Dari kios sederhana 4 x 5 m2 PT Pacet Segar memulai debutnya di jagat pemasaran sayuran. Kios itu kini berubah megah dan luas sebagai tempat pengepakan sayuran sebelum dikirim ke beberapa pasar swalayan. Sebanyak 1,5 ton pasokannya dinikmati warga Jakarta dan sekitarnya. Orang yang sukses membesarkannya adalah H. Mastur Fuad.
Bangunan 2 lantai seluas 400 m2 di tepi jalan raya Cianjur Bandung itu ramai sepanjang hari. Tumpukan sayuran di beberapa tray tampak di beberapa sudut ruangan. Seorang pria cekatan mengambil edamame dari keranjang. Kedelai jepang itu kemudian ditata apik di atas styrofoam putih.
Setelah penuh, styrofoam didekatkan pada mesin wrapping. Plastik putih transparan dilekatkan di permukaan bawah styrofoam. Lalu dalam hitungan detik seluruh permukaan terbungkus plastik.
Di sudut lain tampak kesibukan karyawan menyortir selada air. Dipilihnya tanaman berdaun segar dan mulus dengan panjang batang seragam. Masih ada 40-an sayuran lain yang dikemas hari itu. Pukul 03.00 ketika hari telah berganti, 2 boks Colt Diesel dan 1 boks Carry mengantarkan 1,5 ton aneka sayuran pilihan ke pasar swalayan Hero dan pusat perkulakan Makro.
Itulah kegiatan rutin PT Pacet Segar milik H. Mastur Fuad. Aktivitas berlangsung 3 kali sehari, pagi, siang, dan malam. Wajar, sejak 1980 Suparman nama kecil Mastur memang mengandalkan pasokan 12 pekebun plasma untuk memenuhi permintaan pasar. Pekebun plasma tersebar di Bandung, Garut, Sukabumi, dan Cianjur. Pengiriman aneka sayuran tak bersamaan sehingga pengemasan mesti bertahap.
Mastur memasok Hero sejak 1983 karena, "Orang Hero yang meminta saya untuk mengirimkan sayuran," ujar anggota KTNA itu. Begitu Makro membuka gerai baru di Jakarta, ia bubur-buru menawarkan produknya.
Saat ini volume pengiriman 40 jenis sayuran untuk keduanya mencapai 1,5 sampai 2 ton per hari dengan omzet Rp5-juta "Tahun 2002 saya targetkan 3 ton sehari," kata anggota Inkubator IPB itu. Ia tabu menawarkan sayuran ke pasar swalayan yang sudah dipasok orang lain.
Wortel, bawang daun, dan seledri sayuran tertinggi permintaannya. Masing-masing 100 kg untuk bawang daun dan seledri, serta 500 kg untuk wortel. Mulanya sulit bagi plasma memenuhi standar mutu permintaan Hero. Sebab, mereka terbiasa menghasilkan sayuran untuk konsumsi pasar tradisional.
Pasar swalayan menuntut kualitas yang lebih bagus. Diperlukan waktu setahun untuk memenuhi standar kualitas yang dipersayaratkan. Itu pun setelah Mastur memberikan penyuluhan teknologi budidaya.
Sampai sekarang, setidaknya sehari dalam sepekan Mastur berkeliling ke kebun-kebun plasma untuk mengontrol mutu sayuran. "Kalau ada petani yang mengdTuh tomatnya pecah (cracking, red), saya datangi dan memberikan jalan keluar," ujarnya. Ayah 5 anak itu tak khawatir bakal ditinggalkan plasma.
Sebab, "Mereka kan juga ingin produksinya dipasarkan," kata bungsu dari 3 bersaudara itu. Lagi pula, kesepakatan harga penjualan dirembuk bersama sebelum penanaman. Selain pasar swalayan, Mastur Fuad juga memasok sayuran ke pasar tradisional di Cianjur, Sukabumi, Bogor, dan Jakarta.
Kuantitas pengiriman untuk segmen itu mencapai 400 kg per hari. Sayuran itu tak memenuhi standar mutu pasar swalayan sehingga dijual ke pasar tradisional.
[caption id="attachment_1193" align="aligncenter" width="462"]
Gudang Pengepulan sayur Dari petani[/caption]
Usaha Mastur membesarkan PT Pacet Segar dirintis pada 1970. Pehobi jalan kaki itu mengajukan permohonan untuk menggarap lahan 3 ha milik Hj Uki, neneknya. Namun, bukan untuk ditanami padi seperti dilakukan sang nenek bertahun-tahun. Tentu bukan lantaran ia enggan disuruh orang penanaman padi untuk mewujudkan swasembada beras.
Budidaya sayuran skala luas belum lazim. Itulah sebabnya ia merasa perlu mempresentasikan rencana pengembangan sayuran ke Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Setelah rencana disetujui, Mastur menanam antara lain lettuce head, bit, wanshui, seledri, daun bawang, dan wortel. Mereka diminati kelangan menengah-atas sehingga nilai ekonomis lebih tinggi.
Ketika panen, Mastur benar-benar memenuhi janji pada neneknya, menanam sayuran lebih untung ketimbang padi. Dari 1 ha ia menuai 20 ton wortel; pekebun lain hanya 5 sampai 6 ton. Kuncinya, pengolahan tanah harus dalam, 40 sampai 50 cm supaya pertumbuhan umbi maksimal. Yang dilakukan pekebun umumnya 15 sampai 20 cm. Ia menjual sayur-mayur ke Pasar Cipanas, Cianjur. Harga per kilo wortel Rp200 sehingga Rp4-juta mengalir deras ke koceknya. Sementara biaya produksi cuma Rp300.000.
Banyak orang ingin mengikuti jejak Mastur hingga model kemitraan dalam kelompok tani ditiru mereka. Walau dikuntit banyak pemain baru, langkah Mastur kian mantap. Malahan pada 1980 permintaan sayuran kian meningkat. Pasokan dari kelompok tani yang ia pimpin, Pacet Segar, tak mencukupi. Oleh karena itu ia menampung produksi berbagai pekebun di Sukabumi, Bandung, dan Cianjur. Konsekuensinya, kelahiran 4 Agustus 1947 itu lebih berkonsentrasi di sektor perdagangan; budidaya ditinggalkan.
Walau demikian ia tetap mengontrol produksi sayuran dengan cara mengatur jadwal tanam para plasma. Maksudnya, supaya tak terjadi kelebihan pasokan yang mengakibatkan harga jatuh. Sektor apa pun yang ditekuni tak terlepas dari risiko kegagalan. Ketika aksi demontrasi marak beberapa tahun silam kendaraan pengangkut gagal mendistribusikan 1,5 ton sayuran.
Sayuran sebanyak itu akhirnya dibagi-bagikan gratis kepada tetangga. Sebagian malah dijadikan pakan ternak. Minimal Rp5-juta omzet hari itu melayang. Peristiwa serupa 3 kali terulang hampir berdekatan. Toh, ia tak jera menekuni bisnis pemasaran sayur-mayur. Soalnya, dari situlah kesejahteraan hidupnya dibangun. Selain 3 mobil operasional, di garasinya masih terdapat 3 mobil lain. (Sardhi Duryatmo)
Bangunan 2 lantai seluas 400 m2 di tepi jalan raya Cianjur Bandung itu ramai sepanjang hari. Tumpukan sayuran di beberapa tray tampak di beberapa sudut ruangan. Seorang pria cekatan mengambil edamame dari keranjang. Kedelai jepang itu kemudian ditata apik di atas styrofoam putih.
Setelah penuh, styrofoam didekatkan pada mesin wrapping. Plastik putih transparan dilekatkan di permukaan bawah styrofoam. Lalu dalam hitungan detik seluruh permukaan terbungkus plastik.
Di sudut lain tampak kesibukan karyawan menyortir selada air. Dipilihnya tanaman berdaun segar dan mulus dengan panjang batang seragam. Masih ada 40-an sayuran lain yang dikemas hari itu. Pukul 03.00 ketika hari telah berganti, 2 boks Colt Diesel dan 1 boks Carry mengantarkan 1,5 ton aneka sayuran pilihan ke pasar swalayan Hero dan pusat perkulakan Makro.
Itulah kegiatan rutin PT Pacet Segar milik H. Mastur Fuad. Aktivitas berlangsung 3 kali sehari, pagi, siang, dan malam. Wajar, sejak 1980 Suparman nama kecil Mastur memang mengandalkan pasokan 12 pekebun plasma untuk memenuhi permintaan pasar. Pekebun plasma tersebar di Bandung, Garut, Sukabumi, dan Cianjur. Pengiriman aneka sayuran tak bersamaan sehingga pengemasan mesti bertahap.
Kunci Utama Kesuksesan Melalui Jalin kemitraan

Saat ini volume pengiriman 40 jenis sayuran untuk keduanya mencapai 1,5 sampai 2 ton per hari dengan omzet Rp5-juta "Tahun 2002 saya targetkan 3 ton sehari," kata anggota Inkubator IPB itu. Ia tabu menawarkan sayuran ke pasar swalayan yang sudah dipasok orang lain.
Wortel, bawang daun, dan seledri sayuran tertinggi permintaannya. Masing-masing 100 kg untuk bawang daun dan seledri, serta 500 kg untuk wortel. Mulanya sulit bagi plasma memenuhi standar mutu permintaan Hero. Sebab, mereka terbiasa menghasilkan sayuran untuk konsumsi pasar tradisional.
Pasar swalayan menuntut kualitas yang lebih bagus. Diperlukan waktu setahun untuk memenuhi standar kualitas yang dipersayaratkan. Itu pun setelah Mastur memberikan penyuluhan teknologi budidaya.
Sampai sekarang, setidaknya sehari dalam sepekan Mastur berkeliling ke kebun-kebun plasma untuk mengontrol mutu sayuran. "Kalau ada petani yang mengdTuh tomatnya pecah (cracking, red), saya datangi dan memberikan jalan keluar," ujarnya. Ayah 5 anak itu tak khawatir bakal ditinggalkan plasma.
Sebab, "Mereka kan juga ingin produksinya dipasarkan," kata bungsu dari 3 bersaudara itu. Lagi pula, kesepakatan harga penjualan dirembuk bersama sebelum penanaman. Selain pasar swalayan, Mastur Fuad juga memasok sayuran ke pasar tradisional di Cianjur, Sukabumi, Bogor, dan Jakarta.
Kuantitas pengiriman untuk segmen itu mencapai 400 kg per hari. Sayuran itu tak memenuhi standar mutu pasar swalayan sehingga dijual ke pasar tradisional.
Peralihan dari Pembudidayaan Padi ke Sayuran Segar
[caption id="attachment_1193" align="aligncenter" width="462"]

Usaha Mastur membesarkan PT Pacet Segar dirintis pada 1970. Pehobi jalan kaki itu mengajukan permohonan untuk menggarap lahan 3 ha milik Hj Uki, neneknya. Namun, bukan untuk ditanami padi seperti dilakukan sang nenek bertahun-tahun. Tentu bukan lantaran ia enggan disuruh orang penanaman padi untuk mewujudkan swasembada beras.
Budidaya sayuran skala luas belum lazim. Itulah sebabnya ia merasa perlu mempresentasikan rencana pengembangan sayuran ke Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Setelah rencana disetujui, Mastur menanam antara lain lettuce head, bit, wanshui, seledri, daun bawang, dan wortel. Mereka diminati kelangan menengah-atas sehingga nilai ekonomis lebih tinggi.
Ketika panen, Mastur benar-benar memenuhi janji pada neneknya, menanam sayuran lebih untung ketimbang padi. Dari 1 ha ia menuai 20 ton wortel; pekebun lain hanya 5 sampai 6 ton. Kuncinya, pengolahan tanah harus dalam, 40 sampai 50 cm supaya pertumbuhan umbi maksimal. Yang dilakukan pekebun umumnya 15 sampai 20 cm. Ia menjual sayur-mayur ke Pasar Cipanas, Cianjur. Harga per kilo wortel Rp200 sehingga Rp4-juta mengalir deras ke koceknya. Sementara biaya produksi cuma Rp300.000.
Pakan ternak
Banyak orang ingin mengikuti jejak Mastur hingga model kemitraan dalam kelompok tani ditiru mereka. Walau dikuntit banyak pemain baru, langkah Mastur kian mantap. Malahan pada 1980 permintaan sayuran kian meningkat. Pasokan dari kelompok tani yang ia pimpin, Pacet Segar, tak mencukupi. Oleh karena itu ia menampung produksi berbagai pekebun di Sukabumi, Bandung, dan Cianjur. Konsekuensinya, kelahiran 4 Agustus 1947 itu lebih berkonsentrasi di sektor perdagangan; budidaya ditinggalkan.
Walau demikian ia tetap mengontrol produksi sayuran dengan cara mengatur jadwal tanam para plasma. Maksudnya, supaya tak terjadi kelebihan pasokan yang mengakibatkan harga jatuh. Sektor apa pun yang ditekuni tak terlepas dari risiko kegagalan. Ketika aksi demontrasi marak beberapa tahun silam kendaraan pengangkut gagal mendistribusikan 1,5 ton sayuran.
Sayuran sebanyak itu akhirnya dibagi-bagikan gratis kepada tetangga. Sebagian malah dijadikan pakan ternak. Minimal Rp5-juta omzet hari itu melayang. Peristiwa serupa 3 kali terulang hampir berdekatan. Toh, ia tak jera menekuni bisnis pemasaran sayur-mayur. Soalnya, dari situlah kesejahteraan hidupnya dibangun. Selain 3 mobil operasional, di garasinya masih terdapat 3 mobil lain. (Sardhi Duryatmo)