Napas Dodo di Ladang Tomat

Selama 23 tahun napas kehidupan Dodo Sukardi di ladang tomat. Pada Februari silam pria 46 tahun itu menuai dari lahan 2 ha.

Sebanyak 40 ton dijual dengan harga Rp4.000 per kilo, selebihnya 20 ton terjual ketika harga Rp3.000 sampai Rp3.500. Setelah dikurangi biaya produksi, laba bersih yang ditangguk Rpl40-juta. Pantas selama ini harapan Dodo tertumpu pada sayuran buah asal Amerika tengah itu.

Dari total lahan 10 ha di bilangan Goalpara, Kabupaten Sukabumi, Dodo Sutardi menggantungkan harapan untuk meraup laba. Sekali penanaman, Otoy demikian sapaan Dodo Sutardi hanya 2 ha, sehingga panen berkesinambungan. Sayang harapan itu tak selamanya gampang diraih. Itu akibat harga tomat tak pernah tenang di pasar. Kurun 1999 sampai 2000, misalnya, harga sayuran buah seolah tak beranjak dari angka Rp200 per kg.

Padahal biaya produksi per tanaman mencapai Rp2.000. Artinya, biaya untuk menghasilkan sekilo tomat sekitar Rpl .000, jika produksi rata-rata 2 kg per tanaman. Ketika itu Otoy rugi mencapai Rp200-juta. Efek domino Kredit Usaha Tani (KUT) mendorong peminat agribisnis beramai-ramai mengebunkan tomat. Dampak berikutnya pasar banjir, sehingga harga melorot tajam.

Itu tidak seberapa. Januari 2000, malahan harga jatuh mencapai titik nadir,cuma Rp 100 per kg. Volume 40 sampai 50 ton hasil panen dari 2 ha, Otoy hanya memperoleh Rp4-juta sampai Rp5-juta. Padahal biaya produksi per ha Rp40-juta.

Serangan penyakit juga tak sepi di lahan. Pada 2002 di lahan 2 ha tanaman berumur 40 hari tiba-tiba mengering, lalu daun rontok. Akibatnya, hanya 9 ton yang dapat dituai. Meski demikian, ia tak jera mengembangkan tomat.

Semula 1.000 m2


[caption id="attachment_4623" align="aligncenter" width="821"] Harga sulit diprediksi[/caption]

Bagi Otoy tomat memang bukan barang baru lantaran ia rutin mengebunkan sejak sebelum 1980. Pada 1979 ayah 3 anak itu hanya menanam tomat seluas 1.000 m2 di Cikole, Lembang. Karena ingin memperluas lahan anak ke-2 dari 6 bersaudara itu meninggalkan desa kelahirannya. Kesuburan tanah di Cikole dinilai menurun dan harganya relatif mahal. Di Sukabumi Otoy kembali menanam tomat seluas 1 ha. Panen perdana ia menangguk 50 ton yang dijual Rp 100 per kg.

Ketika itu ia mampu meraih produktivitas maksimal lantaran, “Tanah masih bagus, (intensitas) serangan penyakit juga rendah,” katanya. Sementara biaya produksi hanya Rp20 per tanaman. Laba bersih Rp4,6-juta diraup. Dari 2 kali penanaman saja ia mampu membeli 1 ha lahan seharga Rp5-juta.

Harga jual kemudian melonjak Rp300 per kg pada 1985; biaya produksi, Rp40 per tanaman. Laju peningkatan harga seolah tak tertahan pada 1990. Harga melambung menjadi Rpl.000 per kg dengan biaya produksi hanya Rp 100 per tanaman. Akumulasi keuntungan itulah yang dimanfaatkannya untuk memperluas lahan hingga 10 ha.

Budidaya Andalan


Februari lalu, ia menjual 40 ton dengan harga Rp4.000 per kg. Selebihnya, 20 ton dijual Rp3.000 per kg. Itu merupakan hasil penanaman Oktober sampai November 2002. Otoy rata-rata memanen minimal 2 kg per tanaman. Dengan populasi 16.000 tanaman per ha, total produksi 32 ton. Setelah dikurangi kerusakan dan kehilangan hasil, ayah 3 anak itu mampu memanen 31 ton per ha selama 4 bulan.

Otoy menjual Lycopersicon esculentum ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Lantaran penjualan dititipkan melalui pengepul lain, ia dikutip Rp 100 per kg. Yang lain, dijual ke PT Prima Tani, pemasok beragam sayuran ke pasar swalayan. Dari kedua pasar itu, Otoy memperoleh harga jual Rp4.000 per kg. Itulah harga tertinggi sepanjang ia berkebun tomat selama hampir seperempat abad.

Harga itu dicapai lantaran luas penanaman pada September 2002 menyempit akibat kesulitan air. Dampaknya, pasokan di pasar menurun sehingga harga melambung. Standar mutu yang dikehendaki Prima Tani kualitas super dengan ciri buah mulus tanpa cacat. Per kilo terdiri atas 7 sampai 8 buah. Dari satu tanaman dapat dituai 40% atau hampir 9 ons yang memenuhi kualitas super. Di luar standar mutu itu, Prima Tani tetap menerima dengan harga Rp2.000 per kg.

Pembelian Rp2.000 per kg tidak berubah, meskipun di pasaran harga tomat hanya Rp 1.000 per kg. Harap maklum, harga kerabat kentang itu di pasar becek sangat fluktuatif. Mereka berharap, ketika harga tomat di pasar menukik, tertolong oleh pembelian Prima Tani. Sedangkan harga penjualan di Pasar Induk Kramatjati Rp4.000 per kilo berlaku untuk seluruh kualitas, tanpa sortir. Namun, harga di pasar induk yang dibuka pada 1974 itu bergejolak.

Berkat tomat


Otoy menanam tomat dengan interval satu bulan. Setelah bedengan diolah dan ditutup mulsa plastik, tidak langsung ditanami tomat. Biasanya ia membudidayakan sawi terlebih dulu. Kalau langsung ditanami tomat terutama pada musim hujan, batang pecah, buah membusuk. Itu beberapa kali terjadi,” kata Otoy.

Sawi dipilih lantaran masa produksi hanya 45 hari. Biaya produksi per ha terdiri atas 50.000 tanaman Rp40-juta. Biaya itu terus terpakai untuk penanaman tomat. Biaya pengolahan tanah, pupuk, dan mulsa plastik untuk tomat tak harus dikeluarkan lagi. Saat harga jual sawi melambung seperti akhir tahun silam Rp1.000 per kg sampai biaya produksi langsung tertutupi.

Dengan produksi 50 ton per ha, Otoy meraup Rp50-juta dari anggota famili Cruciferae. Penanaman tomat tinggal menghitung laba. Sayang, tak selamanya harga Brassica juncea itu bersahabat. Belum lama ini misalnya, harga sayuran daun itu melorot hingga Rp200 per kg sehingga ia hanya memperoleh Rp 10-juta.

Usai panen sawi, lahan dibersihkan, tanpa membongkar mulsa. Bibit tomat yang disudah disiapkan lantas ditanam di bekas lubang tanam sawi.

Tak pelak lagi, tomat menjadi sumber pundi-pundi Otoy. Dari penanaman anggota famili Solanaceae itu, pria kelahiran Bandung 9 April 1957 itu membiayai anaknya hingga perguruan tinggi dan membangun hunian. Sebuah mobil L300 juga mengisi garasi rumah. Oleh karena itu tanaman yang oleh orang Aztek disebut xitomate bakal terus dibudidayakan. Sebab, napas Otoy ada di ladang tomat.
Lebih baru Lebih lama