Minggu, 07 Maret 2021

Bisnis Jahe Menghadapi Tantangan yang Menyulitkan, Perlu Genjot Produksi dan Inovasi Produk

Bisnis jahe di Indonesia memiliki potensi yang luas, namun juga menghadapi sejuta kendala. Tanaman jahe yang memiliki harga jual sebesar Rp4.500/kg di kebun, menawarkan peluang besar bagi para pengusaha. Namun, banyak hambatan yang menghadang seperti kesulitan mencari pasar, masalah penyusutan berat, dan tingginya kendala penyakit.
bisnis jahe export import

Salah satu pengusaha yang baru terjun ke bisnis jahe, Novi, telah membuka lahan seluas 10 hektar di Tulungagung, Jawa Timur, untuk menanam jahe sebagai tanaman sela di kebun kelapa miliknya. Untuk memaksimalkan produksi jahe, ia bahkan mengontrak seorang konsultan dari Bali. Sang konsultan telah berhasil mencapai produksi jahe sebanyak 25 ton per hektar, jauh di atas rata-rata para pekebun yang hanya mampu mencapai 8 hingga 10 ton per hektar.

Namun, tidak semua pengusaha jahe dapat meraih kesuksesan seperti Novi. Andreas di Bengkulu, misalnya, mengalami kerugian besar dalam bisnis jahe. Ia berhenti memasok jahe ke salah satu eksportir besar karena menghadapi kendala seperti penipuan timbangan dan tingginya penyusutan berat. Andreas merugi hingga Rp1,5 juta setiap kali mengirimkan satu truk jahe berbobot 12 ton.

Bukan hanya Andreas, Prasman di Bandarlampung juga mengalami nasib serupa. Meski menanam jahe dengan harapan harga tinggi sebesar Rp5.000 per kg, ia hanya berhasil memanen 12 ton jahe dari lahan seluas 4 hektar. Produksi jahe yang rendah dan harga yang anjlok membuatnya merugi hingga Rp18 juta. Akibatnya, banyak pekebun jahe yang kapok dan berhenti berbisnis jahe.

Kendala-kendala seperti ini juga dialami oleh para pekebun jahe yang dihubungi oleh Trubus. Dari 19 pekebun jahe yang berkompeten di Indonesia, 17 di antaranya berhenti berbisnis jahe. Kendala di kebun dan ketidakstabilan harga jahe menjadi faktor utama dalam keputusan mereka. Terlebih lagi, negara seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Thailand juga ikut menawarkan jahe ke pasar internasional, sehingga Indonesia harus bersaing dengan mereka.

Meskipun demikian, kebutuhan lokal terhadap jahe tetap tinggi. Jahe banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri jamu, seperti dalam jamu untuk rematik, Kuku Bima, STMJ, tolak angin, dan ginger tea. Permintaan jahe dari perusahaan jamu sangat besar, namun kuota produksi pekebun plasma masih belum mencukupi. Banyak perusahaan jamu yang masih mengandalkan pasokan jahe dari ratusan pemasok di Jawa. Kendalanya, jahe dari para pemasok seringkali tidak memenuhi standar kualitas yang diinginkan.

Di sisi lain, jahe juga memiliki pasar tradisional yang besar. Asosiasi Tanaman Obat Yogyakarta (ATOY) mampu menampung dan menjual 100 ton jahe dalam setahun. Jahe tersebut diserap oleh kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Lampung, Riau, Medan, dan Palembang. Tingginya permintaan ini membuat beberapa pekebun jahe merasa optimis, terutama karena harga jahe cenderung stabil. Harga jahe emprit saat ini berkisar antara Rp5.500 hingga 7.000 per kg, jahe merah Rp5.757 hingga 7.500 per kg, dan jahe gajah Rp2.500 hingga 4.500 per kg.

Untuk menghadapi tantangan dalam bisnis jahe, Hendra Djaja Dipl. Ing. menyarankan agar produksi jahe dilipatgandakan dan pelaku bisnis harus pandai membaca pasar dalam dan luar negeri, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Selain itu, pengusaha juga dapat melakukan inovasi produk dengan mengolah jahe menjadi berbagai produk turunan. Sebagai contoh, di Ampel, Boyolali, pekebun jahe telah menciptakan serbuk jahe dan sirup jahe, yang dapat membantu mereka saat harga jahe turun.

Bisnis jahe di Indonesia memiliki potensi yang besar, namun juga menghadapi sejumlah kendala yang perlu diatasi. Dengan genjot produksi, pemahaman pasar, dan inovasi produk, pelaku bisnis jahe memiliki kesempatan untuk meraih kesuksesan dalam bisnis ini.

Document last updated at: Minggu, 7 Mar 2021