"Wow, besar dan lucu bentuknya,” ucap seorang pengunjung begitu melihat penampilan 3 alpukat di anjungan Kabupaten Kudus saat pameran Soropadan Agro Expo di Temanggung. Decak kagum pengunjung beralasan. Bobot Persea americana itu mencapai 1,2 kg, lazimnya 300 sampai 500 g per buah. Bentuknya pun unik, bulat lonjong meruncing pada bagian pangkal menyerupai labu.
Alpukat andalan masyarakat Kudus itu semakin istimewa karena tekstur daging lembut. Warna daging kuning menarik, seperti mentega, tebal hingga 4 cm. Bijinya kecil dan koplak ketika matang. kami mencicipi satu buah. Rasanya lezat, gurih, dan sedikit manis begitu di lidah.
Lantaran berukuran jumbo, buah tidak habis dimakan sekaligus. “Kalau dibuat jus bisa 3 gelas besar. Alpukat bulat biasa hanya 1 gelas,” kata Sriyono, pengepul di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Untuk mendapatkan buah matang sebaiknya dipetik saat berumur 4 sampai 5 bulan dari pentil seukuran jempol tangan. Buah matang ditandai kulit berwarna hijau kusam dan kasar bila diraba pada bagian pangkal. Paling enak ia disajikan 2 hari setelah dipetik.
[caption id="attachment_5885" align="aligncenter" width="1511"]
Bernilai ekonomis tinggi[/caption]
Alpukat muria hanya dijumpai di Desa Colo dan Japan. Keduanya berada di Kecamatan Dawe, 15 km ke arah utara kota Kudus. Lokasinya di kaki Gunung Muria, bersebelahan dengan makam Sunan Muria. Makanya, masyarakat di sana memberi nama alpukat muria. Namun, ada pula yang menyebutnya alpukat colo atau alpukat mentega. Itu juga benar.
“Kalau melihat sosok dan kelebihannya, ia lebih pas diberi nama alpukat muria. Ia menjadi buah unggulan Kudus,” ujar Budi Santoso, Kepala Seksi Hortikultura dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kabupaten Kudus. Nama muria dipilih untuk membedakan dengan alpukat lain yang juga dijumpai di sekitar Colo dan Japan. Di sana juga ada alpukat berbentuk bulat. Rasa buah dan warna daging sama. Sayang, ukurannya kecil, sekitar 300 g/buah.
Hingga kini asal-usul alpukat muria tidak diketahui secara pasti. “Ketika saya kecil, pohon itu sudah ada,” ujar Sriyono yang tinggal di Japan selama 50 tahun itu. Meski begitu masyarakat di sana percaya kalau bibit alpukat dibawa Sunan Muria ketika hijrah ke Kudus.
Itu bisa dilihat dari pohon tertua yang ditemukan di daerah Colo, berdekatan dengan makam Sunan Muria. Meskipun tinggi pohon 15 m, kerutan kulit di batang menandakan ia sudah berumur ratusan tahun. Dari pohon itulah alpukat berkembang di Colo, lalu menyebar ke Japan.
Dulu, alpukat muria hanya dimiliki oleh orang tertentu. Mereka menanam di pekarangan sebagai peneduh. Buahnya pun hanya dinikmati anggota keluarga, sisanya dibagi-bagikan ke tetangga. Namun, sejak 1990 alpukat super jumbo itu mulai dikenal konsumen. Sriyono salah satu pedagang pertama yang membawa alpukat itu ke pasar di Kudus.
Ketika kami berkunjung ke sana pada akhir Juni 2003 masih mendapatkan buah, tapi sedikit. Musim panen raya jatuh pada Maret sampai April. Pemilik tak repot menjual lantaran pengepul datang sendiri siap memanen. Mereka memakai sistem tebas.
Tak hanya pedagang dari Kudus, tengkulak dari Jakarta kerap datang untuk mencari alpukat. Ketika musim panen tiba, bandar buah dari luar kota berebut - mencari alpukat. Harga per kilo sekitar Rp2.500 sampai Rp3.000. F Namun, begitu tidak musim, produksi buah hanya sedikit harga meningkat hingga Rp5.000/kg.
Lantaran istimewa, ada pedagang buah di Kudus yang khusus menjual alpukat muria. Di sana buah bulat lonjong itu dijajakan Rp8.000 sampai Rp9.000/kg. Bahkan, ada pembeli datang sendiri kelokasi untuk mencicipi buahnya. “Mereka selalu membawa buah itu untuk oleh-oleh,” kata Sriyono.
[caption id="attachment_5883" align="aligncenter" width="1511"]
Ukurannya jumbo, 1,2 kg/buah[/caption]
Bagi masyarakat Colo dan Japan memiliki pohon alpukat menguntungkan. Suwastri, misalnya mempunyai 1 pohon berumur 8 tahun. Setiap panen ia bisa mengantungi Rp200.000 dari penjualan alpukat. “Sekali panen bisa mencapai 200 kg,” ujarnya.
Suwarno juga merasakan manisnya alpukat dari 2 pohon berumur 10 tahun. Sekali tebas ia menerima Rp650.000/pohon.Lantaran menguntungkan, ia menanam 4 pohon lagi di kebunnya. Hal sama juga dilakukan Rusdi. “Tak sekadar tanaman pekarangan, buahnya juga memiliki nilai ekonomis tinggi,” ujar perajin keripik gadung itu. Ia memiliki 1 pohon berumur 8 tahun; 4 tanaman lagi, 4 tahun.
Mereka tertarik menanam alpukat itu lantaran harga jual tinggi. Bandingkan dengan yang bulat, sekitar Rp3.500 sampai Rp4.000. Sayang, sebagian besar bibitnya dari tukulan (bibit asal biji, red). Wajar, bila tanaman berbuah pada umur 7 sampai 8 tahun. Dalam waktu dekat Dinas Pertanian setempat berupaya untuk memperbanyak bibit dengan cara sambung. Maksudnya agar tanaman berbuah lebih cepat, 5 sampai 6 tahun.
Tak mau kalah dengan Kudus, nun di pelosok Solok, Sumatera Barat, sebatang pohon alpukat pun berbuah jumbo. Buah bulat seukuran kepala anak kecil berbobot maksimal 1,5 kg. Daging buah kuning, tebal, dan nyaris tak berserat. Rasanya, ehm.. .lembut, manis, dan agak pulen.
Gara-gara kepincut mega gagauan pula, beberapa pengusaha yang hadir di pameran hortikultura di Segunung, Cipanas, pada Agustus 2001 minta dipasok rutin per minggu. Itu termasuk permintaan untuk 2 alpukat lain yang lebih kecil tapi tak kalah enak: mega murapi dan mega paninggahan. Keduanya pernah muncul di kami edisi Februari 2002. Waktu itu mega murapi masih berupa nomor 001; paninggahan, 007.
Sayang permintaan itu urung dipenuhi. Populasi 3 alpukat andalan Solok itu masih terbatas. Sebatang mega gagauan hanya ditemui di halaman samping kediaman Hj Irdawati Ma’as di Desa Parumahan Bawah, Nagari Paninggahan, Kecamatan Junjung Sirih. Pohon berumur 15 tahun itu nyaris tak henti berbuah. Saat kami berkunjung, terlihat buah masak, buah muda, pentil, dan bunga di satu pohon.
Buah muda berkulit hijau; masak merah marun. Bentuknya membola dengan biji koplak di tengah. Produktivitas mencapai 220 sampai 230 buah per tahun. Setara dengan produksi alpukat biasa berumur sama, 200 buah/pohon/tahun.
Toh, bobot rata-rata 600 sampai 800 g per buah membuat mega gagauan istimewa. Alpukat biasa 300 sampai 500 g. Malah Irdawati pernah memetik yang berbobot 1,5 kg. “Sebuah saja cukup untuk konsumsi satu keluarga kecil,” tutur Drs M Jawal Anwarudin Syah, MS, peneliti Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Solok. kami membawa sebuah berbobot 800 g. Alpukat itu pas dibuat jus untuk 5 orang.
Keistimewaan lain, daging buah setebal 2 cm berwarna kuning menarik. Waktu dikerik untuk jus hampir tak ada daging tersisa di kulit yang tipis. Rasanya manis, lembut, agak pulen, dan tidak berserat.
Tak heran panen dari pohon setinggi 20 m itu kerap jadi rebutan konsumen. Padahal harga jual relatif tinggi. Per kg Rp2.500 sampai Rp3.500 untuk pemborong; Rp4.000 kalau hanya beli satu-satu. Alpukat biasa cuma Rp1.500 sampai Rp2.000 per kg. Konsumen sulit menemukan di pasar lokal. Pemborong biasanya langsung memasarkan buah ke Pekanbaru, Batam, dan Tanjungpinang. la pun jadi oleh-oleh favorit kerabat Irdawati yang bertandang.
Lantaran kelebihan itu mega gagauan lolos menjadi buah unggul nasional. Pohon di desa di tepian Danau Singkarak itu jadi sumber entres. Hasil perbanyakan itulah yang kini jadi koleksi kebun pribadi Presiden Megawati bersama mega murapi dan mega paninggahan. Nama presiden juga yang dilekatkan pada alpukat jumbo itu bersanding dengan nama lembah di Nagari Paninggahan.
Alpukat andalan masyarakat Kudus itu semakin istimewa karena tekstur daging lembut. Warna daging kuning menarik, seperti mentega, tebal hingga 4 cm. Bijinya kecil dan koplak ketika matang. kami mencicipi satu buah. Rasanya lezat, gurih, dan sedikit manis begitu di lidah.
Lantaran berukuran jumbo, buah tidak habis dimakan sekaligus. “Kalau dibuat jus bisa 3 gelas besar. Alpukat bulat biasa hanya 1 gelas,” kata Sriyono, pengepul di Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Untuk mendapatkan buah matang sebaiknya dipetik saat berumur 4 sampai 5 bulan dari pentil seukuran jempol tangan. Buah matang ditandai kulit berwarna hijau kusam dan kasar bila diraba pada bagian pangkal. Paling enak ia disajikan 2 hari setelah dipetik.
Buah Kaki gunung
[caption id="attachment_5885" align="aligncenter" width="1511"]

Alpukat muria hanya dijumpai di Desa Colo dan Japan. Keduanya berada di Kecamatan Dawe, 15 km ke arah utara kota Kudus. Lokasinya di kaki Gunung Muria, bersebelahan dengan makam Sunan Muria. Makanya, masyarakat di sana memberi nama alpukat muria. Namun, ada pula yang menyebutnya alpukat colo atau alpukat mentega. Itu juga benar.
“Kalau melihat sosok dan kelebihannya, ia lebih pas diberi nama alpukat muria. Ia menjadi buah unggulan Kudus,” ujar Budi Santoso, Kepala Seksi Hortikultura dan Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Kabupaten Kudus. Nama muria dipilih untuk membedakan dengan alpukat lain yang juga dijumpai di sekitar Colo dan Japan. Di sana juga ada alpukat berbentuk bulat. Rasa buah dan warna daging sama. Sayang, ukurannya kecil, sekitar 300 g/buah.
Hingga kini asal-usul alpukat muria tidak diketahui secara pasti. “Ketika saya kecil, pohon itu sudah ada,” ujar Sriyono yang tinggal di Japan selama 50 tahun itu. Meski begitu masyarakat di sana percaya kalau bibit alpukat dibawa Sunan Muria ketika hijrah ke Kudus.
Itu bisa dilihat dari pohon tertua yang ditemukan di daerah Colo, berdekatan dengan makam Sunan Muria. Meskipun tinggi pohon 15 m, kerutan kulit di batang menandakan ia sudah berumur ratusan tahun. Dari pohon itulah alpukat berkembang di Colo, lalu menyebar ke Japan.
Mulai dijual
Dulu, alpukat muria hanya dimiliki oleh orang tertentu. Mereka menanam di pekarangan sebagai peneduh. Buahnya pun hanya dinikmati anggota keluarga, sisanya dibagi-bagikan ke tetangga. Namun, sejak 1990 alpukat super jumbo itu mulai dikenal konsumen. Sriyono salah satu pedagang pertama yang membawa alpukat itu ke pasar di Kudus.
Ketika kami berkunjung ke sana pada akhir Juni 2003 masih mendapatkan buah, tapi sedikit. Musim panen raya jatuh pada Maret sampai April. Pemilik tak repot menjual lantaran pengepul datang sendiri siap memanen. Mereka memakai sistem tebas.
Tak hanya pedagang dari Kudus, tengkulak dari Jakarta kerap datang untuk mencari alpukat. Ketika musim panen tiba, bandar buah dari luar kota berebut - mencari alpukat. Harga per kilo sekitar Rp2.500 sampai Rp3.000. F Namun, begitu tidak musim, produksi buah hanya sedikit harga meningkat hingga Rp5.000/kg.
Lantaran istimewa, ada pedagang buah di Kudus yang khusus menjual alpukat muria. Di sana buah bulat lonjong itu dijajakan Rp8.000 sampai Rp9.000/kg. Bahkan, ada pembeli datang sendiri kelokasi untuk mencicipi buahnya. “Mereka selalu membawa buah itu untuk oleh-oleh,” kata Sriyono.
Perbanyakan Dari biji
[caption id="attachment_5883" align="aligncenter" width="1511"]

Bagi masyarakat Colo dan Japan memiliki pohon alpukat menguntungkan. Suwastri, misalnya mempunyai 1 pohon berumur 8 tahun. Setiap panen ia bisa mengantungi Rp200.000 dari penjualan alpukat. “Sekali panen bisa mencapai 200 kg,” ujarnya.
Suwarno juga merasakan manisnya alpukat dari 2 pohon berumur 10 tahun. Sekali tebas ia menerima Rp650.000/pohon.Lantaran menguntungkan, ia menanam 4 pohon lagi di kebunnya. Hal sama juga dilakukan Rusdi. “Tak sekadar tanaman pekarangan, buahnya juga memiliki nilai ekonomis tinggi,” ujar perajin keripik gadung itu. Ia memiliki 1 pohon berumur 8 tahun; 4 tanaman lagi, 4 tahun.
Mereka tertarik menanam alpukat itu lantaran harga jual tinggi. Bandingkan dengan yang bulat, sekitar Rp3.500 sampai Rp4.000. Sayang, sebagian besar bibitnya dari tukulan (bibit asal biji, red). Wajar, bila tanaman berbuah pada umur 7 sampai 8 tahun. Dalam waktu dekat Dinas Pertanian setempat berupaya untuk memperbanyak bibit dengan cara sambung. Maksudnya agar tanaman berbuah lebih cepat, 5 sampai 6 tahun.
Tak mau kalah dengan Kudus, nun di pelosok Solok, Sumatera Barat, sebatang pohon alpukat pun berbuah jumbo. Buah bulat seukuran kepala anak kecil berbobot maksimal 1,5 kg. Daging buah kuning, tebal, dan nyaris tak berserat. Rasanya, ehm.. .lembut, manis, dan agak pulen.
Gara-gara kepincut mega gagauan pula, beberapa pengusaha yang hadir di pameran hortikultura di Segunung, Cipanas, pada Agustus 2001 minta dipasok rutin per minggu. Itu termasuk permintaan untuk 2 alpukat lain yang lebih kecil tapi tak kalah enak: mega murapi dan mega paninggahan. Keduanya pernah muncul di kami edisi Februari 2002. Waktu itu mega murapi masih berupa nomor 001; paninggahan, 007.
Sayang permintaan itu urung dipenuhi. Populasi 3 alpukat andalan Solok itu masih terbatas. Sebatang mega gagauan hanya ditemui di halaman samping kediaman Hj Irdawati Ma’as di Desa Parumahan Bawah, Nagari Paninggahan, Kecamatan Junjung Sirih. Pohon berumur 15 tahun itu nyaris tak henti berbuah. Saat kami berkunjung, terlihat buah masak, buah muda, pentil, dan bunga di satu pohon.
Buah muda berkulit hijau; masak merah marun. Bentuknya membola dengan biji koplak di tengah. Produktivitas mencapai 220 sampai 230 buah per tahun. Setara dengan produksi alpukat biasa berumur sama, 200 buah/pohon/tahun.
1,5 kg per buah
Toh, bobot rata-rata 600 sampai 800 g per buah membuat mega gagauan istimewa. Alpukat biasa 300 sampai 500 g. Malah Irdawati pernah memetik yang berbobot 1,5 kg. “Sebuah saja cukup untuk konsumsi satu keluarga kecil,” tutur Drs M Jawal Anwarudin Syah, MS, peneliti Balai Penelitian Tanaman Buah (Balitbu) Solok. kami membawa sebuah berbobot 800 g. Alpukat itu pas dibuat jus untuk 5 orang.
Keistimewaan lain, daging buah setebal 2 cm berwarna kuning menarik. Waktu dikerik untuk jus hampir tak ada daging tersisa di kulit yang tipis. Rasanya manis, lembut, agak pulen, dan tidak berserat.
Tak heran panen dari pohon setinggi 20 m itu kerap jadi rebutan konsumen. Padahal harga jual relatif tinggi. Per kg Rp2.500 sampai Rp3.500 untuk pemborong; Rp4.000 kalau hanya beli satu-satu. Alpukat biasa cuma Rp1.500 sampai Rp2.000 per kg. Konsumen sulit menemukan di pasar lokal. Pemborong biasanya langsung memasarkan buah ke Pekanbaru, Batam, dan Tanjungpinang. la pun jadi oleh-oleh favorit kerabat Irdawati yang bertandang.
Lantaran kelebihan itu mega gagauan lolos menjadi buah unggul nasional. Pohon di desa di tepian Danau Singkarak itu jadi sumber entres. Hasil perbanyakan itulah yang kini jadi koleksi kebun pribadi Presiden Megawati bersama mega murapi dan mega paninggahan. Nama presiden juga yang dilekatkan pada alpukat jumbo itu bersanding dengan nama lembah di Nagari Paninggahan.