Eksportir Kopi Kini Berharap Pada Buah Surga

Gara-gara pembatasan ekspor pada 2000 kerajaan bisnis perniagaan kopi yang dikelola Sapta Surya nyaris limbung. Produksi dunia melimpah membuat harga merosot. Memasarkan anggota famili Rubiaceae ke pasar dunia tak lagi menjanjikan keuntungan. Buah naga suguhan tuan rumah kala berkunjung ke Vietnam jadi penyelamat. Kini pria kelahiran Surabaya 56 tahun silam dan tanaman gurun itu tak terpisahkan.

Nama Sapta Surya pastilah tak asing di telinga komunitas eksportir kopi Indonesia. Maklum saja ayah 6 anak itu malang melintang memasarkan si penghasil kafein sejak 1963. Di bawah bendera Yasa Setia perusahaan keluarga warisan orang tua pasar Jepang mula-mula ditembus.

Itu tak semudah membalik telapak tangan. “Wah, (memasok) pasar baru itu susah. Volume pengiriman sedikit, paling 3 sampai 5 kuintal sekali kirim,” tutur Sapta. Menyopiri sendiri truk berisi biji kopi siap ekspor pun dilakoni. Waktu itu kapal barang sudah siap angkat sauh sementara pengemudi truk absen lantaran sakit.

Untuk mendorong penambahan volume ia melakukan konsinyasi dengan importir. Ternyata bisa dibayar 1 bulan,” lanjut pria yang pernah bekeija sebagai staf gudang di perusahaan milik kakaknya itu. Sejak saat itu biji kopi kiriman Yasa Setia membanjiri pasar Jepang.

Banting setir


[caption id="attachment_4690" align="aligncenter" width="1232"] Dari Juragan kopi beralih ke buah surga[/caption]

Sayang importir negeri matahari terbit berbuat nakal sehingga hubungan kerja putus. Namun, itu tidak membuatnya patah arang. Ibarat air, dibendung di depan akan mencari jalan ke kiri atau ke kanan agar terus mengalir. Itulah yang dilakukan Sapta.

Batu sandungan itu justru membuka peluang. Pasar Jepang mendek, giliran Taiwan, India, Singapura, serta negara-negara Eropa dan Amerika sukses digarap. Wajar bila perusahaan terus meraksasa. Gudang mungil berukuran 4 x 4 m2 yang dibangun pada 1962 kini menjadi bangunan mewah berfasilitas helipad di lahan 4 ha di Gresik. Di sanalah kegiatan pengolahan kopi dipusatkan. Tak sekadar biji untuk ekspor, tapi juga kopi bubuk untuk pasar lokal.

Komoditas yang digarap pun bertambah. Selain kopi, perusahaan mengelola kebun kakao dan kelapa sawit di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Di bawah anak perusahaan lain, dunia properti dan pemasok beragam barang dimasuki. Salah satunya memasok kertas semen dan mesin ke produsen semen di Gresik.

Sayang bulan madu perniagaan kopi harus berakhir. Retensi kopi pada 2000 membatasi ruang gerak Sapta Surya. Harga yang terus melorot akibat produksi dunia melimpah membuat kopi tak lagi menjanjikan. Harga menggiurkan USS145, 41 per lb (1 lb setara 0.45 kg) pada 1995 tinggal janji. Pada Januari 2000 nilai jual kopi hanya US4119,30 per lb. Memasuki Mei 2000 terjun bebas hingga US496,45. Sialnya, harga kopi di pasar lokal ikut jatuh lantaran rendahnya nilai rupiah terhadap dolar.

Kunjungan ke Vietnam atas undangan Asosiasi Ekportir Kopi Indonesia pada Februari 2001 membuka mata. Sapta menemukan fakta produksi kopi Vietnam mencapai 3 sampai 7 ton per ha; Indonesia, cuma 150 kg. “Bagaimana kita bisa bersaing? Kalau kita terus bekerja, bisa-bisa kita mati,” keluhnya.

Berawal dari sana anak ke-4 dari 7 bersaudara itu banting setir. Buah naga berdaging putih yang ia santap pertama kali di kediaman konsul jenderal RI di Vietnam jadi pilihan. Ia merujuk harga buah naga impor yang saat itu sudah dijajakan di pasar swalayan di Surabaya Rp20.000 per kg.

Belajar Dari internet


Niat mengebunkan buah naga bulat waktu ia iseng-iseng berselancar di internet. Sebuah situs menyebutkan produksi dari 2.000 ha lahan penanaman di Vietnam hanya cukup untuk memenuhi 30% kebutuhan pasar Asia. Pun produksi dari Thailand. Fakta belum ada pekebun di Indonesia yang melirik, justru membuat Sapta semakin tertantang.

Sepulang dari Vietnam pria ramah itu langsung serius menekuni si buah surga itu. Kliping tentang pengembangan Hylocereus undatus di Vietnam dan Thailand yang dikumpulkan sejak 1999 jadi pedoman awal.

Pasuruan dipilih sebagai lokasi kebun seluas 3 ha pada April 2001. Yang ditanam buah naga merah berdaging putih Hundatus. Luasan 3 ha berdasarkan hitungan hasil panen dari lahan itu cukup untuk mengisi 1 kontainer. “Terus terang saya melihat prospek buah naga memang untuk ekspor,” kata komisaris PT Jolo Sutro Nusantoro (JSN) perusahaan yang menaungi pengelolaan buah naga. Toh, dengan jumlah penduduk besar pasar lokal pun tetap menarik.

Panen perdana dinikmati pada November 2001 dari luasan 1 ha sisa 2 ha belum produksi karena ditanam bertahap. Itu H. undatus pertama yang dipanen dari kebun lokal. Lantaran usia tanaman masih seumur jagung, baru 1.300 buah siap petik. Padahal dengan populasi 6.400 per ha idealnya dipetik 25.600 buah bila seluruh sulur produksi berbuah.

Hasil panen itu langsung ludes saat dijajakan di pasar swalayan di Surabaya. Malahan waktu perayaan Imlek sampai buah naga favorit sebagai sajian untuk para leluhur JSN kewalahan memenuhi permintaan. Padahal harga relatif mahal, di kebun Rp 15.000 per kg.

Memasuki tahun ke-2 produksi, JSN rutin memasok 3 pasar swalayan di kota Pahlawan. Frekuensi pengiriman 2 kali seminggu, masing-masing 100 sampai 200 kg per pasar swalayan saat panen raya Desember Maret. Begitu Imlek permintaan berlipat 2 sampai 3 kali. Sapta terus memperluas kebun. Dari 50 ha yang direncanakan, sudah 13 ha tertanam. Di antaranya ditanami buah naga berdaging merah H polyrhizus dan naga kuning berdaging putih Selenicereus megalanthus.

Meski permintaan ekspor dari Taiwan mengalir masuk, Sapta hati-hati memenuhi. Selain produksi masih terbatas, ia ingin mempelajari daya tahan buah gurun itu selama perjalanan dan penyimpanan di negara tujuan. Tanamnya sudah sakit, jangan sampai waktu memasarkan sakit lagi karena sampai negara tujuan buah busuk,” tutur kolektor tanaman hias dan buah itu.

Ia punya pengalaman buruk saat mengekspor umbi kalaleli. Pertama kali mengirim dengan volume 10 sampai 70 kg seharga US$3 lancar. Begitu volume mencapai kuintalan barang dilaporkan busuk tiba di negara tujuan. Bukti berupa foto produk rusak yang diminta Sapta tak kunjung didapat. Malahan pembayaran akhirnya tidak dilunasi. Berbekal pengalaman itu, ia hanya mau menjual buah naga di tempat.

Kawasan Agrowisata


Kini perhatian pria jangkung itu memang lebih banyak pada si buah naga. “Tapi bukan berarti pekerjaan lain ditinggalkan ” katanya. Kesibukan bisnis kakao, properti, dan kopi sampai temporer kalau harga bergerak naik sampai lebih banyak diserahkan kepada anak buah.

Lokasi kebun di jalur wisata menuju Bromo strategis sebagai agrowisata. Tanpa disengaja, format agrowisata sudah mulai dirintis sekarang. Kebun di Desa Pohgading itu ramai pengunjung calon pekebun atau mereka yang sekadar ingin tahu sosok tanaman dan cara penanaman buah naga. Biasanya penggemar olahraga jalan kaki itu menemani sendiri tamu-tamunya. Dengan luas penanaman 13 ha Sapta berharap, akhir tahun ini kerabat kaktus dari Pohgading bisa dinikmati di Taiwan.
Lebih baru Lebih lama