Penumpang maskapai penerbangan Singapore Airlines kini punya pilihan menu baru. Sebagai pelepas dahaga, tak melulu minuman ringan, anggur, atau sari buah yang ditawarkan. Segelas jus jambu batu daging merah segar cocok buat mereka yang peduli pada kesehatan.
Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, sebuah restoran bermenu khusus buah dan sayur menawarkan guava flute. Itu paduan jambu biji daging merah segar dengan es krim dan susu. Karena dicampur susu, warna minuman jadi merah muda. Rasanya ehm...gurih dan segar, pas untuk melegakan kerongkongan yang kering.
Pamor si daging merah memang kian mentereng. Ia tak melulu dijajakan di kakilima sebagai buah segar. Psidium guajava itu mulai dilirik sebagai bahan olahan. Sebut saja PT Amanah Prima Indonesia (PT API). Perusahaan yang memiliki pabrik di kawasan Tangerang itu sejak 2 tahun silam memproduksi jus jambu biji daging merah dengan merek TOZA.
"Permintaan konsumen cukup tinggi," tutur Vepto dari Bagian Produksi, meski enggan menyebut angka pasti. Namun, sebagai gambaran volume produksi jus jambu klutuk itu setara produk lain, seperti jus mangga, nanas, dan jeruk manis. Hotel, kafe, dan restoran di seputaran Jakarta menjadi pelanggan setia.
[caption id="attachment_987" align="alignleft" width="217"]
Thailand, Malaysia, dan Afrika Selatan produsen terbesar[/caption]
Menurut Thomas Dharmawan, ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), prospek anggota kerabat Myrtaceae itu bagus. "Permintaan pasar dunia untuk jus buah segar memang meningkat, termasuk jambu biji," paparnya waktu ditemui Budidayatani. Maklum, tren ke arah hidup sehat dengan makanan sehat terus melaju.
Indonesia ketinggalan dari negara-negara tetangga dalam mengolah guava. "Thailand, Malaysia, dan Afrika Selatan produsen terbesar," ujar Thomas. Di sana jambu diolah menjadi konsentrat yang tahan simpan. Dalam bentuk itu ia diekspor ke berbagai negara, antara lain Indonesia. Di negara tujuan, lantas dikemas menjadi minuman siap saji.
Yang mengolah dari buah segar masih terhitung jari. Salah satunya PT Lipisari Patna di Subang. Setiap bulan unit usaha di bawah UPT Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (UPT BPTTG) LIPI, itu mendistribusikan 500 sampai 600 dus jus jambu biji merah ke pelanggan di Subang, Bogor, Bandung, dan Jakarta. Satu dus terdiri 20 cup berisi 220 cc, mirip kemasan air mineral tapi tak tembus pandang.
Jus diperoleh dengan mengekstrak buah segar menjadi bubur lalu diencerkan. "Minuman mengandung 12% bahan asli masih masuk kategori sari buah," tutur Ir Agus Triyono, MAgr, dari Seksi Pengembangan Sistem dan Bisnis UPT BPTTG. Tahun mendatang, produksi ditargetkan mencapai 800 dus per bulan.
Untuk itu, ia mulai bergerilya ke beberapa kebun di Citayam, Bogor, supaya mendapat tambahan pasokan. Kiriman dari pekebun di Subang tidak memadai. Keterbatasan pasokan juga kendala bagi PT API. Lantaran itu, sebagian besar bahan baku diimpor dari Brazil, India, dan Afrika Selatan.
Selain volume terbatas, kontinuitas dan kualitas pasokan dari pekebun lokal belum seragam. "Pasar banjir pasokan bulan-bulan ini hingga April," ujar Ngalim, penanggung jawab kebun AT3 Farm di Tenjo, Bogor. Memasuki kemarau, pasokan menyusut. Kualitas buah yang diinginkan menurut Agus: tingkat kematangan seragam, mulus, dan tidak busuk.
Lusiani Cokronegoro, kepala Bidang Program GAPMMI, menuturkan, jus jambu biji produksi nasional kebanyakan bahan bakunya diimpor dalam bentuk konsentrat. Dalam bentuk itu ia awet hingga setahun. Konsentrat lalu diencerkan hingga 5 kali dan dikemas ulang menjadi jus-jus yang banyak ditemukan di pasar-pasar swalayan.
Perusahaan dalam negeri yang memproduksi konsentrat masih langka. Thomas Dharmawan mencatat keberadaannya di Bandung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya.
Maklum harga jual mereka kalah bersaing dengan impor. "Bisa lebih mahal 2 kali lipat," kata Lusiani. Oleh karena itu, ia menilai industri skala kecil yang mengolah dari buah segar langsung menjadi single strengh juice yang bakal bertahan.
Fenomena seperti itu mungkin dulu tak pernah terbayangkan oleh para pekebun di Pasarminggu, Jakarta Selatan sentra awal, serta Citayam dan Bojonggede, Bogor sentra sekarang. Mereka menebangi pohon jambu klutuk merah lantaran tak ada harga. Sosok buah kecil waktu itu kebanyakan yang ditanam varietas pasar minggu kadang disebut bludruk berbobot rata-rata 150 g, diduga kurang diminati. Jambu biji bangkok kemudian menjadi raja.
Belakangan muncul jambu biji merah yang populer dengan nama getas. "Itu persilangan antara jambu biji merah pasarminggu dengan bangkok. Tujuannya untuk menghasilkan buah besar dan berdaging merah," tutur Dr Ir Mohammad Reza Tirtawinata, MS.
Dari persilangan itu diperoleh belasan klon. Di kebun AT3 Farm ditanam 3 jenis yang berbentuk seperti pir, bulat dengan kulit mulus, dan bulat kulit kasar. Masing-masing memiliki perbedaan sedikit pada tekstur, warna, dan aroma daging buah.
Yang paling bagus klon G5 yang kemudian dikenal dengan nama jambu getas alias GT. Sebutan itu muncul lantaran peneliti di Pusat Riset Karet Getas, Salatiga yang mengawinkan. Bobot buah rata-rata mencapai 250 g, bentuk bulat dan berpanggul di pangkal. Daging yang tebal berwarna merah cerah dan harum.
Belakangan muncul lagi varietas terbaru bernama taslima. Reza mendapatkannya dengan mengawinkan kembali getas dengan bangkok. Bobot mencapai 400 g per buah dengan warna daging merah total. Bila kulit tergores kuku jari tangan, merahnya daging langsung terlihat.
Jambu biji daging merah naik daun lagi pada 1990-an akhir. Ia dianggap tokcer mengatasi demam berdarah. Murdwi Astuti, pemilik AT3 Farm bercerita, seorang teman meneleponnya mencari klutuk merah ketika sang putra menderita penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes aegypty itu. Dokter yang merawat di sebuah rumah sakit di Bogor menyarankan si sakit mengkonsumsi jus jambu biji merah. Ia ampuh meningkatkan jumlah trombosit dalam darah.
Lantaran banyak dicari, harga di pedagang kakilima kala itu meroket hingga Rp25.000 per kg. Lazimnya Rp8.000 sampai Rp 10.000. Wajar banyak pekebun tertarik menanam. Ir Wijaya, MS, seorang penangkar di Bogor, mencatat bibit dari tempatnya sudah menyebar ke Cianjur, Medan, dan seputaran Jabotabek.
Bibit produksi AT3 Farm merambah hingga Karawang, Sumedang, Yogyakarta, Mojokerto, dan Bangka-Belitung. Wabah demam berdarah yang sudah menjadi bencana nasional pada pertengahan Februari membuat klutuk merah kembali menjadi buah bibir. Kalau sudah begitu siapa yang tak tergiur untuk mengembangkan. Pasar buah segar terbentang, olahan pun menunggu penanganan serius. Pemilik kebun dan pemasar masih bisa berkreasi lagi. Misalnya membuat parsel khusus jambu biji merah seperti yang dilakukan AT3 Farm.
Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, sebuah restoran bermenu khusus buah dan sayur menawarkan guava flute. Itu paduan jambu biji daging merah segar dengan es krim dan susu. Karena dicampur susu, warna minuman jadi merah muda. Rasanya ehm...gurih dan segar, pas untuk melegakan kerongkongan yang kering.
Pamor si daging merah memang kian mentereng. Ia tak melulu dijajakan di kakilima sebagai buah segar. Psidium guajava itu mulai dilirik sebagai bahan olahan. Sebut saja PT Amanah Prima Indonesia (PT API). Perusahaan yang memiliki pabrik di kawasan Tangerang itu sejak 2 tahun silam memproduksi jus jambu biji daging merah dengan merek TOZA.
"Permintaan konsumen cukup tinggi," tutur Vepto dari Bagian Produksi, meski enggan menyebut angka pasti. Namun, sebagai gambaran volume produksi jus jambu klutuk itu setara produk lain, seperti jus mangga, nanas, dan jeruk manis. Hotel, kafe, dan restoran di seputaran Jakarta menjadi pelanggan setia.
Pasar Ekspor terbuka luas
[caption id="attachment_987" align="alignleft" width="217"]

Menurut Thomas Dharmawan, ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), prospek anggota kerabat Myrtaceae itu bagus. "Permintaan pasar dunia untuk jus buah segar memang meningkat, termasuk jambu biji," paparnya waktu ditemui Budidayatani. Maklum, tren ke arah hidup sehat dengan makanan sehat terus melaju.
Indonesia ketinggalan dari negara-negara tetangga dalam mengolah guava. "Thailand, Malaysia, dan Afrika Selatan produsen terbesar," ujar Thomas. Di sana jambu diolah menjadi konsentrat yang tahan simpan. Dalam bentuk itu ia diekspor ke berbagai negara, antara lain Indonesia. Di negara tujuan, lantas dikemas menjadi minuman siap saji.
Yang mengolah dari buah segar masih terhitung jari. Salah satunya PT Lipisari Patna di Subang. Setiap bulan unit usaha di bawah UPT Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (UPT BPTTG) LIPI, itu mendistribusikan 500 sampai 600 dus jus jambu biji merah ke pelanggan di Subang, Bogor, Bandung, dan Jakarta. Satu dus terdiri 20 cup berisi 220 cc, mirip kemasan air mineral tapi tak tembus pandang.
Jus diperoleh dengan mengekstrak buah segar menjadi bubur lalu diencerkan. "Minuman mengandung 12% bahan asli masih masuk kategori sari buah," tutur Ir Agus Triyono, MAgr, dari Seksi Pengembangan Sistem dan Bisnis UPT BPTTG. Tahun mendatang, produksi ditargetkan mencapai 800 dus per bulan.
Pasokan dikalangan petani terbatas
Untuk itu, ia mulai bergerilya ke beberapa kebun di Citayam, Bogor, supaya mendapat tambahan pasokan. Kiriman dari pekebun di Subang tidak memadai. Keterbatasan pasokan juga kendala bagi PT API. Lantaran itu, sebagian besar bahan baku diimpor dari Brazil, India, dan Afrika Selatan.
Selain volume terbatas, kontinuitas dan kualitas pasokan dari pekebun lokal belum seragam. "Pasar banjir pasokan bulan-bulan ini hingga April," ujar Ngalim, penanggung jawab kebun AT3 Farm di Tenjo, Bogor. Memasuki kemarau, pasokan menyusut. Kualitas buah yang diinginkan menurut Agus: tingkat kematangan seragam, mulus, dan tidak busuk.
Lusiani Cokronegoro, kepala Bidang Program GAPMMI, menuturkan, jus jambu biji produksi nasional kebanyakan bahan bakunya diimpor dalam bentuk konsentrat. Dalam bentuk itu ia awet hingga setahun. Konsentrat lalu diencerkan hingga 5 kali dan dikemas ulang menjadi jus-jus yang banyak ditemukan di pasar-pasar swalayan.
Perusahaan dalam negeri yang memproduksi konsentrat masih langka. Thomas Dharmawan mencatat keberadaannya di Bandung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya.
Maklum harga jual mereka kalah bersaing dengan impor. "Bisa lebih mahal 2 kali lipat," kata Lusiani. Oleh karena itu, ia menilai industri skala kecil yang mengolah dari buah segar langsung menjadi single strengh juice yang bakal bertahan.
Hasil silangan dengan jambu bangkok
Fenomena seperti itu mungkin dulu tak pernah terbayangkan oleh para pekebun di Pasarminggu, Jakarta Selatan sentra awal, serta Citayam dan Bojonggede, Bogor sentra sekarang. Mereka menebangi pohon jambu klutuk merah lantaran tak ada harga. Sosok buah kecil waktu itu kebanyakan yang ditanam varietas pasar minggu kadang disebut bludruk berbobot rata-rata 150 g, diduga kurang diminati. Jambu biji bangkok kemudian menjadi raja.
Belakangan muncul jambu biji merah yang populer dengan nama getas. "Itu persilangan antara jambu biji merah pasarminggu dengan bangkok. Tujuannya untuk menghasilkan buah besar dan berdaging merah," tutur Dr Ir Mohammad Reza Tirtawinata, MS.
Dari persilangan itu diperoleh belasan klon. Di kebun AT3 Farm ditanam 3 jenis yang berbentuk seperti pir, bulat dengan kulit mulus, dan bulat kulit kasar. Masing-masing memiliki perbedaan sedikit pada tekstur, warna, dan aroma daging buah.
Yang paling bagus klon G5 yang kemudian dikenal dengan nama jambu getas alias GT. Sebutan itu muncul lantaran peneliti di Pusat Riset Karet Getas, Salatiga yang mengawinkan. Bobot buah rata-rata mencapai 250 g, bentuk bulat dan berpanggul di pangkal. Daging yang tebal berwarna merah cerah dan harum.
Belakangan muncul lagi varietas terbaru bernama taslima. Reza mendapatkannya dengan mengawinkan kembali getas dengan bangkok. Bobot mencapai 400 g per buah dengan warna daging merah total. Bila kulit tergores kuku jari tangan, merahnya daging langsung terlihat.
Berkhasiat obat penangkal Demam berdarah
Jambu biji daging merah naik daun lagi pada 1990-an akhir. Ia dianggap tokcer mengatasi demam berdarah. Murdwi Astuti, pemilik AT3 Farm bercerita, seorang teman meneleponnya mencari klutuk merah ketika sang putra menderita penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes aegypty itu. Dokter yang merawat di sebuah rumah sakit di Bogor menyarankan si sakit mengkonsumsi jus jambu biji merah. Ia ampuh meningkatkan jumlah trombosit dalam darah.
Lantaran banyak dicari, harga di pedagang kakilima kala itu meroket hingga Rp25.000 per kg. Lazimnya Rp8.000 sampai Rp 10.000. Wajar banyak pekebun tertarik menanam. Ir Wijaya, MS, seorang penangkar di Bogor, mencatat bibit dari tempatnya sudah menyebar ke Cianjur, Medan, dan seputaran Jabotabek.
Bibit produksi AT3 Farm merambah hingga Karawang, Sumedang, Yogyakarta, Mojokerto, dan Bangka-Belitung. Wabah demam berdarah yang sudah menjadi bencana nasional pada pertengahan Februari membuat klutuk merah kembali menjadi buah bibir. Kalau sudah begitu siapa yang tak tergiur untuk mengembangkan. Pasar buah segar terbentang, olahan pun menunggu penanganan serius. Pemilik kebun dan pemasar masih bisa berkreasi lagi. Misalnya membuat parsel khusus jambu biji merah seperti yang dilakukan AT3 Farm.