Mengungkap Tren Imlek: Permintaan Bunga Kol Meningkat 300% dan Harga Melambung Tinggi

Mengungkap Tren Imlek: Permintaan Bunga Kol Meningkat 300% dan Harga Melambung Tinggi

Desember lalu, permintaan bunga kol mengalami peningkatan signifikan, terutama menjelang perayaan hari besar seperti Lebaran, Natal, dan Imlek. Helmin Sukandi, seorang pekebun bunga kol yang sibuk, berusaha memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. bunga kol yang siap di panen
Setiap harinya, ia mesti memenuhi permintaan sebanyak 2 ton bunga kol, namun lahan seluas 3 hektar yang ia kelola tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar. Oleh karena itu, ia bergantung pada pekebun plasma lain yang siap panen untuk mendapatkan pasokan tambahan.
Sementara Helmin berkeliling mencari pasokan tambahan, karyawannya memanen bunga kol di lahan miliknya sendiri di Lembang, Bandung. Meskipun hanya 1,5 hektar yang ditanami bunga kol, sedangkan sisanya ditanami sayuran lain seperti sawi dan tomat, produksi harian mencapai 20 hingga 50 kilogram. Namun, permintaan dari pasar swalayan di Jakarta seperti Hero dan Kemchick, serta pemasok pasar swalayan lainnya, mencapai 500 kilogram per hari. Kekurangan pasokan ini diatasi dengan membeli dari pekebun lain.
Bunga kol yang berhasil dikumpulkan harus melewati proses sortir dengan kriteria yang ketat, termasuk warna kuning cerah, keadaan segar, krop padat, dan bebas dari serangan serangga. Pasar swalayan hanya menginginkan bunga kol dengan kualitas super. Helmin menjual bunga kol tersebut dengan harga Rp3.500 per kilogram, dengan setiap satuan penjualan terdiri dari 1 sampai 2 bunga kol.
Sisa bunga kol yang tidak memenuhi standar kualitas dijual ke Pasar Induk Caringin, Bandung, dengan volume harian mencapai 1,5 ton dan harga jual Rp1.500 per kilogram. Jika total pasokan harian mencapai 2 ton, maka Helmin berhasil memperoleh pendapatan sebesar Rp3,5 juta per hari setelah dikurangi biaya transportasi, kemas, dan lain-lain. Laba bersih yang ia peroleh sebesar Rp1,2 juta.
Permintaan pasar terus meningkat, terutama menjelang perayaan Imlek yang menjadi salah satu momen puncak kebutuhan bunga kol. Menjelang Imlek, permintaan bunga kol meningkat hingga 300 hingga 400 kuintal per minggu. Harga jual juga mengikuti tren peningkatan. Jika pada hari-hari biasa harga bunga kol berkisar antara Rp3.000 hingga Rp3.500 per kilogram, menjelang Imlek harga naik menjadi Rp4.000 per kilogram.
PT Bimandiri Kula Sentana Prima juga mengalami hal serupa. Menjelang perayaan Idul Adha, harga bunga kol cenderung melonjak. Jika biasanya harga bunga kol Rp3.000 per kilogram, menjelang Idul Adha harga naik hingga 20%, sementara volume pasokan tetap stabil. Bimandiri memasok pasar swalayan di Jakarta sebanyak 2 kuintal setiap harinya.
Bimandiri mengandalkan pasokan dari 10 pekebun plasma yang tersebar di sekitar Lembang. Pekebun tersebut tetap mendapatkan keuntungan dengan harga penjualan Rp1.500 per kilogram, sementara biaya produksi per kilogram bunga kol hanya sekitar Rp500 hingga Rp700. Sementara itu, Bimandiri berhasil menjual bunga kol dengan harga Rp5.000 hingga Rp6.000 per kilogram. Keuntungan dari penjualan bunga kol bukanlah monopoli para pekebun besar.
Sarman, seorang petani di Kecamatan Ngablak, Magelang, juga berhasil meraih keuntungan dengan menanam 5.000 benih di lahan seluas 1/4 hektar. Ia mampu memanen 1,5 ton bunga kol setiap kali panen. Dengan harga jual bunga kol pada tingkat petani sekitar Rp1.000 hingga Rp1.300 per kilogram dan biaya produksi sebesar Rp500, setidaknya Sarman memperoleh keuntungan sebesar Rp750.000.
Namun, tidak semua pekebun seberuntung Helmin Sukandi. Banyak pekebun yang menghadapi kendala dalam budidaya bunga kol. Sebagai contoh, Rebo, seorang petani di Desa Babrik, Kecamatan Ngablak, Magelang, mengalami kesulitan dalam memperoleh hasil panen yang memadai. Setiap kali menanam, ia mengalami kerugian karena hasil panennya sedikit. Pada tahun 2000, ia mengalami kerugian sebesar Rp2 juta dari penanaman di lahan seluas 0,5 hektar.
Pekebun lain di Lembang, Bandung, juga mengalami kendala dalam memperoleh curd (bagian kepala bunga kol) yang berkualitas. Diperlukan empat kali penanaman untuk mendapatkan curd yang baik, terdiri dari 500 kuntum bunga kol yang padat dan berwarna kekuningan. Jika umur produksi bunga kol adalah 62 hari, maka dibutuhkan waktu sekitar 248 hari untuk mendapatkan curd yang bagus. Jika dipaksakan untuk memanen pada generasi pertama, hasilnya pasti buruk karena tidak rapat. Musim hujan juga menjadi kendala karena curd yang terbentuk relatif sedikit, kecil, dan berwarna putih pucat. Sayangnya, kebanyakan petani terbiasa menanam sepanjang tahun, sehingga hasil panen banyak yang jelek dan hanya sekitar 30% yang memenuhi standar kualitas.
Serangan ulat Plutella xylostella juga menjadi masalah bagi petani, karena sekali menyerang, bunga kol akan rusak. Penggunaan insektisida pun tidak terlalu efektif, sehingga petani harus dengan telaten mengambil ulat satu per satu. Namun, pekebun di Cijengkol, Lembang, sedikit lebih beruntung karena jarak antara curd dan batangnya pendek, sehingga ulat sulit menjangkaunya. Setelah mengatasi berbagai kendala ini, laba menanti para pekebun bunga kol.
Dengan meningkatnya permintaan pasar dan potensi keuntungan yang dapat diraih, bunga kol menjadi salah satu komoditas pertanian yang diminati oleh petani dan pekebun. Meskipun ada kendala dalam budidaya, para pelaku usaha bunga kol terus berupaya untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus