Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia: Pencegahan, Gejala, dan Pengendalian


Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit mulut dan kuku (PMK) telah menjadi perhatian serius di Indonesia. Kebijakan Menteri Pertanian yang menolak masuknya produk pertanian dari negara terkena wabah PMK telah menimbulkan ketegangan dengan beberapa importir, mengancam perjanjian dagang yang telah disepakati sebelumnya. Namun, langkah ini sebenarnya patut mendapat acungan jempol karena mencegah kemungkinan kembalinya PMK yang dapat memiliki dampak politik, sosial, dan ekonomi yang merugikan.

PMK merupakan penyakit hewan yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health) menempatkannya di peringkat teratas dalam daftar penyakit yang berpengaruh besar terhadap perdagangan. Begitu suatu negara terjangkit PMK, gerbang ekspor produk pertaniannya langsung tertutup di seluruh dunia. Bahkan sektor pariwisata juga terdampak, di mana negara-negara lain dapat melarang warganya untuk mengunjungi daerah terkena PMK karena khawatir wisatawan dapat membawa virus tersebut kembali ke negaranya.

Dalam upaya untuk memerangi PMK, pemerintah harus mengalokasikan dana yang signifikan. Profesor Emir Siregar dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB menyebutkan bahwa diperlukan anggaran sekitar Rp 4 triliun untuk ganti rugi pada peternak sapi saja. Jumlah ini belum termasuk biaya vaksinasi dan personel, serta perlunya memperhatikan juga ternak lainnya di Indonesia, yang saat ini mencapai 5 hingga 6 juta ekor sapi.

Foot and Mouth Disease

Foot and Mouth Disease (FMD), atau dikenal juga sebagai penyakit mulut dan kuku, adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus FMDV (Foot and Mouth Disease Virus). Penyakit ini mempengaruhi hewan berkuku belah seperti sapi, domba, kambing, dan babi. FMDV termasuk dalam keluarga Aphthovirus dan memiliki tujuh serotipe yang berbeda, yaitu O, A, C, Asia 1, SAT 1, SAT 2, dan SAT 3.

Gejala dan Patogenesis

Setelah masa inkubasi selama 2-14 hari, hewan yang terinfeksi FMDV akan mengalami demam tinggi, penurunan nafsu makan, dan lesu. Gejala klinis lainnya meliputi luka ulseratif pada lidah, gusi, pipi dalam, bibir, kaki, dan puting susu pada sapi betina. Luka tersebut biasanya berisi cairan bening yang kemudian berubah menjadi kerak yang mudah lepas. Hewan yang terinfeksi juga mengalami kesulitan dalam makan dan berjalan, yang dapat menyebabkan penurunan produksi susu dan pertumbuhan yang buruk.

FMDV menyebar melalui kontak langsung antara hewan yang terinfeksi atau melalui sekresi dan ekskresi mereka. Virus ini dapat bertahan hidup dalam air, makanan, dan bahan organik lainnya. Transmisi melalui udara juga dapat terjadi dalam kasus infeksi pada babi. FMDV dapat menyebar dengan cepat melalui pergerakan hewan yang terinfeksi, manusia, kendaraan, alat-alat peternakan, pakaian, dan sepatu bot yang terkontaminasi.

Diagnosa

Diagnosa FMD didasarkan pada gejala klinis, riwayat epidemiologi, dan pemeriksaan laboratorium. Pengujian laboratorium yang umum dilakukan meliputi deteksi langsung virus menggunakan metode seperti RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) atau isolasi virus dari sampel jaringan hewan yang terinfeksi. Selain itu, pengujian serologis seperti ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) juga digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap FMDV.

Pengendalian

Pengendalian FMD melibatkan langkah-langkah yang meliputi karantina, pemusnahan hewan yang terinfeksi, dan vaksinasi. Vaksinasi menjadi metode utama dalam pengendalian FMD. Vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif yang terbuat dari serotipe virus yang beredar di daerah tersebut. Vaksinasi biasanya dilakukan secara massal pada hewan ternak yang rentan. Selain itu, tindakan pengawasan sanitasi yang ketat, termasuk pemisahan hewan yang terinfeksi dan pembatasan pergerakan hewan yang berpotensi membawa virus, juga diterapkan untuk mengurangi penyebaran FMDV.

Kasus Terkini dan Statistik

Berdasarkan data terkini yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tahun 2023, jumlah kasus FMD di seluruh dunia terus bervariasi. Lonjakan kasus FMD dilaporkan terjadi di beberapa negara, terutama di wilayah Asia dan Afrika. Negara-negara tersebut sedang melakukan upaya untuk mengendalikan penyebaran penyakit dan meminimalkan dampaknya melalui program vaksinasi yang efektif dan tindakan pengendalian yang ketat.

Sejarah dan Penyebaran PMK di Indonesia

PMK pertama kali mewabah di Indonesia pada tahun 1886-1887 di Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumatera. Wabah besar terjadi pada tahun 1974 di Jawa dan Bali, yang kemudian mendorong pemerintah untuk serius memberantas penyakit ini dengan melakukan vaksinasi teratur.

Bali berhasil membebaskan diri dari PMK, tetapi Jawa tidak segera mengikuti jejaknya. Pada tahun 1983, PMK kembali muncul di Blora, Jawa, kemungkinan disebabkan oleh kedatangan wisatawan mancanegara yang membawa virus melalui barang-barang yang mereka bawa. Baru pada tahun 1985, setelah 5 tahun berjuang, Indonesia dinyatakan bebas dari PMK.

Penting untuk diingat bahwa walaupun Indonesia telah dinyatakan bebas PMK, kita tidak boleh lengah. Virus PMK dapat masuk kembali ke negara ini melalui penyelundupan barang-barang terlarang. Oleh karena itu, pemerintah harus tetap melakukan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kemungkinan masuknya virus PMK.

Pencegahan dan Penanggulangan PMK

Pencegahan PMK memerlukan kerja sama dari berbagai departemen dan instansi terkait. Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, serta kepolisian harus bekerja sama dalam upaya penanggulangan PMK.

Pemeriksaan harus dilakukan di pintu-pintu masuk perdagangan dan daerah perbatasan dengan menggunakan hewan sentinel sebagai indikator. Babi sering digunakan karena sensitivitasnya terhadap virus PMK. Jika ada gejala PMK, tindakan penanganan dapat segera diambil dengan cepat.

Selain itu, edukasi kepada peternak juga penting dalam upaya pencegahan PMK. Peternak harus diberikan pengetahuan tentang tanda-tanda awal penyakit dan langkah-langkah yang harus diambil jika terdeteksi adanya gejala PMK pada hewan ternak mereka. Selain itu, vaksinasi secara rutin juga menjadi kunci dalam menjaga kekebalan hewan terhadap virus PMK.

Implikasi Sosial dan Ekonomi

PMK memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Ketika suatu daerah terkena wabah PMK, peternak sapi akan mengalami kerugian besar karena hewan-hewan mereka harus dikorbankan untuk mencegah penyebaran virus yang lebih luas.

Hal ini dapat menghancurkan mata pencaharian peternak dan mengganggu keberlangsungan usaha mereka. Selain itu, dampaknya juga dirasakan oleh pedagang, pengusaha, dan masyarakat luas yang bergantung pada industri pertanian.

Dalam konteks ekonomi, negara yang terkena wabah PMK juga akan kehilangan akses ke pasar internasional. Negara-negara lain akan membatasi atau melarang impor produk pertanian dari negara yang terkena wabah untuk melindungi industri pertanian mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pendapatan negara dan ketidakstabilan ekonomi.

Peran Masyarakat dan Tantangan Ke Depan

Peran masyarakat dalam pencegahan PMK juga sangat penting. Masyarakat harus menjadi sadar akan pentingnya kebersihan dan kesehatan hewan ternak mereka. Tindakan sederhana seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah berinteraksi dengan hewan ternak dapat membantu mencegah penyebaran penyakit. Selain itu, melaporkan gejala PMK pada hewan ternak ke otoritas terkait adalah langkah penting untuk mengambil tindakan cepat dalam memerangi penyakit ini.

Tantangan ke depan dalam penanggulangan PMK adalah meningkatkan kesadaran masyarakat, mengoptimalkan sistem pemantauan, dan memperkuat kerjasama antarlembaga. Diperlukan juga upaya untuk mengembangkan vaksin yang lebih efektif dan terjangkau, serta meningkatkan infrastruktur kesehatan hewan di seluruh negeri.

Penutup

PMK merupakan ancaman serius bagi pertanian dan ekonomi Indonesia. Dalam rangka melindungi industri pertanian dan menjaga keberlanjutannya, langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan PMK harus diambil secara serius oleh pemerintah, peternak, dan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya pencegahan, vaksinasi rutin, dan pelaporan gejala PMK adalah langkah-langkah yang dapat membantu mengurangi risiko wabah PMK di masa depan.

Mari bersama-sama menjaga keamanan pertanian kita dan melindungi hewan ternak dari penyakit serius ini. Bersama kita bisa membangun keberlanjutan pertanian yang kuat dan melindungi kehidupan ekonomi kita.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus