Begitu turun hujan, yang cuma 200—250 mm per tahun, pasir itu menggumpal mirip tanah. Saat itulah tamariks ditebas. Hijauannya dibenamkan ke pasir supaya jadi kompos. Di Israel yang banyak ditemukan ialah Tamarix aphylla.
Gumpalan pasir mirip tanah itu kemudian ditanami almon dan anggur dengan teknologi Perancis. Keduanya dipilih karena tidak membutuhkan terlalu banyak air. Apalagi almon dan anggur wine bisa diekspor tanpa terlalu merepotkan. Inilah cikal bakal industri buah Israel pada akhir abad 19.
Para petinggi Israel sejak 100 tahun lalu bertekad, sentra pertanian tidak boleh hanya sebatas di daerah pegunungan Galilee yang punya banyak cadangan air. Di Galille yang bercurah hujan 1.000 mm/ tahun itu ada Danau Galille atau Genezareth. Danau itu sering disebut laut, tetapi airnya payau.
Jadi, dari Galilee, sebelah utara Israel, air dialirkan melalui pipa bawah tanah ke bagian selatan negeri itu, antara lain Negev, sepanjang 250 km. Di kibbutz-kibbutz tertentu dibangun waduk berdaya tampung 0,5—1,5 juta kubik air. Urusan air yang luar biasa mahal ini diatur oleh pemerintah melalui National Water Carrier. Berkat air mahal itu, jeruk yang semula ditanam di daerah pantai, bisa dipindahkan ke gurun pasir yang dulu kering kerontang. Sementara daerah pantai bekas kebun jeruk itu berubah wujud jadi pemukiman penduduk.
Air yang dikumpulkan dengan susah payah dimanfaatkan semaksimal mungkin. Waduk-waduk di sebelah selatan Arava dipakai untuk uji coba pembibitan ikan air laut dan tawar. Mereka berani melakukannya karena air di waduk tersebut agak hangat berkat geothermal. Air payau hangat dipercaya bagus untuk pertumbuhan ikan.
Greenhouse Adaptasi Eropa
Sukses mengebunkan jeruk di Negev hanya langkah kedua dalam strategi pertanian Israel. Seiring kian luasnya kebun jeruk, buah-buah “baru” pun bermunculan. Tanaman-tanaman tahan banting asal daerah tropis dan subtropis ditanam besar-besaran. Beberapa di antaranya memunculkan kisah sukses: alpukat, kurma, apel, persimon, dan mangga.
Ambil contoh alpukat Persea americana. Buah beijuluk alligator pear ini ditanam di sepanjang pantai dan lembah Galilee. Buah subtropis itu memang tahan banting, tetapi jelas tidak tahan tumbuh kalau suhu lingkungannya - 2—4° C. Kemudian pada waktu-waktu tertentu suhu berubah drastis sampai 40°C. Itulah siklus 10 tahunan yang selalu terjadi di Israel. Pada kondisi normal, suhu rata-rata di daerah pantai berkisar 6—29° C; lembah Galilee 8—36° C. Toh, dengan kondisi demikian Israel menduduki peringkat 7 produsen alpukat dunia dengan 4 varietas andalan: ettinger, fuerte, hass, dan nabal.
Sejumlah 60—70% kebun di sana memakai mini sprinkler untuk pengairan. Sisanya memilih irigasi tetes. Mini sprinkler berguna untuk meminimalkan risiko air membeku di musim dingin. Atau mengurangi kerusakan akibat panas berlebih pada musim kemarau. Irigasi tetes sekarang lebih populer karena hemat air. Sistem ini benar-benar bisa menghemat air yang luar biasa mahal itu. Di pantai, air yang terpakai hanya 5—5,5 mm per hari (sekitar 8.000 m3/ha/musim). Di Lembah Galille, pemakaiannya 7-—7,5 mm per hari (11.000 m3/ha/musim).
Buah Buahan varietas unggul
Mangga termasuk buah baru yang dilirik untuk komoditas pendamping jeruk dan alpukat. Sentra penanaman terbesar ada di dataran tinggi Golan, disusul daerah pantai, gurun pasir Negev, dan Arava. Luasnya terus bertambah, terbukti dari produksi yang semula hanya 190 ton melonjak sampai 15.400 ton. Varietas yang mendominasi ialah keitt, disusul tommy atkins dan kent.
Angggur wine yang menjadi pelopor industri buah Israel tetap berkibar. Sentra terbesar ada di Lembah Galille. Di sana bertebaran kebun-kebun anggur lengkap dengan industri pengolahan wine. Sampai tahun 70-an, kebanyakan industri itu mengolah white wine. Hanya 30% yang memproduksi red wine. Pada era 80-an sampai sekarang posisinya terbalik, red wine lebih banyak diminta konsumen. Sejalan dengan tuntutan itu, maka varietas angggur yang ditanam antara lain cabemet sauvignon, merlot, white riesling, chardonay, muscat riesling, muscat d’alexandrie, dan emerald riesling.
Selain gudang buah-buahan untuk pasar Eropa, Israel pun kondang dinamai greenhouse Eropa. Soalnya, mereka mampu memproduksi sayuran bermutu tinggi. Sayuran dan buah semusim, seperti semangka, tomat, dan melon ditanam di Lembah Galille dalam greenhouse berbentuk tunnel. Tanaman-tanaman itu tidak betah kebanyakan air, tapi cepat menguapkan air. Supaya tidak kekeringan, mereka dikerudungi plastik. Jadi, air yang menguap tertahan dalam tunnel sehingga kelembapan terpelihara, walaupun pasokan air terbatas.
Sampai awal 50-an gaung nama Israel sama sekali tidak terdengar di sektor tanaman hias. Geliat bisnis di bidang ini mulai terasa pada tahun 1980-an. Beragam varietas baru didatangkan dari luar negeri. Mereka ditanam di dalam greenhouse model piggy back, tusuk gigi, atau tunnel untuk diekspor. Dalam waktu singkat Israel menduduki peringkat 3 dunia sebagai produsen tanaman hias, terutama bunga potong, pot plant, dan bibit propagasi.
Israel, negeri yang jauh dari semboyan gemah ripah loh jinawi, sukses menerobos dunia hortikultura. Semua berkat teknologi tinggi yang diraih dengan susah payah. Keterbatasan air bukan kendala, bahkan peluang yang memunculkan mereka sebagai ahli dunia di bidang mikro irigasi. Berkat mikro irigasi, gurun pasir yang kering kerontang berubah jadi hijau royo-royo.