Pada usia senjanya, Sekar Arum merasa amat bahagia. Menjelang rembang petang ibu 4 anak itu membaca koran sore ditemani secangkir teb hangat dan ubi kukus. Ibu 4 anak itu benar-benar menikmati hari tuanya di sebuah rumah di Tomang, Jakarta Barat. Itu bermula pada 2 bulan silam ketika ia mendapat kiriman beberapa botol buah merah.
Setiap hari usai sarapan dan makan malam ia meminum 1 sendok makan buah merah. Dua bulan berselang ia kembali mengecek kesehatannya. Hasilnya, tekanan darahnya normal 120/80 mmHg. Begitu juga dengan sirosis hati. Angka indikator sirosis sebelum mengkonsumsi ekstrak Pandanus conoideus SGOT 74 dan SGPT 21. Kini SGPT-nya telah normal, sedangkan SGOT turun menjadi 69. Capai dan lemas yang dulu dirasakannya, kini seperti lenyap.
Taufik Mardanis di Pondokgede, Bekasi, tak seberuntung Sekar Arum. Sirosis yang diidapnya sejak 2 tahun silam tetap bercokol. Setelah obat-obatan dokter gagal memenuhi asanya, pria separuh abad itu meminum sari buah merah 3 kali sehari masing-masing 1 sendok makan.
Sayang, ayah 3 anak itu merasakan mual setiap kali mengkonsumsi ekstrak anggota famili Pandanaceae. Akhirnya konsumsi pun dihentikan setelah 50 ml ia habiskan. Begitulah selalu ada 2 kutub yang berseberangan: sembuh dan tidak sembuh. Meski penyakit mereka, dosis, dan frekuensi obat yang dikonsumsi sama.
Kompleks
Penyebab sembuh atau tidaknya pasien berpenyakit serupa setelah mengkonsumsi buah merah sangat kompleks. Dari sisi medis mesti dilihat pemicu penyakit: alkohol, virus, hepatitis, radang lever, atau lainnya. Menurut dr Paulus Wahyudi Halim, pengobat komplementer di Serpong, Tangerang, kasus itu dapat ditelusuri sejak budidaya buah merah hingga proses pengolahan. Dokter alumnus Universitas Degli Studi Padova, Italia, itu menuturkan, lokasi budidaya amat menentukan kadar zat tanaman obat.
Itu diperkuat hasil riset Yacobus Lopak, kepala seksi Pengujian Dinas Perindustrian Provinsi Papua. Yacobus menuturkan semakin tinggi lokasi budidaya, kian berkualitas kadar gizi buah merah. Contoh, kadar betakaroten sauk eken—sebutan buah merah di Wamena—yang ditanam di ketinggian 1.500 m dpi, mencapai 900 ppm. Buah merah dari dataran rendah? Kadar betakaroten paling banter 50 ppm, bahkan tak ada sama sekali.
Kontroversi itu juga dipengaruhi pemilihan bahan baku. Menurut Drs I Made Budi MS, saat ini banyak yang mengolah buah merah muda. Harap mafhum, permintaan yang membumbung menyebabkan masa petik buah tak dilihat. Pokoknya asal merah—meski masih muda—dipanen karena nilai jualnya melonjak.
Buah merah siap olah setelah berumur 6 bulan sejak pentil. Cirinya, warna permukaan buah merah marun dan biji mudah dicabut. Di Papua terdapat sekitar 25 jenis kuansu alias buah merah. Sayang, tak semuanya mengandung gizi tinggi. “Secara tradisional masyarakat Papua menyukai varietas yang buntek, pendek, biji agak besar dibandingkan yang panjang dan bijinya kurus. Rendemen yang buntek bagus, minyak merah kehitaman artinya betakaroten tinggi sekali,” ujar Made.
Pengolahan pun mempengaruhi sembuh-tidaknya penyakit. Ada pengolah yang tak mencuci bahan baku sebelum diproses. Belum lagi perebusan dengan suhu tinggi yang memicu rusaknya kandungan gizi tawi—sebutan buah merah di Lembah Baliem. Dengan pengolahan tepat, kadar gizi buah merah segar turun 20% saat berupa esktrak. Apalagi jika pengolahan keliru.
Menurut ahli gizi Dr Ahmad Sulaeman, “Perebusan akan melunakkan struktur jaringan sehingga betakaroten mudah dicerna tubuh. Hanya saja harus diteliti batas maksimal pemanasan dalam pengolahan.”
Minyak goreng
Temperatur berlebihan saat mengolah menyebabkan kadar peroksida meningkat. “Peroksida itu radikal bebas yang justru memicu kanker,” kata Made. Menurut Paulus Wahyudi Halim, herbalis, merebus dengan wadah berbahan aluminium atau logam memungkinkan terjadinya reaksi kimia. Efeknya khasiat tanaman obat pun melayang. Pria kelahiran Padang 10 April 1946 itu menyarankan pengolahan dengan bejana tanah liat atau pireks.
Namun, jarang konsumen yang menelusuri proses pengolahan sebelum membeli ekstrak buah merah. Apalagi lokasi budidaya dan bahan baku. Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menangguk laba. Maka ada pedagang yang mencampur sari buah merah dengan bahan lain seperti minyak goreng, (baca boks: Asli atau Palsui Tes Lakmus).
Yang harus diingat adalah dosis. Pada kasus Taufik Mardanis, frekuensi konsumsi 3 kali masing-masing 1 sendok makan. Menurut Made, “Ini kelebihan dosis. Saya tak pernah merekomendasikan dosis 3 kali 1 sendok makan. Harusnya 2 kali sendok teh kecil, ujar alumnus Institut Pertanian Bogor.
Diserbu
Di tengah pro-kontra buah merah sebagai obat, setiap hari rata-rata 150 orang datang ke rumah Made untuk memperoleh ekstrak Pandanus conoideus. Konsumen lama biasanya mengisahkan perbaikan kesehatan setelah rutin meminum ekstrak anggota ordo Pandanales itu. Banyak juga yang membeli untuk dikirim kepada kerabatnya di berbagai wilayah Indonesia. Saka, karyawan Dinas Kesehatan Provinsi Papua, misalnya, kembali mengirimkan beberapa botol untuk Syamsul, sang ayah, di Palopo, Sulawesi Selatan.
Bulan silam Syamsul hanya tergolek lemah di pembaringan. Namun, setelah rutin meminum bitam—sebutan buah merah bagi suku Amungme—sekarang ia sudah bisa berjalan. Begitu juga dengan Muhammad Hakim. Kepala Hubungan Masyarakat dan Protokoler Bank Pembangunan Daerah Papua, itu rutin membeli sari buah merah untuk dikirim kepada sejawatnya di berbagai kota. “Permintaan datang setiap hari. Minimal 10 1 seminggu saya kirim,” kata pria 34 tahun.
Dari Bandung Elnadus Ponggilatan Turanggan yang iba melihat penderitaan ibunya segera terbang ke provinsi paling timur itu. Orang tuanya didiagnosis kanker pankreas. Ditangani dokter ahli selama 3 bulan, kesembuhan belum juga tiba. “Tak ada jalan lain, kecuali pengobatan alternatif,” kata pria 40 tahun itu.
Begitulah beragam orang dengan berbagai profesi seperti bankir, birokrat, pengusaha, dan pilot berduyun-duyun. Keinginan mereka sama: memperoleh buah merah. Apa pun jenis penyakitnya, mereka berharap pada kain—sebutan buah merah pada suku Katengban di perbatasan Pegunungan Bintang—Papua Nugini. Padahal, “Tak ada peluru ajaib untuk mengatasi berbagai penyakit. Penyembuhan itu bersifat individu, bukan massal,” kata dr Paulus.
Tak bahaya
Hal senada diungkapkan pengobat komplementer di Yogyakarta, dr Sidi Aritjahya. “Tak ada satu bahan tanaman cocok untuk semua penyakit. Kalau ada, mengapa Tuhan menciptakan banyak tanaman?” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Meski begitu, faktanya banyak yang sembuh—diperkuat dengan rekam medis—setelah rutin mengkonsumsi sari buah merah.
Menurut guru besar Farmasi Universitas Padjadjaran, Prof Dr Sidik, mestinya buah merah diuji klinis untuk mengetahui dosis dan toksisitas. Namun, sampai sekarang uji klinis belum dilakukan. Sedangkan I Made Budi, orang pertama yang meriset buah merah, masih merahasiakan beberapa bahan aktif yang berperan sebagai penyembuh dalam buah merah (baca: Demi Tuhan Saya Tak Berpikir untuk Monopoli, halaman 18—19).
Yang selama ini dipublikasikan secara meluas, pandan raksasa itu antara lain mengandung betakaroten dan tokoferol. Kadar betakaroten mencapai 700 ppm. “Itu luar biasa. Sebelumnya tak dikenal buah dengan kandungan antioksidan setinggi buah merah. Kami menyebutnya superantioksidan,” kata ahli gizi Institut Pertanian Bogor Dr Clara Mellyanti MSc. Betakaroten sudah terbukti antiradikal bebas dan antioksidan. Menurut Dr Didik Gunawan Apt dari Universitas Gadjah Mada, radikal bebas membahayakan kesehatan. Betakaroten menjadi benteng pertahanan tubuh. Sedangkan tokoferol berfaedah bagi regenerasi sel.
Konsumsi karotenoid dan tokoferol berlebihan, menurut Ahmad Sulaeman, tak membahayakan kesehatan. Sebab, keduanya baru cikal-bakal vitamin. Jika berlebih tubuh akan membuangnya bersama feses.
William Adi Teja menuturkan, dalam tradisi pengobatan cina, bahan berkulit keras dan tebal seperti buah merah cocok untuk mengatasi sirosis, darah tinggi, serta penyakit dalam. Sementara warna merah yang mencolok, menurut dokter alumnus Beijing University of Traditional Chinese Medicine, pas untuk pengobatan jantung.
Tren
Saat ini buah merah memang jadi primadona pengobatan herbal. Permintaan terus melambung menyebabkan munculnya produsen baru di berbagai tempat. Hasil lacakan Trubus di Wamena, Papua, hampir di setiap gang terdapat pengolah buah merah (baca: Lacak Jejak Tawi di Wamena halaman 26—27). Di sana setidaknya terdapat 11 produsen besar seperti PT Prima Baliem Subur (PBS).
Mulai Januari 2004 PBS mengolah kaef—sebutan buah merah bagi suku Ngalum. Menurut Hendro Saputro, pemilik perusahaan, produksi PBS 36—40 liter per hari. Pria 64 tahun itu hanya memanfaatkan buah merah asal dataran tinggi Wamena. Ia 4 kali menyaring agar sari buah merah dan pasta benar-benar terpisah sempurna. Sari buah merah dikemas dalam botol plastik 330 ml yang dijual Rp25O.OOO.
Para karyawan yang mengolah buah merah sebagai pekerjaan sambilan pun meraup laba. Jeni Rangan dan Yohannes Sangur—keduanya karyawan Dinas Pertanian Kabupaten Wamena—semula memproses buah itu untuk keperluan keluarga. Permintaan membanjir mendorong mereka untuk berniaga. Saat ini produksi masing-masing sekitar 5 liter per pekan. Widodo, pemilik penginapan di Wamena, mengolah tawi, lantaran, “Banyak tamu menanyakan sari buah merah.” Produksinya baru 7,5 liter sebulan yang dijual Rp400.000 per 750 ml. Ia juga memasok konsumen di Bandung 1 ton buah merah senilai Rp40-juta, baru terpenuhi 750 kg.
Di Timika pengolah bitam baru mulai bermunculan. Budi Suprapto di Koperamoka, Timika, rata-rata mengolah 4 buah per hari. Pensiunan perwira itu menjual ekstrak bitam di tokonya Rp500.000/450 ml. Dari satu buah sepanjang 80—90 cm ia memperoleh 150 ml. Tren pengolahan buah merah juga merambah Kabupaten Puncakjaya. Di sana sejak Desember 2004 Irene Songgonau rutin memproses 8 buah per hari.
Pengolahan buah merah memang tak hanya terpusat di Papua. Di Pamulang yang terletak beberapa kilometer di selatan Jakarta, Yos Hera Iswandari serius memproduksi sauk eken. Beruntung sang suami, pernah belasan tahun tinggal di Papua sehingga paham seluk-beluk pengolahan dan sentra produksi. Setiap 3 hari ia mengolah sekitar 10 buah yang tandas dipesan konsumen.
PT Trias Sukses Dinamika di Bogor pun mengendus peluang berbisnis buah merah. Dengan mesin canggih perusahaan memproduksi 400 kg buah merah asal Wamena. Penjualan minimal 200 botol masing-masing 100 ml per hari. “Itu sangat luar biasa. Keberhasilan menjual buah merah sebulan setara dengan penjualan mengkudu selama 2 tahun pertama,” kata direktur Trias Sukses Dinamika, Luki F Hardian. Perusahaan yang lebih dikenal sebagai Javanony itu semula mengolah mengkudu Morinda citrifolia.
Para produsen dan distributor di berbagai tempat yang dihubungi Trubus secara terpisah mengatakan, mudah memasarkan sari buah merah. Malahan banyak yang kewalahan memenuhi derasnya permintaan. Roslina Tasrip, misalnya, baru mampu melayani permintaan 10 1 per hari dengan harga Rp700.000 per liter. Perempuan 37 tahun yang mengolah di Sentani itu banyak menolak permintaan karena sedikitnya produksi. Dengan 2 atau 3 kali lipat, ia mengatakan sanggup memasarkannya.
Berebut
Karena buah merah pula, Pasar Jibama di Wamena yang semula senyap kini seperti tak pemah tidur. Setiap hari dari pagi hingga malam pasar selalu ramai transaksi buah merah. Menurut pengawas pasar, Darian Tabuni, setidaknya 24 mobil memasuki pasar saban hari. Mereka mengangkut buah merah segar dari Bogondini, Karubaga, Kelila, Ragayana, Tagime, dan Tembagapura.
Setiap mobil membawa 5 ikat atau 250 buah merah.
“Saya memilih menjadi pedagang buah merah karena untungnya besar,” kata Etaram Wenda, pedagang di Jibama. Perempuan 27 tahun itu mencari pasokan di Kelila dengan harga beli Rpl0.000—Rp25.000. Ia menjualnya Rp20.000—Rp50.000 per buah tergantung ukuran. Harga itu amat murah ketimbang di pasar Swadaya, Timika. Di sana harga buah merah Rp50.000— Rp300.000.
Kuansu jadi komoditas benilai ekonomi tinggi. Padahal sebelumnya di Biak, Mimika , Pegunungan Bintang, Puncakjaya, Yapen, Waropen dan beberapa wilayah lain di Papua ia kerap membusuk lalu jatuh dari pohon. Kalaupun
diolah paling hanya untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Harganya? Paling banter Rp5.000—Rp 10.000 per buah. Lihatlah sekarang pekebun berlomba-lomba memperluas penanaman. Rubeka Kiwak di Kualakencana, Elias Mirip di Paniai Timur, dan Amon Kum di Kwansi Lama hanya beberapa orang yang tergerak memperluas penanaman bitam.
Instansi pemerintah tak kalah gesit memperluas penanaman. Menurut Asep Herman, kepala Sub Dinas Produksi Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Papua, tahun ini dikembangkan 30 ha di Kerom dan Waropen. Kabupaten Tolikara, memperluas penanaman hingga 150 ha. Buah endemik Papua juga diklaim sebagai komoditas garapan Dinas Kehutanan. Lembaga itu menanam buah merah di Biak, Jayawijaya, Manokwari, Serui, Sorong, dan Wamena masing-masing 50—100 ha.
Pamor buah merah memang tengah mencorong. Harapan meraup laba tinggi digantungkan padanya. Lalu bagi para pasien, kerabat cangkuang itu menjadi tumpuan harapan untuk sembuh agar derita itu lekas berakhir. Cukup sudah lara berkepanjangan itu.
Setiap hari usai sarapan dan makan malam ia meminum 1 sendok makan buah merah. Dua bulan berselang ia kembali mengecek kesehatannya. Hasilnya, tekanan darahnya normal 120/80 mmHg. Begitu juga dengan sirosis hati. Angka indikator sirosis sebelum mengkonsumsi ekstrak Pandanus conoideus SGOT 74 dan SGPT 21. Kini SGPT-nya telah normal, sedangkan SGOT turun menjadi 69. Capai dan lemas yang dulu dirasakannya, kini seperti lenyap.
Taufik Mardanis di Pondokgede, Bekasi, tak seberuntung Sekar Arum. Sirosis yang diidapnya sejak 2 tahun silam tetap bercokol. Setelah obat-obatan dokter gagal memenuhi asanya, pria separuh abad itu meminum sari buah merah 3 kali sehari masing-masing 1 sendok makan.
Sayang, ayah 3 anak itu merasakan mual setiap kali mengkonsumsi ekstrak anggota famili Pandanaceae. Akhirnya konsumsi pun dihentikan setelah 50 ml ia habiskan. Begitulah selalu ada 2 kutub yang berseberangan: sembuh dan tidak sembuh. Meski penyakit mereka, dosis, dan frekuensi obat yang dikonsumsi sama.
Kompleks
Penyebab sembuh atau tidaknya pasien berpenyakit serupa setelah mengkonsumsi buah merah sangat kompleks. Dari sisi medis mesti dilihat pemicu penyakit: alkohol, virus, hepatitis, radang lever, atau lainnya. Menurut dr Paulus Wahyudi Halim, pengobat komplementer di Serpong, Tangerang, kasus itu dapat ditelusuri sejak budidaya buah merah hingga proses pengolahan. Dokter alumnus Universitas Degli Studi Padova, Italia, itu menuturkan, lokasi budidaya amat menentukan kadar zat tanaman obat.
Itu diperkuat hasil riset Yacobus Lopak, kepala seksi Pengujian Dinas Perindustrian Provinsi Papua. Yacobus menuturkan semakin tinggi lokasi budidaya, kian berkualitas kadar gizi buah merah. Contoh, kadar betakaroten sauk eken—sebutan buah merah di Wamena—yang ditanam di ketinggian 1.500 m dpi, mencapai 900 ppm. Buah merah dari dataran rendah? Kadar betakaroten paling banter 50 ppm, bahkan tak ada sama sekali.
Kontroversi itu juga dipengaruhi pemilihan bahan baku. Menurut Drs I Made Budi MS, saat ini banyak yang mengolah buah merah muda. Harap mafhum, permintaan yang membumbung menyebabkan masa petik buah tak dilihat. Pokoknya asal merah—meski masih muda—dipanen karena nilai jualnya melonjak.
Buah merah siap olah setelah berumur 6 bulan sejak pentil. Cirinya, warna permukaan buah merah marun dan biji mudah dicabut. Di Papua terdapat sekitar 25 jenis kuansu alias buah merah. Sayang, tak semuanya mengandung gizi tinggi. “Secara tradisional masyarakat Papua menyukai varietas yang buntek, pendek, biji agak besar dibandingkan yang panjang dan bijinya kurus. Rendemen yang buntek bagus, minyak merah kehitaman artinya betakaroten tinggi sekali,” ujar Made.
Pengolahan pun mempengaruhi sembuh-tidaknya penyakit. Ada pengolah yang tak mencuci bahan baku sebelum diproses. Belum lagi perebusan dengan suhu tinggi yang memicu rusaknya kandungan gizi tawi—sebutan buah merah di Lembah Baliem. Dengan pengolahan tepat, kadar gizi buah merah segar turun 20% saat berupa esktrak. Apalagi jika pengolahan keliru.
Menurut ahli gizi Dr Ahmad Sulaeman, “Perebusan akan melunakkan struktur jaringan sehingga betakaroten mudah dicerna tubuh. Hanya saja harus diteliti batas maksimal pemanasan dalam pengolahan.”
Minyak goreng
Temperatur berlebihan saat mengolah menyebabkan kadar peroksida meningkat. “Peroksida itu radikal bebas yang justru memicu kanker,” kata Made. Menurut Paulus Wahyudi Halim, herbalis, merebus dengan wadah berbahan aluminium atau logam memungkinkan terjadinya reaksi kimia. Efeknya khasiat tanaman obat pun melayang. Pria kelahiran Padang 10 April 1946 itu menyarankan pengolahan dengan bejana tanah liat atau pireks.
Namun, jarang konsumen yang menelusuri proses pengolahan sebelum membeli ekstrak buah merah. Apalagi lokasi budidaya dan bahan baku. Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menangguk laba. Maka ada pedagang yang mencampur sari buah merah dengan bahan lain seperti minyak goreng, (baca boks: Asli atau Palsui Tes Lakmus).
Yang harus diingat adalah dosis. Pada kasus Taufik Mardanis, frekuensi konsumsi 3 kali masing-masing 1 sendok makan. Menurut Made, “Ini kelebihan dosis. Saya tak pernah merekomendasikan dosis 3 kali 1 sendok makan. Harusnya 2 kali sendok teh kecil, ujar alumnus Institut Pertanian Bogor.
Diserbu
Di tengah pro-kontra buah merah sebagai obat, setiap hari rata-rata 150 orang datang ke rumah Made untuk memperoleh ekstrak Pandanus conoideus. Konsumen lama biasanya mengisahkan perbaikan kesehatan setelah rutin meminum ekstrak anggota ordo Pandanales itu. Banyak juga yang membeli untuk dikirim kepada kerabatnya di berbagai wilayah Indonesia. Saka, karyawan Dinas Kesehatan Provinsi Papua, misalnya, kembali mengirimkan beberapa botol untuk Syamsul, sang ayah, di Palopo, Sulawesi Selatan.
Bulan silam Syamsul hanya tergolek lemah di pembaringan. Namun, setelah rutin meminum bitam—sebutan buah merah bagi suku Amungme—sekarang ia sudah bisa berjalan. Begitu juga dengan Muhammad Hakim. Kepala Hubungan Masyarakat dan Protokoler Bank Pembangunan Daerah Papua, itu rutin membeli sari buah merah untuk dikirim kepada sejawatnya di berbagai kota. “Permintaan datang setiap hari. Minimal 10 1 seminggu saya kirim,” kata pria 34 tahun.
Dari Bandung Elnadus Ponggilatan Turanggan yang iba melihat penderitaan ibunya segera terbang ke provinsi paling timur itu. Orang tuanya didiagnosis kanker pankreas. Ditangani dokter ahli selama 3 bulan, kesembuhan belum juga tiba. “Tak ada jalan lain, kecuali pengobatan alternatif,” kata pria 40 tahun itu.
Begitulah beragam orang dengan berbagai profesi seperti bankir, birokrat, pengusaha, dan pilot berduyun-duyun. Keinginan mereka sama: memperoleh buah merah. Apa pun jenis penyakitnya, mereka berharap pada kain—sebutan buah merah pada suku Katengban di perbatasan Pegunungan Bintang—Papua Nugini. Padahal, “Tak ada peluru ajaib untuk mengatasi berbagai penyakit. Penyembuhan itu bersifat individu, bukan massal,” kata dr Paulus.
Tak bahaya
Hal senada diungkapkan pengobat komplementer di Yogyakarta, dr Sidi Aritjahya. “Tak ada satu bahan tanaman cocok untuk semua penyakit. Kalau ada, mengapa Tuhan menciptakan banyak tanaman?” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Meski begitu, faktanya banyak yang sembuh—diperkuat dengan rekam medis—setelah rutin mengkonsumsi sari buah merah.
Menurut guru besar Farmasi Universitas Padjadjaran, Prof Dr Sidik, mestinya buah merah diuji klinis untuk mengetahui dosis dan toksisitas. Namun, sampai sekarang uji klinis belum dilakukan. Sedangkan I Made Budi, orang pertama yang meriset buah merah, masih merahasiakan beberapa bahan aktif yang berperan sebagai penyembuh dalam buah merah (baca: Demi Tuhan Saya Tak Berpikir untuk Monopoli, halaman 18—19).
Yang selama ini dipublikasikan secara meluas, pandan raksasa itu antara lain mengandung betakaroten dan tokoferol. Kadar betakaroten mencapai 700 ppm. “Itu luar biasa. Sebelumnya tak dikenal buah dengan kandungan antioksidan setinggi buah merah. Kami menyebutnya superantioksidan,” kata ahli gizi Institut Pertanian Bogor Dr Clara Mellyanti MSc. Betakaroten sudah terbukti antiradikal bebas dan antioksidan. Menurut Dr Didik Gunawan Apt dari Universitas Gadjah Mada, radikal bebas membahayakan kesehatan. Betakaroten menjadi benteng pertahanan tubuh. Sedangkan tokoferol berfaedah bagi regenerasi sel.
Konsumsi karotenoid dan tokoferol berlebihan, menurut Ahmad Sulaeman, tak membahayakan kesehatan. Sebab, keduanya baru cikal-bakal vitamin. Jika berlebih tubuh akan membuangnya bersama feses.
William Adi Teja menuturkan, dalam tradisi pengobatan cina, bahan berkulit keras dan tebal seperti buah merah cocok untuk mengatasi sirosis, darah tinggi, serta penyakit dalam. Sementara warna merah yang mencolok, menurut dokter alumnus Beijing University of Traditional Chinese Medicine, pas untuk pengobatan jantung.
Tren
Saat ini buah merah memang jadi primadona pengobatan herbal. Permintaan terus melambung menyebabkan munculnya produsen baru di berbagai tempat. Hasil lacakan Trubus di Wamena, Papua, hampir di setiap gang terdapat pengolah buah merah (baca: Lacak Jejak Tawi di Wamena halaman 26—27). Di sana setidaknya terdapat 11 produsen besar seperti PT Prima Baliem Subur (PBS).
Mulai Januari 2004 PBS mengolah kaef—sebutan buah merah bagi suku Ngalum. Menurut Hendro Saputro, pemilik perusahaan, produksi PBS 36—40 liter per hari. Pria 64 tahun itu hanya memanfaatkan buah merah asal dataran tinggi Wamena. Ia 4 kali menyaring agar sari buah merah dan pasta benar-benar terpisah sempurna. Sari buah merah dikemas dalam botol plastik 330 ml yang dijual Rp25O.OOO.
Para karyawan yang mengolah buah merah sebagai pekerjaan sambilan pun meraup laba. Jeni Rangan dan Yohannes Sangur—keduanya karyawan Dinas Pertanian Kabupaten Wamena—semula memproses buah itu untuk keperluan keluarga. Permintaan membanjir mendorong mereka untuk berniaga. Saat ini produksi masing-masing sekitar 5 liter per pekan. Widodo, pemilik penginapan di Wamena, mengolah tawi, lantaran, “Banyak tamu menanyakan sari buah merah.” Produksinya baru 7,5 liter sebulan yang dijual Rp400.000 per 750 ml. Ia juga memasok konsumen di Bandung 1 ton buah merah senilai Rp40-juta, baru terpenuhi 750 kg.
Di Timika pengolah bitam baru mulai bermunculan. Budi Suprapto di Koperamoka, Timika, rata-rata mengolah 4 buah per hari. Pensiunan perwira itu menjual ekstrak bitam di tokonya Rp500.000/450 ml. Dari satu buah sepanjang 80—90 cm ia memperoleh 150 ml. Tren pengolahan buah merah juga merambah Kabupaten Puncakjaya. Di sana sejak Desember 2004 Irene Songgonau rutin memproses 8 buah per hari.
Pengolahan buah merah memang tak hanya terpusat di Papua. Di Pamulang yang terletak beberapa kilometer di selatan Jakarta, Yos Hera Iswandari serius memproduksi sauk eken. Beruntung sang suami, pernah belasan tahun tinggal di Papua sehingga paham seluk-beluk pengolahan dan sentra produksi. Setiap 3 hari ia mengolah sekitar 10 buah yang tandas dipesan konsumen.
PT Trias Sukses Dinamika di Bogor pun mengendus peluang berbisnis buah merah. Dengan mesin canggih perusahaan memproduksi 400 kg buah merah asal Wamena. Penjualan minimal 200 botol masing-masing 100 ml per hari. “Itu sangat luar biasa. Keberhasilan menjual buah merah sebulan setara dengan penjualan mengkudu selama 2 tahun pertama,” kata direktur Trias Sukses Dinamika, Luki F Hardian. Perusahaan yang lebih dikenal sebagai Javanony itu semula mengolah mengkudu Morinda citrifolia.
Para produsen dan distributor di berbagai tempat yang dihubungi Trubus secara terpisah mengatakan, mudah memasarkan sari buah merah. Malahan banyak yang kewalahan memenuhi derasnya permintaan. Roslina Tasrip, misalnya, baru mampu melayani permintaan 10 1 per hari dengan harga Rp700.000 per liter. Perempuan 37 tahun yang mengolah di Sentani itu banyak menolak permintaan karena sedikitnya produksi. Dengan 2 atau 3 kali lipat, ia mengatakan sanggup memasarkannya.
Berebut
Karena buah merah pula, Pasar Jibama di Wamena yang semula senyap kini seperti tak pemah tidur. Setiap hari dari pagi hingga malam pasar selalu ramai transaksi buah merah. Menurut pengawas pasar, Darian Tabuni, setidaknya 24 mobil memasuki pasar saban hari. Mereka mengangkut buah merah segar dari Bogondini, Karubaga, Kelila, Ragayana, Tagime, dan Tembagapura.
Setiap mobil membawa 5 ikat atau 250 buah merah.
“Saya memilih menjadi pedagang buah merah karena untungnya besar,” kata Etaram Wenda, pedagang di Jibama. Perempuan 27 tahun itu mencari pasokan di Kelila dengan harga beli Rpl0.000—Rp25.000. Ia menjualnya Rp20.000—Rp50.000 per buah tergantung ukuran. Harga itu amat murah ketimbang di pasar Swadaya, Timika. Di sana harga buah merah Rp50.000— Rp300.000.
Kuansu jadi komoditas benilai ekonomi tinggi. Padahal sebelumnya di Biak, Mimika , Pegunungan Bintang, Puncakjaya, Yapen, Waropen dan beberapa wilayah lain di Papua ia kerap membusuk lalu jatuh dari pohon. Kalaupun
diolah paling hanya untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Harganya? Paling banter Rp5.000—Rp 10.000 per buah. Lihatlah sekarang pekebun berlomba-lomba memperluas penanaman. Rubeka Kiwak di Kualakencana, Elias Mirip di Paniai Timur, dan Amon Kum di Kwansi Lama hanya beberapa orang yang tergerak memperluas penanaman bitam.
Instansi pemerintah tak kalah gesit memperluas penanaman. Menurut Asep Herman, kepala Sub Dinas Produksi Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Papua, tahun ini dikembangkan 30 ha di Kerom dan Waropen. Kabupaten Tolikara, memperluas penanaman hingga 150 ha. Buah endemik Papua juga diklaim sebagai komoditas garapan Dinas Kehutanan. Lembaga itu menanam buah merah di Biak, Jayawijaya, Manokwari, Serui, Sorong, dan Wamena masing-masing 50—100 ha.
Pamor buah merah memang tengah mencorong. Harapan meraup laba tinggi digantungkan padanya. Lalu bagi para pasien, kerabat cangkuang itu menjadi tumpuan harapan untuk sembuh agar derita itu lekas berakhir. Cukup sudah lara berkepanjangan itu.