Budidaya Seledri dan Globalisasi

Seledri atau celery adalah makanan sehat, klasik dan multi guna. Manusia sudah mengenalnya sejak zaman Mesir purba. Budidaya seledri untuk kepentingan farmasi sudah dimulai tahun 850 sebelum Masehi di Yunani. Sedikitnya 15 penyakit bisa disembuhkannya. Mulai dari hipertensi, prostat, tipus, batuk sampai asma. Dari kepala berminyak hingga encok, rematik dan kaki terkilir.

Tetapi, semakin bermanfaat selembar daun, semakin sedikit orang peduli padanya. Begitulah paradoks keindahan dan kebenaran. Yang paling indah, yang paling benar, secara alamiah adalah yang paling kurang diminati. Artinya, perdagangan seledri tidak semenarik panen tembakau. Harganya juga tidak semahal ganja.

Padahal kalau mau serius, negeri ini bisa maju bersama seledri. Bukan untuk diekspor, tetapi untuk pasar dalam negeri, menuju swasembada pangan. Termasuk swasembada seledri, telur, daging, kedelai, dan gula.
Pertanyaan mendasar bagi profesional maupun kaum awam di bidang agribisnis adalah, pilih mana: globalisasi atau swasembada? Hampir tidak ada satu sudut pun yang merugikan. Keduanya menguntungkan dan sekaligus sangat merugikan. Keduanya sulit diterima dan sulit diupayakan. Tetapi juga sulit ditolak.

Seledri Dan Manfaatnya Untuk Kesehatan


[caption id="attachment_1577" align="aligncenter" width="446"] Seledri mempunyai banyak khasiat untuk kesehatan[/caption]

Buah impor, paha ayam impor, gula impor, diyakini menguntungkan konsumen karena menjamin pasokan, kualitas, dan harga relatif murah. Tetapi juga memukul peternak, menghalangi petani menjadi tuan di tanah airnya sendiri. Selain itu konsumen juga jadi terdikte seleranya, dan tergantung pada pasokan luar-negeri. Pada gilirannya, rakyat secara luas semakin tergantung pada lain bangsa.

Maka upaya swasembada semakin berat. Mungkin juga semakin ditanggapi secara skeptis, kalau tidak dijadikan dongeng dan diceritakan dengan nada sedikit minor.

Untuk mencegah ketergantungan total itulah kita perlu menanam seledri. Bukan hanya seledri, tapi juga cabai dan sawi. Dengan 200 botol air bekas, seorang penggemar seledri bisa menanam sayur-sayuran, digantung-gantungkan pada dinding rumahnya. Vertikultur, namanya.

Seledri adalah tanaman asli Eropa. Tetapi sekarang dikenal dan dikonsumsi di seluruh dunia. Eksportir terbesar seledri adalah Amerika, khususnya dari California di Barat, dan negeri bagian Florida di Tenggara. Nilai panen seledri di California saja, misalnya, mencapai lebih dari 300 juta US$ setahun.

Bayangkan, lebih dari Rp 3 trilyun setahun dari ladang sekitar 10.000 hektar. Itulah hasil kerja Badan Penelitian dan Pengembangan Seledri California (CCRAB) selama 25 tahun. California Celery Research Advisory Board itu didirikan sejak 1976.

Manfaat seledri, sekali lagi, sangat besar. Mulai dari makanan sehat, mencegah darah tinggi, dan mengurangi kemungkinan terkena kanker. Seledri bisa dimakan mentah, maupun matang sebagai bumbu masak. Ia boleh diminum sebagai jus, maupun diolah untuk bahan farmasi.

Seledri Jenis kecil


[caption id="attachment_1576" align="aligncenter" width="436"]petani sedang memanen seldri Budidaya Seledri secara modern[/caption]

Memang harus dicatat sedikitnya ada tiga jenis seledri, Apium graveolens. Yang banyak dipakai ibu-ibu Indonesia adalah seledri daun atau "Chinese celery”. Dalam bahasa Inggris disebut Smallage, atau Apium graveolens scalinum. Biasanya dipakai masak, bersama bawang goreng, bawang daun, kecambah, dan seterusnya.

Jarang seledri batang yang bisa dikunyah-kunyah segar. Bahasa latinnya Apium graveolens rapaceum. Inggrisnya Celeriac. Jenis ketiga lebih jarang terlihat, yaitu seledri umbi yang dikembangkan melalui pembesaran akar atau hypocotyl.

Pada zaman yang dipenuhi konflik antara pendukung dan penentang globalisasi, seyogyanya seledri dimasukkan dalam prioritas nasional. Jangan sampai terjadi bencana seperti ketika cabai melejit sampai Rp 50,000 per kilo, yang berarti jauh lebih mahal ketimbang daging.

Seledri bukan termasuk tanaman sunset industry seperti kelapa. Ia malah menjadi alternatif penting dalam revitalisasi ekonomi, bersama mengkudu dan lidah buaya.

Malaysia dan Vietnam kini gencar menyiapkan terobosan dan penyangga kemandirian pangan. Menghadapi dominasi soft drink, misalnya, pemerintah Malaysia menyebarluaskan resep membuat aneka jus dari buah-buahan lokal. Rakyat sudah siap membuat minuman sendiri dari jahe, kencur, temulawak, selasih, kemangi, seledri, sereh dan seterusnya.

Produk sampingan dari komoditas pertanian


[caption id="attachment_1578" align="aligncenter" width="483"]seledri ungulan Seledri Kualitas terbaik[/caption]

Beberapa tahun lalu kita temukan alternatif serupa untuk menolong produk tanaman yang memasuki industri senja. Contohnya kelapa. Harga sebutir kelapa merosot drastis, tinggal seperlima belas saja. Dari 30 menjadi 2 peso saja di Filipina. Akibatnya, semua pekebun kelapa bertumbangan. Kopra sebagai bahan baku minyak tersingkir habis setelah masuknya kelapa sawit.

Untuk jalan keluarnya kita diperkenalkan berbagai produk alternatif dari kelapa. Terobosannya ternyata terletak dari produk sampingan. Bukan jual kelapa tapi airnya untuk nata de coco, tempurungnya untuk arang dan bahan kerajinan rumah tangga, serta sabut untuk jok mobil Mercedez Benz.

Itulah yang terjadi di Filipina sekarang. Globalisasi dan industrialisasi kelapa sawit boleh menghancurkan ekspor kopra. Tapi hasil penjualan sabut baik untuk jog mobil maupun coco net (jaring pengaman) ternyata mendatangkan penghiburan.

Terobosan serupa dalam dunia agribisnis kini banyak didambakan. Kita mulai mendengar kebun pepaya dibuka, bukan untuk dipanen, melainkan untuk disadap getahnya, diambil papain-nya, sebagai bahan farmasi. Di Costa Rica, beberapa restoran membuka sendiri kebun kelapa mini yang hanya untuk ditebangi kembali begitu sudah mulai tampak umbutnya. Tunas-tunas muda itu ternyata lebih menguntungkan bila dijual sebagai bahan sayuran.

Di kabupaten Takalar yang sunyi, propinsi Sulawesi Selatan yang kaya raya, kita bisa melihat hamparan lahan pembuatan garam, terpetak-petak di pantai. Mantan menteri kelautan, Ir. Sarwono Kusumaatmaja, memperkenalkan plankton artemia. "Di balik proses pembuatan garam ini, ada rejeki besar yang tersembunyi,” katanya. Maksudnya adalah kehidupan plankton artemia. Plankton itu dapat diternakkan, dan dijual sebagai pakan udang.

Selama ini, kita melihat sendiri, ekspor artemia didominasi oleh Amerika. Lihat saja iklan-iklan artemia di internet. Paket-paketnya beragam, dan harganya sangat bagus. Sayang sekali bila hal-hal yang semestinya dapat diproduksi sendiri, ternyata harus diimpor dan menghabiskan banyak devisa. Inilah inti dari pertanyaan kita: mau mendukung globalisasi, atau mencoba swasembada sebisa-bisanya.

Memang banyak komoditas yang tidak mungkin tercukupi sendiri. Kapas dan gandum untuk tepung terigu, misalnya. Bahkan daging kambing dan sapi untuk berlebaran dan Idul Qurban sekali pun, masih kita perlukan dari Australia. Negeri kanguru ifti sedikitnya mengirim 240.000 ekor sapi setiap tahun, untuk memenuhi kebutuhan dendeng, sate, dan soto kesukaan warga Indonesia.

Belajar mandiri


Itu semua mengisyaratkan bahwa kemandirian pasokan makanan kita masih jauh, dan akan semakin jauh bila kita berupaya menjawabnya dengan mengabaikan swasembada.

Artinya sekali-sekali kita tidak boleh sinis, maupun memandang sebelah mata terhadap upaya mencukupi kebutuhan sendiri. Termasuk bila ibu tidak membuang pangkal seledrinya, dan menanamnya dalam botol bekas, di dapur.

Saya ingat sebuah keluarga Indonesia di Hendon, London Utara, yang memenuhi kamar tamu, dapur, dan ruang keluarganya dengan belasan pot tanaman. Bukan bunga, tapi seledri. Rupanya cukup sekali saja keluarga itu membeli seledri di pasar swalayan. Selanjutnya, dengan penuh kasih-sayang, mereka menyirami, memelihara dan memanen seledrinya sendiri.

Tomat, cabai, sereh, kemangi, kucai, dan kenikir, bisa dijadikan proyek kecil-kecilan untuk menghadapi globalisasi. Bukan untuk menahan maupun menjegalnya, tetapi sekadar antisipasi, siapa tahu dapat mencegah munculnya tragedi. Konsumen tidak pernah tahu apakah konglomerasi dan pemodal besar bisa tetap memihak dompet rakyat miskin.

Makanya, impor gandum yang besar perlu dibarengi dengan kampanye penanaman sorgum dan jelai. Masih ada kemungkinan mi instan dibuat dari sorgum, bahkan tepung dari umbi-umbian.

Bersamaan dengan itu kita juga memikirkan alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada impor kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe. Salah satu upaya yang ditempuh adalah mendesak dikenakannya pajak impor yang tinggi.

Tetapi, tanpa disertai penyuluhan pada masyarakat, desakan untuk impor akan terus berlangsung. Tidak ada istilah terlambat untuk belajar kuat. Hebatnya, seledri bisa menjadi industri rumah tangga. Tidak menuntut modal besar, tanah luas. Selain ketekunan, dan cinta yang mendalam pada tanaman. Menanam seledri sendiri, adalah cara paling sederhana, untuk tetap waspada menghadapi, mengikuti, menentang, atau mengarifi globalisa(())si. ***

Eka Budianta, sastrawan, environmentalis, direktur sosial untuk A QUA Group(())
Lebih baru Lebih lama