Ekspor Bambu Tersandung Bahan Baku

Aneka bunyi perkakas kayu mengalun seperti musik di bengkel kerja Arsih Model. Menggergaji, memaku, mengampelas, hingga mengoles pelitur merupakan pemandangan rutin setiap hari. Di pusat kerajinan bambu itu, batang-batang bambu betung disulap menjadi seperangkat furnitur ruang tamu dan dijajakan minimal Rp2,5-juta.

Masih banyak lagi model furnitur karya perajin bambu betung di Ungaran, Kabupaten Semarang, itu. Kursi malas, sofa, tempat tidur, lemari, dan meja rias. Perlengkapan kantor seperti meja biro, filing kabinet, lemari kantor, meja, dan kursi rapat hingga kreasi baru, gazebo bambu bongkar-pasang juga ada.

Kerajinan itu untuk pasar ekspor. Sejak 2000, 2 sampai 3 kontainer/bulan rutin dikirim ke Eropa. Arsih model memasang harga minimal US$400 per set. Dari bisnis itu, sekitar USS 15.000 sampai 20.000 per bulan mengalir mengisi kas.

Mangku Bamboo di Gianyar, Bali tercatat pula sebagai eksportir mebel bambu. Selama lebih dari 10 tahun lemari, sofa, kursi, dan meja berbahan baku kerabat rumput-rumputan itu diekspor ke Jerman, Austria, dan Amerika Serikat. "Volume ekspor rata-rata 25 set per bulan," papar I Made Wijaya, Direktur Mangku Bamboo.

Harga per set mencapai USS 1.000 Menurut Ir Rickyanto Chandra, direktur Arsih Model, konsumen Eropa akrab dengan isu kembali ke alam. Produk-produk yang berkesan alami menjadi incaran. Tak heran jika aneka kerajinan bambu disukai. Terbukti permintaan importir meningkat sebesar 30 sampai 50% per tahun.

Kurang bahan baku


Sayang, industri-industri seperti itu kini mulai menjerit lantaran seret bahan baku. Arsih Model sejak beberapa bulan lalu mengurangi pengiriman hingga 2 kontainer. Itu pun lebih banyak didominasi oleh gazebo bambu. ’’Bahan baku tak semudah dulu diperoleh," ucap Kristin, staf Arsih Model.

Industri sumpit yang selama ini dikenal paling rakus menyedot bambu pun keteteran. Dua perusahaan besar di Magelang dan Semarang yang dihubungi Budidaya Tani menghentikan ekspor sejak 2 tahun lalu. "Bahan baku harus berebut. Kadang dapat, tapi lebih banyak ngga," tutur Lusi S, staf pemasaran PT Duta Sumpit di Magelang.

Target produksi 200 kontainer per tahun, tak mampu dipenuhi PT Indotama Omicron Kahar, satu-satunya produsen sumpit bambu di Purworejo. "Ekspornya ke Korea, Taiwan, dan Jepang pun masih tergantung pada pesanan karena kekurangan bahan baku," papar Ir. Sri Rahayu, Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Purworejo.

Nasib sama menerpa PT Multipratama Indah perdana (MI), produsen sumpit di Sukabumi. Padahal, kapasitas produksi mencapai 2 ton/hari. "Produksi bisa turun hingga 50% pada musim hujan karena kesulitan bahan baku," papar Ferry Saputra, manajer MI.

Selain diekspor ke Taiwan dan Hongkong, sumpit MI juga diserap pasar lokal. Dari produk kelas B yang dijual ke pasar lokal, perusahaan bisa memperoleh tambahan penghasilan Rp50-juta per bulan.

Mudah terbakar


Kelangkaan pasokan bukan tanpa alasan. Selama ini bambu cuma ditanam menghiasi tegalan untuk mencegah erosi. Atau sekadar peneduh di pekarangan rumah. "Di sini yang dikenal sentra bambu saja belum terpikir untuk mengebunkan," ucap salah satu staf Subdin Perkebunan, Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo.

Di balik itu kendala besar menghadang jika bambu dikebunkan secara luas. "Bambu rentan terbakar terutama pada musim kemarau panjang," kata Dr Elizabeth A. Wijaya, pakar bambu dari LIPI. Penyebabnya gesekan antarbatang bisa menimbulkan percikan api. Jika itu terjadi sangat sulit dipadamkan. Hal itu pernah dialami para pekebun di Cina.

Toh, PT Great Giant Pinneaple Co (GGP) di Lampung berani mengambil risiko. Tak tanggung-tanggung sekitar 3.500 ha lahan ditanami 46 jenis bambu. Agar kejadian buruk itu bisa diminimalisasi, kebun-kebun bambu itu ditanam berselang-seling dengan nanas. "Cara itu efektif menekan kemungkinan timbulnya api pada kemarau panjang," ucap Dr Elizabeth yang pernah menjadi konsultan GGP. Alhasil GGP rutin memasok bambunya ke PT Chiu Fung dan PT Sinar Bambu Mas sebagai bahan sumpit dan kertas.

Perajin kecil aman


[caption id="attachment_5029" align="aligncenter" width="1511"] Laku diekspor[/caption]

Beruntung perajin skala kecil tak dipusingkan oleh kesulitan mendapatkan bahan baku. Pasalnya konsumsi batang anggota famili Gramineae itu lebih sedikit. "Rata-rata mereka memakai 4 sampai 5 batang bambu saja," ucap Dr Elizabeth. Oleh karena itu industri perajin anyaman, sangkar, hingga tirai bambu aman-aman saja.

Di Purworejo, industri kerajinan bambu menjadi sumber penghasilan utama di beberapa wilayah. Sebut saja di Desa Ngemplak dan Kemiri, Kecamatan Jatiwangsang. Di 2 sentra besek bambu itu sekitar 1.750.000 tangkep per tahun diproduksi oleh 7.000 unit usaha. Di Desa Wiron, Kutoarjo, kini ada 56 unit usaha yang memproduksi 5.000 sangkar burung dari bambu per bulan.

Di Bali, Putra Waringin memproduksi kandang bambu untuk ekspor hingga 4.000 buah/bulan "Tak ada kesulitan bahan baku," ucap I Ketut Mirta. Kandang-kandang itu rutin dipasok ke Singapura, Belanda, dan Amerika Serikat.

Hambatan perajin kecil karena mutu dan model kerajinan yang dihasilkan. Itu yang menyebabkan industri kerajinan bambu di Rajapolah, Tasikmalaya, jalan di tempat. "Dari dulu modelnya itu-itu saja. Padahal penyuluhan soal keinginan konsumen berkali-kali diberikan," jelas Nanang ST, staf Unit Pelayanan dan Pemasaran Kerajinan Puskud Jawa Barat.

Dampaknya penjualan menurun. Itu yang dirasakan Wartika, pemilik Puri Asih Artshop, di Rajapolah.
Lebih baru Lebih lama