Selasa, 23 Maret 2021

Menaklukkan Pasar Benih: Sartono, Penemu Benih Lokal, Berbagi Rahasia Suksesnya!

Blitar, Jawa Timur - Dalam catatan sejarah Jepang yang disebut Nihon Koki, perilaku penduduk Pulau Miyajima disamakan dengan keistimewaan Otorii, yaitu tabu untuk menyerah dan teguh memegang prinsip. Sifat tersebut sepertinya mewarnai perjalanan hidup Sartono, seorang produsen benih lokal yang berbasis di Blitar, Jawa Timur.

Tidak tergoyahkan oleh dominasi produsen benih mancanegara, Sartono tetap berdiri tegak. "Kita tidak boleh menjadi tamu di rumah sendiri," ucapnya dengan penuh semangat. Semangat nasionalis yang tulus terbukti dalam sebaran penanaman cabai trisula, salah satu hasil karyanya, yang telah mencapai Bali, Sumbawa, Mataram, Sumatera, dan Jawa.

Cabai trisula yang memiliki ukuran besar, panjang 12 sampai 15 cm, diameter 1 sampai 2 cm, serta bobot per buah 10 sampai 15 g, menjadi favorit para pekebun. Buahnya berwarna merah saat matang dan memiliki tekstur yang keras sehingga dapat disimpan selama 12 hari. Selain itu, cabai trisula juga cukup tahan terhadap serangan antraknosa dan fusarium.

Sartono telah meluncurkan sekitar 30 jenis benih sayuran, termasuk benih hibrida seperti tomat dan jagung. Semua benih tersebut laris manis di pasaran. Kesibukannya semakin meningkat ketika peneliti-peneliti dari berbagai institusi datang mengunjungi. Beberapa di antaranya berasal dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran dan Balai Penelitian Tanaman Jagung serta Serelia. Selain melakukan studi perbandingan, mereka juga mengajak Sartono untuk bekerja sama dalam "menciptakan" benih unggul lokal.

Ladang cabai benih unggul yang subur
Ladang cabai benih unggul yang subur memberikan hasil melimpah.

Mendayagunakan Penelitian

Sebagai seorang petani kelahiran Blitar, Sartono memulai perjalanan bertani pada usia 29 tahun setelah bekerja sebagai kuli bangunan dan kernet bus antarkota selama beberapa tahun. Setelah menjelajahi berbagai profesi, dia akhirnya menemukan panggilannya pada tahun 1983 di tanah kelahirannya. Dengan menggunakan sisa tabungannya, dia menyewa sepetak tanah seluas 1.500 m2. Di sana, dia menanam padi dan jagung bergiliran.

"Ambang hasilnya tidak terlalu besar," ungkapnya. Setelah dua kali musim tanam, dia mencoba menanam kacang panjang sebagai ajang ujicoba berikutnya, terinspirasi oleh para pekebun sekitar. Hasilnya membuktikan bahwa pendapatan Sartono meningkat. Namun, setelah dua kali musim tanam, kualitas Vigna unguiculata semakin menurun. Panen tidak merata, baik dalam bentuk maupun ukuran. Ketidakberaturan tersebut semakin parah pada penanaman selanjutnya.

Sadar akan prospek yang baik dari kacang panjang, Sartono mulai mencoba memproduksi benihnya sendiri. Dia melakukan pemurnian sederhana dengan memilih kacang panjang yang berkualitas. Namun, dia mengalami kegagalan berulang. Hasil panennya tetap tidak bervariasi. Kegelisahan itu membawanya untuk mencari praktisi, peneliti, dan pekebun yang dapat mengajarkan teknik pemurnian benih.

Tidak sia-sia, Sartono "mengikuti sekolah" selama tiga tahun tersebut. Ilmu yang didapatnya tentang pemurnian benih kemudian diterapkan kembali pada kacang panjang. "Setelah tiga kali musim tanam, panennya menjadi seragam," ungkap pria yang rendah hati itu. Kebunnya yang terletak di pinggir jalan ternyata menjadi berkah tersendiri. Pekebun sering berhenti sejenak untuk melihat kebun kacang panjang milik Sartono. Beberapa dari mereka mulai berani menanam benih yang dihasilkannya. Seperti iklan gratis, kesuksesan Sartono menyebar dari mulut ke mulut. Permintaan untuk benihnya segera membanjiri Sartono dan kedua anaknya, Andriawan Prasetyo dan Ryan Tyas Pertiwi.

Sejak tahun 1988, Sartono beralih profesi menjadi pemasok benih. Pasarannya semakin luas ketika dia mulai menawarkan benih kepada toko-toko pertanian. "Tanpa label, benih saya seringkali ditolak jika dibawa dalam karung biasa," kenangnya. Namun, banyak pekebun yang mulai tertarik dan menanyakan tentang benih buatan Sartono. Seiring berjalannya waktu, toko-toko pertanian justru meminta suplai benih dari Sartono.

Dari Pasar ke Pasar

Seiring dengan peningkatan permintaan untuk berbagai komoditas yang ditangkarkannya, seperti sawi, mentimun, tomat, cabai, dan terung, Sartono semakin sulit mendapatkan induk benih unggul. Dia harus berburu dari pasar ke pasar di seluruh Jawa, Bali, hingga Sumbawa. "Ketika saya mendapatkan komoditas dengan bentuk dan ukuran yang baik, saya melakukan penelusuran asal-usulnya," ujar Sartono. Dia bertindak seperti seorang detektif, mencari informasi tentang komoditas tersebut dari pedagang hingga menemukan pekebun yang menanamnya.

Seluruh koleksi benih yang ditemukan oleh Sartono dikumpulkan di dalam rumah kaca. Dia menggunakan 20 rumah kaca dengan ukuran 20 m x 12 m sebagai gudang plasma nutfah. Setiap komoditas memiliki 40 hingga 50 jenis benih.

Semua benih tersebut digunakan sebagai induk untuk disilangkan. Untuk mendapatkan benih unggul, Sartono harus melakukan minimal 10 kali persilangan. Hasilnya kemudian diuji selama 10 musim tanam untuk memastikan kelayakan benih tersebut sebelum dilepas ke pasaran.

Kolaborasi dengan peneliti dan praktisi membantu Sartono mengasah nalurinya dalam menciptakan benih unggul. "Saat ini, saya sudah bisa melakukan persilangan di luar rumah kaca, tidak perlu lagi menggunakan screenhouse," jelasnya. Meskipun cara produksinya masih sederhana dibandingkan dengan produsen benih luar negeri, Sartono menerapkan teknik hibridisasi seperti pemandulan jantan dan teknologi radiasi.

Hasilnya terlihat pada tomat dan terung hibrida yang laris di pasaran. Misalnya, terung violet. Terung ini memiliki daging berwarna hijau dengan buah yang besar. Produksi tanaman ini mencapai 20 buah dengan rata-rata produksi 5 hingga 7 kg per tanaman.

Yang istimewa, daging buah terung violet tidak kempis saat dimasak seperti jenis terung lainnya. Namun, untuk merilis benih hibrida unggul, dibutuhkan waktu bertahun-tahun. "Selama kecambah mencapai 85% dan memiliki bentuk fisik yang baik serta adaptif, baru benih hibrida tersebut bisa dirilis," papar Sartono.

Kerjasama

Di balik kesuksesannya, Sartono juga mengalami kegagalan yang menyakitkan. Pada tahun 1997, sekitar 2 ton benih kacang panjang harus dimusnahkan. Jika dihargai sekitar Rp 5.000 per sachet berukuran 1 ons, maka kerugian mencapai Rp 100 juta. Saat itu, dia memilih untuk memusnahkan benih daripada memasarkannya. Tujuannya adalah untuk menjaga kualitas dan reputasi sebagai produsen benih.

Menurut Sartono, hal tersebut disebabkan oleh musim kemarau yang menyebabkan banyak pekebun menghentikan penanaman. Lima tahun kemudian, lahan seluas 4 hektar yang digunakan untuk menanam jagung hibrida hasil uji coba bertahun-tahun juga gagal menghasilkan bonggol akibat curah hujan yang terus menerus. Rilis benih hibrida tersebut akhirnya dibatalkan.

Untuk memperkuat bisnisnya, Sartono menjalin kerjasama dengan beberapa peneliti dari berbagai institusi untuk mendapatkan benih berkualitas dengan sistem bagi hasil. Namun, tidak semua peneliti dapat diajak kerjasama. "Ada kriteria tertentu, mengingat semua biaya penelitian ditanggung oleh saya," kata Sartono.

Meskipun sibuk mengurus benih, Sartono tetap menjaga keharmonisan keluarga. Andriawan Prasetyo dan Ryan Tyas Pertiwi, anak-anaknya yang juga berkecimpung di dunia benih, sangat menghormati ayahnya sebagai penemu dan pendiri perusahaan benih lokal.

"Kami berkomitmen untuk melanjutkan apa yang sudah ayah lakukan dan terus memperbaiki kualitas benih yang kami produksi," kata Andriawan. Bagi Sartono, keturunan yang melanjutkan bisnisnya adalah impian terbesarnya. Dia ingin benih lokal terus berkembang dan menghasilkan varietas unggul yang mampu bersaing dengan produk impor.

Kesimpulan

Sartono, seorang produsen benih lokal di Blitar, Jawa Timur, telah berhasil membangun keberhasilannya melawan dominasi produsen benih mancanegara. Dengan semangat nasionalis yang kuat, dia telah meluncurkan berbagai jenis benih sayuran, termasuk benih hibrida, yang laris di pasaran.

Melalui kolaborasi dengan peneliti dan praktisi, Sartono terus mengembangkan teknik pemurnian benih dan menciptakan benih unggul lokal. Meskipun mengalami beberapa kegagalan, dia tetap teguh dalam menjaga kualitas dan reputasinya sebagai produsen benih. Sartono juga menjalin kerjasama dengan peneliti untuk memperkuat bisnisnya. Dengan komitmen dari anak-anaknya, dia berharap benih lokal terus berkembang dan bersaing dengan produk impor di pasar.

Document last updated at: Selasa, 23 Mar 2021