Rumah Walet model piggy back sebetulnya bukan barang baru di tanah air. Di sentra-sentra pertanian, rumah-rumah tanam atau greenhouse dibangun berbentuk piggy back.
Rumah walet yang dikenal dengan sebutan punggung babi itu dipilih lantaran selain tampak cantik juga mempunyai kelebihan: sirkulasi udara lebih lancar dan kondisi iklim mikro ruangan stabil. Itulah alasan beberapa praktikus walet di Jawa Timur mengadopsi model piggy back untuk bangunan rumah waletnya.
Sirkulasi udara dalam kehidupan walet memang menjadi faktor penting. Ia akan mempengaruhi unsur-unsur lainnya di dalam ruangan. Sebut saja kelembapan dan suhu ruangan.
Jika sirkulasi udara berjalan baik, maka kelembapan dan suhu ruangan pun mengarah pada kondisi yang dikehendaki burung Collocalia fuciphaga itu. Berdasarkan pengamatan penulis, rumah-rumah walet model piggy back di Jawa Timur rata-rata berkelembapan 95 sampai 98% dan suhu 25 sampai 27°C.
Padahal, rumah-rumah tipe kotak kisaran kelembapannya 80 sampai 85°C dengan suhu 28 sampai 29°C
[caption id="attachment_1961" align="aligncenter" width="425"]
Piggy back disukai walet lantaran sirkulasi udara lebih lancar[/caption]
Aslinya bangunan model punggung babi untuk rumah tanam terdapat celah menganga antara atap bagian atas dan bawah. Di rumah walet celah itu diganti dalam bentuk rooster yang dipasang berderet selebar bangunan. Fungsinya sama sebagai ventilasi untuk memperlancar aliran udara.
Bahkan tak hanya di samping, ventilasi itu juga tersebar di bagian depan kanan dan kiri lubang keluar-masuk burung. Belum cukup dengan itu semua dinding dipenuhi lubang berdimeter 10 cm.
Seperti model rumah walet umumnya, ketinggian piggy back tak ada ketentuan, bisa 2 hingga 5 tingkat. Lebar dan panjang gedung pufl tergantung ketersediaan lahan. Namun yang mencolok sampai dilihat dari depan sampai model piggy back, semakin atas kian menyempit membentuk segitiga.
Kalau dilihat dari samping, atapnya bersap-sap sesuai banyaknya lantai. Artinya bila bangunan setinggi 5 lantai maka akan tampak 4 sap atap yang memayungi.
Rumah walet yang penulis punyai terdiri dari 2 unit bangunan masing-masing 5 lantai setinggi 14 m. Luas bangunan pertama 81 m2 dengan panjang 9 m dan lebar 9 m. Sedangkan bangunan kedua 108 m2, berukuran panjang 12 m dan lebar 9 m.
Kedua bangunan itu dihubungkan sebuah terowongan sepanjang 3 m di lantai 2. Tinggi antar lantai 2,25 m, kecuali lantai pertama dibuat lebih tinggi, 3,5 m, karena untuk toko. Sesuai bentuk piggy back yang mengerucut, ukuran lantai 1 sampai 3 selebar 9 m, sementara lantai 4 dan 5 berturut-turut 6 dan 3 m.
Rumah walet bercat putih itu dilengkapi lubang keluar-masuk di setiap lantai. Ukuran lubang dibuat lebih besar dari biasanya yakni 100 cm x 30 cm, lazimnya 40 cm x 14 cm. Tujuannya agar walet bisa dengan mudah menemukan lubang masuk, terutama walet pendatang.
Toh kekhawatiran ruangan menjadi sedikit lebih terang bisa diatasi dengan memasang styrofoam yang dicat hitam berjarak 1 sampai 1,5 m dari depan lubang. Secara tidak langsung lubang keluar-masuk yang besar ini turut memperlancar sirkulasi udara.
[caption id="attachment_1962" align="aligncenter" width="489"]
Tinggi antar lantai 2,25 m[/caption]
Pantaslah jika di dalam ruangan terasa sejuk, tidak seperti kebanyakan rumah walet yang pengap karena sirkulasi udara kurang baik. Namun, akibat banyaknya ventilasi penguapan menjadi semakin besar.
Oleh karena itu penulis menambahkan bak-bak berisi air di dekat resting room atau ruangan tempat walet beristirahat dan membuat sarang.
Jumlah kolam di setiap lantai yang memiliki 6 sampai 9 kamar sampai masing-masing kamar berukuran sekitar 18 m2 sampai dibutuhkan 2 sampai 3 kolam. Luas kolam 3 m x 3 m dengan kedalaman 30 cm.
Kolam mutlak ada. Apalagi untuk daerah-daerah panas seperti Jawa Timur dan pantai utara Jawa. Jika tidak, kualitas sarang menurun. Sarang kering, menciut, dan bergelombang. Sarang seperti ini masuk kategori kurang bagus sehingga harga pun lebih murah.
Pada musim hujan bisa saja jumlah kolam dikurangi, dalam arti beberapa tidak diisi air. Sebab bila berlebih, kelembapan yang terlalu tinggi juga berakibat sarang berwarna abu-abu, harganya lebih murah ketimbang yang putih.
Menurut penulis, segala sesuatu yang berkaitan dengan budidaya walet memang harus disesuaikan kondisi. Kadang teknik tertentu hanya cocok untuk daerah atau musim tertentu misalnya. Yang jelas bukti empiris menunjukkan sejak rumah penulis direnovasi pada 2003 dari rumah biasa menjadi model piggy back, ribuan walet masuk dan bersarang. Si penghasil liur emas itu mungkin merasa nyaman tinggal di punggung babi.
Rumah walet yang dikenal dengan sebutan punggung babi itu dipilih lantaran selain tampak cantik juga mempunyai kelebihan: sirkulasi udara lebih lancar dan kondisi iklim mikro ruangan stabil. Itulah alasan beberapa praktikus walet di Jawa Timur mengadopsi model piggy back untuk bangunan rumah waletnya.
Sirkulasi udara dalam kehidupan walet memang menjadi faktor penting. Ia akan mempengaruhi unsur-unsur lainnya di dalam ruangan. Sebut saja kelembapan dan suhu ruangan.
Jika sirkulasi udara berjalan baik, maka kelembapan dan suhu ruangan pun mengarah pada kondisi yang dikehendaki burung Collocalia fuciphaga itu. Berdasarkan pengamatan penulis, rumah-rumah walet model piggy back di Jawa Timur rata-rata berkelembapan 95 sampai 98% dan suhu 25 sampai 27°C.
Padahal, rumah-rumah tipe kotak kisaran kelembapannya 80 sampai 85°C dengan suhu 28 sampai 29°C
Struktur Bangunan Berbentuk Segitiga
[caption id="attachment_1961" align="aligncenter" width="425"]

Aslinya bangunan model punggung babi untuk rumah tanam terdapat celah menganga antara atap bagian atas dan bawah. Di rumah walet celah itu diganti dalam bentuk rooster yang dipasang berderet selebar bangunan. Fungsinya sama sebagai ventilasi untuk memperlancar aliran udara.
Bahkan tak hanya di samping, ventilasi itu juga tersebar di bagian depan kanan dan kiri lubang keluar-masuk burung. Belum cukup dengan itu semua dinding dipenuhi lubang berdimeter 10 cm.
Seperti model rumah walet umumnya, ketinggian piggy back tak ada ketentuan, bisa 2 hingga 5 tingkat. Lebar dan panjang gedung pufl tergantung ketersediaan lahan. Namun yang mencolok sampai dilihat dari depan sampai model piggy back, semakin atas kian menyempit membentuk segitiga.
Kalau dilihat dari samping, atapnya bersap-sap sesuai banyaknya lantai. Artinya bila bangunan setinggi 5 lantai maka akan tampak 4 sap atap yang memayungi.
Rumah walet yang penulis punyai terdiri dari 2 unit bangunan masing-masing 5 lantai setinggi 14 m. Luas bangunan pertama 81 m2 dengan panjang 9 m dan lebar 9 m. Sedangkan bangunan kedua 108 m2, berukuran panjang 12 m dan lebar 9 m.
Kedua bangunan itu dihubungkan sebuah terowongan sepanjang 3 m di lantai 2. Tinggi antar lantai 2,25 m, kecuali lantai pertama dibuat lebih tinggi, 3,5 m, karena untuk toko. Sesuai bentuk piggy back yang mengerucut, ukuran lantai 1 sampai 3 selebar 9 m, sementara lantai 4 dan 5 berturut-turut 6 dan 3 m.
Rumah walet bercat putih itu dilengkapi lubang keluar-masuk di setiap lantai. Ukuran lubang dibuat lebih besar dari biasanya yakni 100 cm x 30 cm, lazimnya 40 cm x 14 cm. Tujuannya agar walet bisa dengan mudah menemukan lubang masuk, terutama walet pendatang.
Toh kekhawatiran ruangan menjadi sedikit lebih terang bisa diatasi dengan memasang styrofoam yang dicat hitam berjarak 1 sampai 1,5 m dari depan lubang. Secara tidak langsung lubang keluar-masuk yang besar ini turut memperlancar sirkulasi udara.
Wajib Terdapat kolam
[caption id="attachment_1962" align="aligncenter" width="489"]

Pantaslah jika di dalam ruangan terasa sejuk, tidak seperti kebanyakan rumah walet yang pengap karena sirkulasi udara kurang baik. Namun, akibat banyaknya ventilasi penguapan menjadi semakin besar.
Oleh karena itu penulis menambahkan bak-bak berisi air di dekat resting room atau ruangan tempat walet beristirahat dan membuat sarang.
Jumlah kolam di setiap lantai yang memiliki 6 sampai 9 kamar sampai masing-masing kamar berukuran sekitar 18 m2 sampai dibutuhkan 2 sampai 3 kolam. Luas kolam 3 m x 3 m dengan kedalaman 30 cm.
Kolam mutlak ada. Apalagi untuk daerah-daerah panas seperti Jawa Timur dan pantai utara Jawa. Jika tidak, kualitas sarang menurun. Sarang kering, menciut, dan bergelombang. Sarang seperti ini masuk kategori kurang bagus sehingga harga pun lebih murah.
Pada musim hujan bisa saja jumlah kolam dikurangi, dalam arti beberapa tidak diisi air. Sebab bila berlebih, kelembapan yang terlalu tinggi juga berakibat sarang berwarna abu-abu, harganya lebih murah ketimbang yang putih.
Menurut penulis, segala sesuatu yang berkaitan dengan budidaya walet memang harus disesuaikan kondisi. Kadang teknik tertentu hanya cocok untuk daerah atau musim tertentu misalnya. Yang jelas bukti empiris menunjukkan sejak rumah penulis direnovasi pada 2003 dari rumah biasa menjadi model piggy back, ribuan walet masuk dan bersarang. Si penghasil liur emas itu mungkin merasa nyaman tinggal di punggung babi.