Percakapan di lobi sebuah hotel di Medan, Sumatera Utara, pada April begitu berkesan. Dari pria berdarah Tionghoa, Kami memperoleh informasi penting. “Ada salak enak dari Deli Tua!" Konon, rasa buah bersisik itu tak kalah dengan salak bangkalan asal Madura yang manis. Rasa tak percaya memenuhi kepala mendengar informasi itu. Selama ini ada anggapan salak asal Sumatera kalah pamor dibanding salak dari Jawa dan Bali. Rasanya asam dan sepat seperti salak thailand.
Sayang, pada kunjungan April itu, Kami tak berhasil melacak J keberadaan salak deli tua. “Setahu saya tak ada salak enak di Medan dan Deli,” kata Ir Fuad, kepala Sub Dinas Hortikultura Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya, salak medan sepat dan masam tak seperti pondoh. Makanya tak ada yang berminat mengebunkan secara komersial.
Penelusuran pun batal karena menemui jalan buntu. Empat bulan berselang Kami kembali menjejakkan kaki di Tanah Datar sebutan kota Medan-untuk memburu informasi serupa. Bayangan kegagalan pun menyelimuti perjalanan itu. “Meski besar di Medan, saya tak pernah mendengar ada salak medan yang manis,” kata Syahril Usman dan Gustian Danil serempak. Syahril dan Gustian,2 mania 'buah yang kerap berburu buah-buahan hingga ke pelosok Sumatera Utara.
Beruntung pada hari terakhir, A Siong, mania buah-buahan berdarah Tionghoa datang. Semula pemilik pabrik logam itu hendak mengajak Kami berburu durian di Deli Tua. Begitu ditanya salak medan, ia langsung berteriak, “Saya tahu tempatnya, itu langganan orang tua saya dahulu.” Mendengar kabar baik itu, perburuan salak deli tua langsung dimulai hari itu.
Perjalanan menuju lokasi kebun yang berada di pinggiran kota Medan terasa singkat. Jaraknya hanya 12 km dari pusat kota ke arah barat daya. Tepatnya di Desa Deli Tua, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang. Kebun seluas 1 ha itu terletak di daerah aliran Sungai Deli. Jarak kebun dengan sungai hanya 500 m. Pantas suhu Medan yang terkenal panas nyaris tak terasa di sana. Udara di kebun terasa sejuk.
Itu mengingatkan Kami pada sentra salak bangkalan di Madura. Nun di Pulau Garam yang terkenal panas salak bangkalan tumbuh subur di pesisir pantai yang sejuk. Menurut Greg Hambali, pakar salak di Bogor, di daerah panas kerap ditemukan wilayah mikro yang sejuk karena kedalaman air tanah dangkal. Wilayah itu cenderung basah sehingga cocok untuk tanaman salak.
Jawa Timur, menuturkan, kedalaman air tanah yang dangkal disukai salak. Penyebabnya, salak memiliki perakaran yang tidak terlalu dalam. Akar salak tidak sanggup menyerap air yang berada jauh di bawah permukaan tanah. Salak Juga tergolong tanaman yang tak mampu tumbuh di daerah kering.
Sayang, saat berkunjung ke kebun, Ang Beng Kang, pemilik berusia 74 tahun, sedang terbaring sakit. Kami hanya ditemani Ana Cariana, putri Ang Beng Kan. Menurut Ana, kebun salak itu dibuka ayahnya lebih dari 40 tahun silam. Semula Slamet panggilan akrab Ang Beng Kan hanya menanam 2 pohon salak asal Sibolga, Sumatera Utara. Dari 2 pohon induk itulah Slamet memperbanyak dengan biji. Pohon asal biji yang menghasilkan buah manis dijadikan induk untuk perbanyakan secara cangkok.
Selain dari 2 pohon induk itu, Slamet kerap membawa biji asal daerah lain. Sebut saja Padangsidempuan, Sumatera Utara. Biji salak pondoh pun pernah ditanam. Diduga terjadi persilangan alami di antara salak-salak itu sehingga kualitas buah beragam. “Dulu dari yang sepet sampai manis dan masir ada. Kini tinggal yang manis dan layak dimakan. Yang nggak enak ditebang,” kata Ana. Pengamatan Kami, warna daging buah salak di kebun Slamet juga beragam. Mulai dari putih, kekuningan, hingga putih bersemburat merah.
Tak hanya penampilan, rasanya pun beragam. “Seperti makan durian lokal. Rasanya beragam. Mulai manis kering dan masir sampai manis basah,” kata A Siong. Ke sanalah A Siong kecil diajak sang ayah untuk mencicipi salak. Pantas Slamet akhirnya dikenal sebagai pekebun salak enak di kalangan Tionghoa.
[caption id="attachment_7908" align="aligncenter" width="1429"]
Kebun berumur 40 tahun[/caption]
Menurut Tri, meski salak itu disebut-sebut berasal dari Sibolga, kemungkinan besar anggota keluarga palem-paleman itu keturunan salak padangsidempuan. “Itu satu-satunya varietas salak sumatera yang terkenal,” ujar doktor agronomi lulusan Universitas Gadjah Mada itu. Salak padangsidempuan kondang karena warnanya yang unik, bersemburat merah sampai merah total. Namun, si merah itu tak disukai karena rasanya sepat dan masam.
Meski demikian, menurut Greg, dari sekian banyak salak padangsidempuan,sebetulnya ada yang manis. “Terkenal sepet dan asam karena belum ada seleksi. Saya pernah mencicipi yang enak,” kata kolektor beragam jenis salak itu. Greg sendiri menggunakan salak padangsidempuan sebagai indukan untuk menghasilkan salak mawar, pemenang Lomba Buah Unggul Nasional . Ia pun sepakat dengan Tri, salak deli tua itu besar kemungkinan keturunan padangsidempuan;
Namun, setelah ditanam di Deli Tua, warna merah tak begitu kentara. Yang terlihat hanya semburat merah pada daging buah. Menurut Tri, perubahan itu bisa disebabkan adaptasi salak padangsidempuan yang tumbuh di atas ketinggian lebih dari 500 m dpl, ke Deli Tua yang tergolong dataran rendah. “Warna bisa mengalami gradasi. Itu karena perubahan iklim. Selama rasanya enak, itu tak masalah,” ujarnya.
Penasaran dengan salak deli tua? Sesekali mampirlah ke sana bila Anda bertandang ke Medan. Setelah mencicipi, anggapan salak medan sepat dan asam bakal berbalik 180°.
Sayang, pada kunjungan April itu, Kami tak berhasil melacak J keberadaan salak deli tua. “Setahu saya tak ada salak enak di Medan dan Deli,” kata Ir Fuad, kepala Sub Dinas Hortikultura Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya, salak medan sepat dan masam tak seperti pondoh. Makanya tak ada yang berminat mengebunkan secara komersial.
Penelusuran pun batal karena menemui jalan buntu. Empat bulan berselang Kami kembali menjejakkan kaki di Tanah Datar sebutan kota Medan-untuk memburu informasi serupa. Bayangan kegagalan pun menyelimuti perjalanan itu. “Meski besar di Medan, saya tak pernah mendengar ada salak medan yang manis,” kata Syahril Usman dan Gustian Danil serempak. Syahril dan Gustian,2 mania 'buah yang kerap berburu buah-buahan hingga ke pelosok Sumatera Utara.
Beruntung pada hari terakhir, A Siong, mania buah-buahan berdarah Tionghoa datang. Semula pemilik pabrik logam itu hendak mengajak Kami berburu durian di Deli Tua. Begitu ditanya salak medan, ia langsung berteriak, “Saya tahu tempatnya, itu langganan orang tua saya dahulu.” Mendengar kabar baik itu, perburuan salak deli tua langsung dimulai hari itu.
Lokasi sejuk

Itu mengingatkan Kami pada sentra salak bangkalan di Madura. Nun di Pulau Garam yang terkenal panas salak bangkalan tumbuh subur di pesisir pantai yang sejuk. Menurut Greg Hambali, pakar salak di Bogor, di daerah panas kerap ditemukan wilayah mikro yang sejuk karena kedalaman air tanah dangkal. Wilayah itu cenderung basah sehingga cocok untuk tanaman salak.
Jawa Timur, menuturkan, kedalaman air tanah yang dangkal disukai salak. Penyebabnya, salak memiliki perakaran yang tidak terlalu dalam. Akar salak tidak sanggup menyerap air yang berada jauh di bawah permukaan tanah. Salak Juga tergolong tanaman yang tak mampu tumbuh di daerah kering.
40 tahun
Sayang, saat berkunjung ke kebun, Ang Beng Kang, pemilik berusia 74 tahun, sedang terbaring sakit. Kami hanya ditemani Ana Cariana, putri Ang Beng Kan. Menurut Ana, kebun salak itu dibuka ayahnya lebih dari 40 tahun silam. Semula Slamet panggilan akrab Ang Beng Kan hanya menanam 2 pohon salak asal Sibolga, Sumatera Utara. Dari 2 pohon induk itulah Slamet memperbanyak dengan biji. Pohon asal biji yang menghasilkan buah manis dijadikan induk untuk perbanyakan secara cangkok.
Selain dari 2 pohon induk itu, Slamet kerap membawa biji asal daerah lain. Sebut saja Padangsidempuan, Sumatera Utara. Biji salak pondoh pun pernah ditanam. Diduga terjadi persilangan alami di antara salak-salak itu sehingga kualitas buah beragam. “Dulu dari yang sepet sampai manis dan masir ada. Kini tinggal yang manis dan layak dimakan. Yang nggak enak ditebang,” kata Ana. Pengamatan Kami, warna daging buah salak di kebun Slamet juga beragam. Mulai dari putih, kekuningan, hingga putih bersemburat merah.
Tak hanya penampilan, rasanya pun beragam. “Seperti makan durian lokal. Rasanya beragam. Mulai manis kering dan masir sampai manis basah,” kata A Siong. Ke sanalah A Siong kecil diajak sang ayah untuk mencicipi salak. Pantas Slamet akhirnya dikenal sebagai pekebun salak enak di kalangan Tionghoa.
Turunan Salak sidempuan
[caption id="attachment_7908" align="aligncenter" width="1429"]

Menurut Tri, meski salak itu disebut-sebut berasal dari Sibolga, kemungkinan besar anggota keluarga palem-paleman itu keturunan salak padangsidempuan. “Itu satu-satunya varietas salak sumatera yang terkenal,” ujar doktor agronomi lulusan Universitas Gadjah Mada itu. Salak padangsidempuan kondang karena warnanya yang unik, bersemburat merah sampai merah total. Namun, si merah itu tak disukai karena rasanya sepat dan masam.
Meski demikian, menurut Greg, dari sekian banyak salak padangsidempuan,sebetulnya ada yang manis. “Terkenal sepet dan asam karena belum ada seleksi. Saya pernah mencicipi yang enak,” kata kolektor beragam jenis salak itu. Greg sendiri menggunakan salak padangsidempuan sebagai indukan untuk menghasilkan salak mawar, pemenang Lomba Buah Unggul Nasional . Ia pun sepakat dengan Tri, salak deli tua itu besar kemungkinan keturunan padangsidempuan;
Namun, setelah ditanam di Deli Tua, warna merah tak begitu kentara. Yang terlihat hanya semburat merah pada daging buah. Menurut Tri, perubahan itu bisa disebabkan adaptasi salak padangsidempuan yang tumbuh di atas ketinggian lebih dari 500 m dpl, ke Deli Tua yang tergolong dataran rendah. “Warna bisa mengalami gradasi. Itu karena perubahan iklim. Selama rasanya enak, itu tak masalah,” ujarnya.
Penasaran dengan salak deli tua? Sesekali mampirlah ke sana bila Anda bertandang ke Medan. Setelah mencicipi, anggapan salak medan sepat dan asam bakal berbalik 180°.