Bengkel Bonsai: Di Tangan Mereka Penampilan Dipertaruhkan

Dua mata melotot di seraut wajah. Rambut panjang tak beraturan dan lidah api yang menjulur menambah kesan seram sosok leak. Dalam kepercayaan Hindu leak alias putana dikenal sebagai penyebar penyakit. Di tangan Sulistyanto sosok leak adalah bonsai santigi yang anggun.

Sudah setahun lebih Sulistyanto menangani leak itu. Sosoknya kini tampak menonjol di antara bonsai lain. Siapa sangka penampilannya berubah sedrastis itu. Bahkan tak layak untuk dijadikan bonsai,” ujar Sulistyanto.

Berkat keahliannya bonsai milik Hariyanto itu berhasil disulap menjadi sebuah karya yang artistik. Tak salah jika Hariyanto, kolektor asal Bali mereparasi bonsai itu kepadanya.

Bagi Sulistyanto menangani bonsai rusak atau mengubah gaya adalah suatu hobi. Ia menggeluti bonsai sejak 15 tahun lalu. Awalnya hanya sekadar mengoleksi. Lambat-laun ia mulai berkreasi dengan membuat karya yang unik. Keseriusan pria berusia 44 tahun itu tak diragukan lagi.

Bengkel Bonsai


Dua minggu sekali, rumah di kawasan Kutisari Utara, Surabaya, itu berubah menjadi bengkel seni bonsai. Bersama rekannya yang tergabung dalam Imagine Bonsai Club, ide-ide baru selalu digali. Lima tahun kebelakang rekan-rekannya mulai tertarik. Satu dua orang menitipkan bonsainya untuk dipermak.

Puluhan bonsai memadati halaman samping rumah Sulistyanto. Empat puluh di antaranya bonsai titipan yang tengah ditangani. Kebanyakan untuk dipermak gayanya. “Ada juga yang sekadar dititipkan untuk menjaga pertumbuhan. Salah satu teman saya menitipkan bonsai karena tempatnya terlalu sempit dan tidak terkena sinar matahari,” tutur alumnus Institut Teknologi Aditama Surabaya itu.

Sulistyanto tidak menerima bonsai sakit yang mengindikasikan kemalasan si pemilik. “Repot kalau harus melayani semuanya. Bagi saya ini adalah hobi bukan bisnis. Lagipula tempat saya sudah terlalu sempit untuk bisa menampung semua. Namun, kalau ada orang yang memang punya ketertarikan yang tinggi terhadap seni, saya akan berusaha memenuhi,” ujar pria penyuka warna hitam itu.

Imajinasi dan kreativitas


Meanperbarui gaya bukanlah hal mudah lantaran mesti menyesuaikan dengan bahan. Menurut Sulistyanto perlu 6 sampai 12 bulan untuk restyling dari bonsai yang sudah jadi. Sedangkan jika dari bakalan paling cepat 3 tahun. Syaratnya teknik dasar pembentukan bonsai seperti pengawatan, pemangkasan, dan penyesuaian komposisi tanaman harus dikuasai.

“Namun bonsai adalah seni. Jadi walaupun teknik sudah dikuasai tetap diperlukan rasa seni dari si pembuat. Seperti seni lainnya, ia harus mengandung ritme, komposisi, dimensi, dan puncaknya keseimbangan. Pernik lainnya adalah kesatuan dan harmoni,” tutur ayah 2 anak ini. Ritme pada bonsai dapat dilihat dari keluwesan akar hingga puncak pohon.

Jika ritme sudah ditemukan maka yang ditunggu adalah keluarnya cabang. Di situlah ditemukan komposisi. Cabang yang tidak perlu ditraining dibuang. Sedangkan lainnya dibiarkan. Setelah cukup besar, kira-kira diameter sebesar rokok dilakukan pengawatan. Maksudnya untuk menentukan arah yang dinamakan dimensi. Kekompakan 3 unsur tadi menghasilkan sebuah keseimbangan.

Bagi Sulistyanto imajinasi muncul dari ide liar dan spontanitas. Di situlah greget sebuah karya muncul. Keinginan untuk membuat bonsai khas Indonesia muncul di benak Sulistyanto 10 tahun lalu. Leak dan tarian bali menjadi inspirasinya. Bahkan ada juga koleksinya yang bertema lukisan. Sulistyanto mengganti tinta dengan bonsai, sehingga munculah kreasi lukisan abstrak dalam bonsai.

Dalam mereparasi gaya bonsai, Sulistyanto tak mematok harga. Biasanya berdasarkan keikhlasan si penitip,” ujar direktur bimbingan belajar Phi Betta Grup itu.

Profesi


[caption id="attachment_5691" align="aligncenter" width="516"] Terinspirasi leak[/caption]

Berbeda dengan Sulistyanto, Yayat Hidayat di Jakarta dan Kadek Yasa di Bali menjadi trainer bonsai adalah sebuah profesi. Walau baru membuka praktek 2 tahun, pelanggan Yayat cukup banyak. Di Bandung ia punya 4 orang pelanggan tetap.

Sebulan sekali ia rutin mengecek. Bisa sampai 1 sampai 2 minggu di sana. Tak jarang pula ia membawa bonsai milik koleganya ke kiosnya di Pluit, Jakarta Utara, lantaran memerlukan perawatan intensif. Padahal di kiosnya setiap bulan ia menangani 6 sampai 15 pohon. Khawatir tak tertangani, ia membatasi penitipan 1 pohon per orang.

Lain lagi dengan Kadek Yasa di Bali. Setiap hari ia menerima 1 sampai 5 pot untuk perbaikan. Juga ada 3 orang pelanggan rutin, yang datang 2 kali seminggu.

Meski tak dipatok, minimal Yayat menerima Rp200.000/pohon/hari untuk menangani sebuah bonsai. Bahkan tak jarang ada juga yang memberinya Rp500.000/pohon/hari. Lain halnya dengan Kadek Yasa ia memasang tarif Rpl00.000/pot untuk ukuran sedang. Ukuran besar dihitung dengan sistem harian. Satu hari dikenakan biaya Rpl60.000/pot.

Selektif


[caption id="attachment_5693" align="aligncenter" width="360"] Syamsul Bahri, lebih selektif[/caption]

Bagi kalangan pebonsai di Jawa Timur nama Syamsul Bahri sudah dikenal. Keahliannya di bonsai sudah tak diragukan lagi. Pengelola bengkel bonsai di Batu, Jawa Timur itu, tak hanya menangani restyling bonsai. Bonsai sakit pun ditanganinya. Wajar jika kemudian ia dijuluki dokter bonsai .

Berbeda dengan dulu kini pria berusia 54 tahun itu lebih selektif menerima pasien. Enam tahun belakangan ia lebih senang menangani pasien langsung di tempatnya. Dulu ia sering keluar kota mendatangi pasien. Kini tidak lagi. Kalaupun ada teman yang perlu dibantu biasanya mereka membawa langsung ke mari,” ujar Syamsul.

Bonsai berinisial S, merupakan salah satu karya yang muncul dari spontanitas. Namun kini tak lagi di tangannya. Seorang kolektor asal Jakarta yang juga kawannya membeli bonsai itu. Kebetulan nama si pembeli berinisial S. Ada juga karyanya yang terinspirasi oleh fase kehidupan, sehingga terciptalah sebuah bonsai yang melukiskan fase itu. Cabang yang menjulur ke bawah menunjukkan adanya kehidupan setelah kematian.

Posting Komentar