Jati Menjulang, Laba Didulang

Ke mana pun pandangan diarahkan yang tampak hanya tunggul-tunggul setinggi 40 cm. Hutan jati di Boja, Kabupaten Semarang, itu berubah wajah setelah gergaji-gergaji penjarah menebas habis Tectona grandis. "Era reformasi kebablasan. Hutan di tepi jalan raya yang ramai saja dijarah," ujar Prakoso Heryono, pengusaha tabulampot di Semarang yang menemani Budidaya Tani.

Tunggul-tunggul yang tersisa di sana jelas mengindikasikan penebangan ilegal. Beberapa tahun terakhir hutan-hutan jati Perhutani menjadi sasaran empuk para penjarah. Tak hanya di Boja, kawasan hutan jati di wilayah Pacet, Mojokerto, juga saksi bisu korban penjarahan. Tak kurang dari 3 bukit di kawasan itu gundul akibat ulah penjarah.

Di seantero Jawa Timur, Mojokerto tercatat salah satu di antara 5 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani yang paling parah kerusakan hutan jatinya. Area lain: Kediri, Malang, Tuban, dan Banyuwangi. Pada 2000 Perum Perhutani Jawa Timur mencatat kehilangan 23.000 ha; Jawa Tengah, mencapai 1.685.676 pohon (sekitar 240.000 m3 kayu bundar).

Penurunan Produksi


Noor Imanuddin, Kepala Hubungan Masyarakat KPH Madiun, mengakui, jati mudah dipasarkan. Itu salah satu pemicu aksi penjarahan kian marak. Dilempar dengan harga Rp300.000 sampai Rp500.000 per m3 saja laris bak kacang goreng. Pasalnya, jati kelas III produksi Perhutani saja saat ini dilelang dengan harga minimal Rp900.000 per m3.

Aksi penjarahan menyebabkan produksi jati Perhutani terus menurun. Padahal, Perhutani menurunkan daur panen. Dahulu, jati baru ditebang pada umur 80 tahun. Sesudah perang dunia kedua usia tebang diturunkan menjadi 60 tahun. Belakangan, daur panen malah hanya 30 tahun. Itu lantaran penjarah melakukan penebangan membabi buta. Masih berumur 15 sampai 20 tahun pun sudah ditebang.

Produksi Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah juga menurun. Dari 402.209 m3 jati bundar pada 1997 menjadi 321.477 m3 pada 1998. Pada 1999 turun lagi menjadi 312.159 m3 jati bundar dan 2.616 m3 jati persegi. Bahkan pada 2000 produksi jati bundar hanya 276.884 m3 dan 2.764 m3 jati persegi dari areal 46.091 ha. Total produksi jati Perum Perhutani saat ini tinggal 250.000 sampai 300.000 m3 per tahun. Itu diperoleh dari hutan seluas 312.216,47 ha.

Kondisi itu sangat disayangkan. Sebab, menurut Lewi Pohar Cuaca, Manajer Pemasaran PT Monfori Nusantara, permintaan jati masih sangat besar. “Diperkirakan permintaan mencapai 2,5-juta sampai 3-juta m3/tahun,” ungkapnya.

Jati Relatif Cepat tumbuh


[caption id="attachment_4067" align="aligncenter" width="1492"]jati persegi Jati siap panen[/caption]

Besarnya permintaan jati itulah yang ditangkap Monfori Nusantara sebagai peluang. Sejak 1996 perusahaan itu gencar memasyarakatkan penanaman jati di lahan milik masyarakat. Apalagi setelah Monfori membuktikan, jati tak selamanya tumbuh lambat. “Jati yang kami perkenalkan tumbuh jauh lebih cepat dibanding jati lokal yang belum diseleksi,” papar Lewi. Karena itu, umur panen bisa lebih singkat.

Budidaya Tani sempat menyaksikan pertumbuhan jati sangat baik di Medan. Dalam usia 3 tahun berdiameter 14 sampai 15 cm dengan tinggi 8 sampai 10 m. Di Kelurahan Pulubala, Kecamatan Kota Utara, Gorontalo, klon jati yang sama juga berdiameter 12 sampai 14 cm pada umur 2,5 tahun.

Melihat pertumbuhan itu, Ir Zahir, manajer area PT Monfori Indonesia di Medan, optimis pada umur 5 tahun diameter batang dapat mencapai 20 sampai 25 cm. “Saat itu sudah dapat dilakukan penjarangan pohon,” paparnya. Hasilnya dijual sebagai jati kelas III untuk keperluan industri mebel. Dari setiap pohon dihasilkan 0,3 sampai 0,5 m’ kayu. Jika harga jual Rp500.000/m3, berarti pekebun memperoleh pendapatan Rp 150.000 sampai Rp250.000/pohon. Atau untung sekitar Rp 110.000 sampai Rp210.000/pohon karena biaya produksi selama 5 tahun tak lebih dari Rp40.000/pohon, termasuk bibit.

Jati Makin Dilirik pekebun


Wajar jika Palar Nainggolan, pengusaha tekstil di Medan, menanam 1.900 pohon jati di halaman belakang rumah di areal seluas 2 ha. Di lokasi lain sekitar 1.500 pohon ditanam. Saat Budidaya Tani berkunjung, jati berumur 2,8 tahun itu berdiameter 12 sampai 14 cm. Tak hanya itu, pertumbuhannya juga seragam sehingga menarik dipandang mata.

“Kalau laku Rp 1-juta per pohon saja di usia 15 tahun, berarti halaman belakang rumah saya bakal bernilai Rp3,4-milyar,” ucap pria 4 anak itu. Ia menganggap jati sebagai tabungan menjelang usia tua.

Budiman Sihombing di Lubukpakam, Deliserdang, Sumatera Utara malah sudah lebih dulu menanamnya. Jati yang kini berumur 3 tahun itu menjadi incaran pengusaha mebel.

Padahal, pemilik UD Tani Subur itu baru merencanakan penjarangan pada 2006. Jati yang ditanam pada Oktober 2000 itu sudah berdiameter 12 sampai 15 cm meski perawatan tidak seintensif kebun Palar. Di kebun seluas 1,5 ha di pinggir jalan lintas sumatera, antara Medan sampai Siantar, tak kurang dari 1.500 pohon tumbuh subur. Kebunnya tertata rapi dengan jaraktanam dipakai 2,5 m x 3 m.

Tak hanya di situ saja Sihombing mengembangkan jati. Kebun kelapa sawit seluas 3 ha di Desa Tumbukan, Kecamatan Galang, Deliserdang, juga ditanami. Sekitar 1.500 pohon ditanamnya di antara pertanaman kelapa sawit.

Sama halnya H. Oeminto, peneliti perusahaan swasta di Binjai. Ia tertarik mengebunkan jati super karena alasan keuntungan. Halaman rumahnya seluas 1,5 ha disulap menjadi kebun jati.

Jamil, Kepala Desa Sukamandi Ilir, Pagarmerbau, Deliserdang, berencana mengembangkan jati sebagai jalur hijau di daerah aliran Sungai Deli. Ia berharap sekitar 660 pohon yang bakal ditanam di kedua sisi sungai itu dapat menahan laju erosi di sana.

Budidaya Kayu Jati Makin marak di Sulut


Seperti di Medan, masyarakat Sulawesi Utara juga kini banyak melirik jati. Contohnya Vecky Manembu, pegawai negeri di Manado. Bulan lalu dia mendatangkan sekitar 2.000 biji jati dari Yogyakarta. Sengaja ia mendatangkan biji, bukan bibit, untuk mengatasi keterbatasan dana. “Rencananya musim hujan ini akan disemai,” papar warga Kelurahan Pakowa, Manado. Lahan seluas 2 ha di Desa Popareng, Kecamatan Tumpaan, Minahasa Selatan sudah siap ditanami.

Felix Mogi, karyawan sebuah bank swasta di Jakarta, malah sudah merealisasikan penanaman. Sejak 2000 ia mengebunkan jati di areal 18 ha di lereng Gunung Tampusu di Tonsaru, Minahasa. “Anggap saja tabungan hari tua. Toh, tanaman tak memerlukan perawatan khusus,” papar pria Kawanua itu.

Yang juga berharap laba jati adalah Ateng Iskandar di Sukabumi. Ia optimis menangguk keuntungan dari berkebun jati unggul. Sebelumnya pria paruh baya itu mengembangkan sengon sejak 1980-an. Namun, karena harga jual terlalu rendah, ia mengganti dengan 2.000 pohon jati di lahan 1 ha.

Tiga tahun kemudian Ateng menancapkan lagi 20.000 bibit jati di areal 10 ha. Kini, tanaman berumur 3 tahun itu setinggi 8 sampai 10 m dengan diameter 12 sampai 15 cm. Tak salah jika ia menggantungkan harapan pada batang-batang jati itu.
Lebih baru Lebih lama