Bagi Prabukusumo suara perkutut menjadi hiburan di sela-sela kesibukan mengurus berbagai yayasan sosial di Yogyakarta. "Suaranya begitu memikat dan menenangkan pikiran. Suara kungnya mengurangi rasa capai dan stres," ucap adik ke-9 dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX itu.
Kesenangan Prabukusumo pada perkutut bukan lagi sekadar hobi. Di rumahnya di alun-alun selatan Keraton Yogyakarta berderet 50 kandang ternak. Puluhan sangkar menggantung di gantangan setinggi 2 m. Sangkar lain dikerek setinggi 4 m. Kandang boks berisi piyik lengkap dengan label dan nama silsilah dijemur di halaman. Kondisi kandang tertata rapi dan bersih, bukti ketelatenan sang pemilik.
Sudah 3 tahun alunan perkutut menemani hari-hari pria berdarah biru itu. Rutinitas hariannya dimulai dari kandang pada pukul 07.00. Satu per satu klangenannya disambangi. Diamatinya telur-telur yang dierami induk. Dibersihkannya tempat pakan dan minum.
Kalau pagi hari tidak sempat ke kandang, kunjungan diganti pada malam hari. "Jam berapa pun saya harus datang ke kandang untuk melihat kondisi burung," ungkapnya. Minimal 1 jam ia ada di sana. Tak heran, burung nyekukruk bisa dipantau sejak dini sehingga bisa segera diobati Kesibukan meningkat menjelang kontes. Burung yang akan dilombakan dimandikan dengan ramuan khusus. Dilolohnya jagoan andalan itu dengan jamu. Hasilnya, Dewa Mabuk, Bima Sakti, Lorong Misteri, Sangrilla, Primadona, dan Presiden kerap meraih juara di berbagai lomba.
[caption id="attachment_7161" align="aligncenter" width="1586"]
Prabukusumo, terpikat perkutut lantaran alunan suaranya[/caption]
Prabukusumo mengenal perkutut secara kebetulan. Ketika itu ia harus menggantikan tugas sang kakak untuk menyerahkan piala kontes Hamengkubuwono Cup pada Agustus 1998. "Saya benar-benar terkesima begitu mendengar alunan perkutut saat beradu merdu di lapangan," kata kelahiran Yogyakarta 22 Desember 1954 itu.
Usai kontes ia berminat membeli salah satu burung juara. Namun, betapa kagetnya begitu mengetahui harga yang ditawarkan. Piyik juara berumur 3 bulan dipatok Rp45-juta. Padahal, perkiraannya hanva Rp2-juta—Rp5-juta.
Namun, itu tidak menyurutkan tekadnya untuk memeliki burung "kung". Lomba di berbagai daerah menjadi sasaran kunjungan Beberapa farm besar di Tasikmalaya dan Bandung disambangi. Satu per satu perkutut berharga jutaan pun rupiah menjadi koleksinya. Bermodalkan hasil perburuan ke farm-farm terkenal,Prabukusumo terjun di berbagai lomba. Prestasi pertama ditorehkan oleh Sekartaji. Perkutut pertama asal Tasikmalaya itu menyebet gelar juara I pada kontes di lapangan TVRI Yogyakarta. Perkutut betina itu memiliki volume tinggi dan tengkung bagus.
Kera Sakti, Larasati, Bima Sakti, Lorong Misteri, dan Sangrilla ialah koleksi lain yang sering menelurkan juara. Wajar, bila beberapa hobiis menjulukinya peternak bertangan dingin. Burung-burung andalan itu akhirnya diternak pada 2000. Sejak itulah lahir Kedaton Bird Farm. Setiap kandang diberi label nama sang jagoan. Ayah 3 anak itu berharap memperoleh perkutut berkualitas yang mewarisi sifat induknya.
[caption id="attachment_7162" align="aligncenter" width="586"]
Kandang tertata rapi bukti keseriusannya[/caption]
Nama Prabukusumo mencuat ketika salah satu keturunan Dewa Mabuk meraih juara I kontes di Pontianak, Kalimantan Barat setahun silam. Kepiawaiannya semakin terbukti setelah Presiden malang-melintang di berbagai lomba. Perkutut senilai Rp 16-juta asal Thailand itu dikenal sebagai pelanggan juara I di berbagai kontes nasional.
"Kini Presiden sedang dijodohkan dengan TL4-B. Dulu disandingkan dengan anak Leo Star gagal lantaran telur berukuran besar dan cangkang kuat. Sewaktu menetas kerabang tidak pecah sempurna sehingga piyik mati," ujarnya.
Beternak perkutut sudah menjadi bisnis sampingan Prabukusumo. Manisnya hasil penjualan mulai dinikmati. Ia menjual seekor perkutut siap lomba Rp2-juta—Rp5-juta. Burung berprestasi atau mendapat juara, harganya meningkat hingga Rpl5-juta. Perkutut ecek-ecek tanpa sertifikat dijual ke pasar seharga Rp 100.000. Toh, "Kalau dihitung investasi yang dikeluarkan untuk membangun kandang dan membeli induk belum tertutup dari hasil jual perkutut," ujar ketua yayasan rumah sakit YAP, Yogyakarta itu.
Kesenangan Prabukusumo pada perkutut bukan lagi sekadar hobi. Di rumahnya di alun-alun selatan Keraton Yogyakarta berderet 50 kandang ternak. Puluhan sangkar menggantung di gantangan setinggi 2 m. Sangkar lain dikerek setinggi 4 m. Kandang boks berisi piyik lengkap dengan label dan nama silsilah dijemur di halaman. Kondisi kandang tertata rapi dan bersih, bukti ketelatenan sang pemilik.
Sudah 3 tahun alunan perkutut menemani hari-hari pria berdarah biru itu. Rutinitas hariannya dimulai dari kandang pada pukul 07.00. Satu per satu klangenannya disambangi. Diamatinya telur-telur yang dierami induk. Dibersihkannya tempat pakan dan minum.
Kalau pagi hari tidak sempat ke kandang, kunjungan diganti pada malam hari. "Jam berapa pun saya harus datang ke kandang untuk melihat kondisi burung," ungkapnya. Minimal 1 jam ia ada di sana. Tak heran, burung nyekukruk bisa dipantau sejak dini sehingga bisa segera diobati Kesibukan meningkat menjelang kontes. Burung yang akan dilombakan dimandikan dengan ramuan khusus. Dilolohnya jagoan andalan itu dengan jamu. Hasilnya, Dewa Mabuk, Bima Sakti, Lorong Misteri, Sangrilla, Primadona, dan Presiden kerap meraih juara di berbagai lomba.
Berawal Dari Rasa Penasaran
[caption id="attachment_7161" align="aligncenter" width="1586"]

Prabukusumo mengenal perkutut secara kebetulan. Ketika itu ia harus menggantikan tugas sang kakak untuk menyerahkan piala kontes Hamengkubuwono Cup pada Agustus 1998. "Saya benar-benar terkesima begitu mendengar alunan perkutut saat beradu merdu di lapangan," kata kelahiran Yogyakarta 22 Desember 1954 itu.
Usai kontes ia berminat membeli salah satu burung juara. Namun, betapa kagetnya begitu mengetahui harga yang ditawarkan. Piyik juara berumur 3 bulan dipatok Rp45-juta. Padahal, perkiraannya hanva Rp2-juta—Rp5-juta.
Namun, itu tidak menyurutkan tekadnya untuk memeliki burung "kung". Lomba di berbagai daerah menjadi sasaran kunjungan Beberapa farm besar di Tasikmalaya dan Bandung disambangi. Satu per satu perkutut berharga jutaan pun rupiah menjadi koleksinya. Bermodalkan hasil perburuan ke farm-farm terkenal,Prabukusumo terjun di berbagai lomba. Prestasi pertama ditorehkan oleh Sekartaji. Perkutut pertama asal Tasikmalaya itu menyebet gelar juara I pada kontes di lapangan TVRI Yogyakarta. Perkutut betina itu memiliki volume tinggi dan tengkung bagus.
Kera Sakti, Larasati, Bima Sakti, Lorong Misteri, dan Sangrilla ialah koleksi lain yang sering menelurkan juara. Wajar, bila beberapa hobiis menjulukinya peternak bertangan dingin. Burung-burung andalan itu akhirnya diternak pada 2000. Sejak itulah lahir Kedaton Bird Farm. Setiap kandang diberi label nama sang jagoan. Ayah 3 anak itu berharap memperoleh perkutut berkualitas yang mewarisi sifat induknya.
Mulai dikenal luas
[caption id="attachment_7162" align="aligncenter" width="586"]

Nama Prabukusumo mencuat ketika salah satu keturunan Dewa Mabuk meraih juara I kontes di Pontianak, Kalimantan Barat setahun silam. Kepiawaiannya semakin terbukti setelah Presiden malang-melintang di berbagai lomba. Perkutut senilai Rp 16-juta asal Thailand itu dikenal sebagai pelanggan juara I di berbagai kontes nasional.
"Kini Presiden sedang dijodohkan dengan TL4-B. Dulu disandingkan dengan anak Leo Star gagal lantaran telur berukuran besar dan cangkang kuat. Sewaktu menetas kerabang tidak pecah sempurna sehingga piyik mati," ujarnya.
Beternak perkutut sudah menjadi bisnis sampingan Prabukusumo. Manisnya hasil penjualan mulai dinikmati. Ia menjual seekor perkutut siap lomba Rp2-juta—Rp5-juta. Burung berprestasi atau mendapat juara, harganya meningkat hingga Rpl5-juta. Perkutut ecek-ecek tanpa sertifikat dijual ke pasar seharga Rp 100.000. Toh, "Kalau dihitung investasi yang dikeluarkan untuk membangun kandang dan membeli induk belum tertutup dari hasil jual perkutut," ujar ketua yayasan rumah sakit YAP, Yogyakarta itu.