Akhir Juni 2020 Dalam sebuah acara pameran di Kuta, Bali, Chandra Gunawan panen besar. Total 800 pot adenium berbunga yang dibawa ludes terjual. Padahal harga relatif tinggi. Untuk tanaman kategori A (berdiameter batang 3 sampai 5 cm) yang paling murah saja harga berkisar Rp40.000 sampai Rp100.000 per pot.
Artinya, omzet minimal Rp32-juta dari 5 hari pameran ia kantungi. Padahal sebelumnya pemilik Godong Ijo Nursery di Sawangan, Depok, itu sempat pesimis. Dua hari pertama pameran penjualan sepi. Memasuki hari-hari terakhir barulah adenium laris-manis. Tepat pukul 00.00 WIT anjungan nurseri yang berkolaborasi dengan Vonny Orchid itu ditutup tanpa menyisakan satu pot pun.
Wajar saja ratusan pot yang dibawa ludes. Kamboja jepang terbilang pendatang baru di Bali. Selama ini konsumen di Pulau Dewata itu hanya kenal jenis lokal berwarna merah jambu. Chandra datang membawa tak kurang dari 80-an macam dengan wama dan bentuk bunga berbeda. Tak heran, permintaan untuk memasok Bali pun berdatangan segera setelah pameran usai.
Masuknya permintaan dari Bali kian melebarkan sayap bisnis penggemar reptil itu. Sebelumnya ia sudah memasok Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, Manado, Kupang, Makassar, bahkan Brunei Darussalam. Waktu Trubus berkunjung pada awal Juli, Chandra baru saja mengirim 80 pot pesanan seorang hobiis di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Kondisi itu setali tiga uang dengan yang dialami oleh Iwan Rassat, pemilik Adenium Nurseri di Jakarta. Setahun belakangan permintaan kamboja jepang dari luar kota meningkat hingga 2 kali lipat. Ia melayani pedagang dari Pekalongan, Surabaya, Lampung, Medan, dan Jambi.
Sekali pengiriman minimal 50 pot. Mereka tak terlalu peduli warna dan kualitas. Asal barang ada pasti minta dikirim. “Sekarang tren justru meluas ke luar Jakarta,” kata Chandra dan Iwan sepakat.
Pelacakan Trubus ke beberapa daerah memang menunjukkan hal itu. Pada 2000 hanya ada 2 nurseri khusus menjajakan adenium di Semarang. “Sekarang minimal 15 nurseri. Belum lagi jumlah hobiis rumahan yang juga terus bertambah,” tutur Franciscus Kusdianto, ST, pemilik Gama Cactus Garden. Salah satu pelopor pengembangan adenium di Semarang itu rutin mengirim 1.000 pot per bulan kepada pelanggan di Surabaya, Malang, Lombok, Mataram, dan Makassar.
Di Mojokerto, ada Vonny Orchids yang memasarkan si mawar gurun itu sejak sebulan silam. Lantaran pasar bagus ia minta dikirim 3 truk masing-masing berisi 700 pot. Konsumen datang dari seputaran Mojokerto, Malang, dan Surabaya.
[caption id="attachment_5492" align="aligncenter" width="1457"]
Tren mulai melebar ke daerah[/caption]
Kalau di berbagai daerah adenium baru marak, di seputaran Jakarta justru ngetren sejak 3 tahun silam. Waktu itu beberapa nurseri mulai getol menjajakan kamboja jepang impor. Kebanyakan dari Thailand. Asal Amerika Serikat juga ada, tapi harga lebih mahal 10 kali lipat.
Penampilan para pendatang itu berbeda dengan jenis lokal yang cuma berwarna merah jambu. Sebut saja duang yi hua berwarna merah dengan corong putih, black ruby yang bertepi keriting berwarna merah gelap, atau morodoklo nan putih bersih. Tak heran bila popularitas adenium impor itu cepat menjulang.
Setiap bulan Iwan Rassat sanggup menjual 300 pot beragam ukuran. Kisaran harga mulai Rp20.000 untuk tanaman “baru” hasil okulasi hingga Rp2-juta untuk yang sudah jadi. Sekitar 100 pot adenium asal Amerika Serikat di gerai Godong Ijo Nursery ludes diserbu pembeli meski dilabeli Rp1,5-juta sampai Rp2-juta.
Bukan tanpa alasan bila para pemilik nurseri melirik si bunga keberuntungan itu. Margin yang ditawarkan memang memikat, terutama untuk para pelopor. Iwan mencontohkan. Ia pernah menjadikan sebatang adenium berukuran besar seharga Rp400.000 sebagai entres untuk 12 tanaman. Delapan bulan kemudian Rp6-juta masuk ke kantungnya hanya dengan menjual 7 anakan. Itu juga yang membuat Yunizar Basuki, di Sleman, Yogyakarta, banting setir dari bisnis ayam sejak 2 tahun silam.
Tak hanya dari tanaman berbunga pemilik Botanica Garden itu menuai untung. Dengan beberapa tanaman induk ia menuai omzet Rp 1,2-juta dari penjualan biji adenium.
[caption id="attachment_5490" align="aligncenter" width="1514"]
Taman adenium tampil atraktif[/caption]
Maraknya pameran membuat anggota famili Apocinaceae itu cepat dikenal orang. Husny Bahasuan, kolektor di Surabaya, kepincut setelah melihat adenium di sebuah pameran di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Kini di kediamannya ada 400 pot beragam jenis . Perhelatan seperti itu memang efektif menggaet konsumen baru. Ujung-ujungnya omzet penjualan pun terdongkrak.
Tak hanya di Bali, Chandra menuai untung. Pada ajang Fiona 2001 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, ia menjual 1.000 pot selama 17 hari pameran. Kisaran harga Rp75.000 sampai Rp500.000 per pot. Setahun kemudian penjualan berlipat dua, walau harga turun menjadi Rp40.000 sampai Rp100.000/pot. Diakuinya penjualan selama pameran memberi kontribusi 30% total penjualan selama setahun.
Manisnya bisnis adenium diendus para hobiis. Dari hanya sekadar mengoleksi, mereka lantas jadi pedagang. Octa Sugih, misalnya. Sejak 1992 ia sudah memburu adenium untuk koleksi pribadi. Lantaran koleksi terus bertambah pada 2001 ia mulai berdagang.
Para pebisnis murni pun tak ketinggalan ikut teijun. Hanya terhitung 3 tahun Chandra menghitung jumlah kompetitor melonjak tajam. Bila pada 2000 di seputaran Jakarta hanya ada 3 pesaing, kini jumlahnya lebih dari 30 nurseri. Itu belum termasuk pemain baru di berbagai daerah.
Mode
Tren adenium terus terpelihara lantaran selalu ada jenis-jenis baru. Sekadar contoh katalog yang dikeluarkan Godong Ijo Nursery. Pada 2001 hanya ada 50 jenis. Tahun berikutnya bertambah jadi 80 macam. Pada 2003 diperkenalkan lagi 21 jenis berbeda sebagai tambahan. Semua impor asal Thailand, Taiwan, atau Amerika Serikat.
Di negara-negara produsen itu adenium memang bak mode saja. Setiap tahun model-model baru silih berganti datang. Kalau ingin melacak jenis terbaru yang bakal populer di Thailand, misalnya, paling mudah datang ke acara pameran akbar setiap 1 sampai 10 Desember. Di perhelatan memperingati hari kelahiran Raja Bhumibol Aduljadey itu ratusan jenis kamboja jepang ditampilkan.
Di tanah air masuknya jenis-jenis baru membuat pasar dinamis. Maklum pembeli mudah bosan bila disuguhi jenis itu-itu saja. Makanya preferensi konsumen jadi pegangan. Menurut pantauan Frans sapaan Fransiscus Kusdianto pada 2000 konsumen menyukai adenium berwarna merah darah, misal daeng anant. Memasuki akhir 2001 hingga menjelang pertengahan 2002 warna putih mulai digemari karena terkesan anggun.
Contohnya, morodoklo. Sementara pada periode 2002 sampai 2003 selera konsumen bergeser pada warna-warna novelti bergaris. Misal bunga putih bergaris tepi merah muda. Bunga-bunga berukuran kecil tapi semarak juga lebih disukai. Ia memprediksi warna putih masih diminati pada 2004.
Makanya saat ini Sarjana Teknik alumnus Universitas Trisakti, Jakarta, itu banyak mendatangkan adenium berkarakter seperti itu. Misal panda berbunga putih bersih dengan garis merah pada corong bunga asal Amerika.
Uniknya perbedaan selera konsumen juga dipengaruhi faktor domisili dan budaya. Simak saja pengalaman Chandra. “Kalau saya pameran di daerah Jakarta Utara/misal Kelapagading atau Pluit, konsumen banyak mencari warna merah, putih kurang laku. Sebaliknya kalau pameran di daerah selatan seperti Pondok Indah,” tutur kolektor beragam tanaman variegata itu.
Dalam budaya etnis Tionghoa yang banyak berdomisili di Jakarta Utara warna merah lambang keberuntungan. Wajar bila adenium merah yang banyak dicari. Di Taiwan dan Cina kamboja jepang memang mendapat julukan fook hoi hwa alias si bunga keberutungan. Sementara di selatan komunitas lebih heterogen. Warna putih digemari karena memang benar-benar berbeda dari adenium lokal.
Putih juga jadi favorit konsumen di Semarang, Yogyakarta, dan Bali. Warna itu diasosiasikan sebagai lambang kesucian atau sakral. Makanya untuk memenuhi pesanan pascapameran di Bali, Chandra lebih banyak mempersiapkan adenium putih.
Pergeseran mode tidak hanya terpaku pada warna bunga. Para pemilik nurseri mulai memburu adenium berbonggol unik. Maklum itu bisa mendongkrak harga. Koleksi Godong Ijo Nursery berjuluk Inul dibeli seorang kolektor di Surabaya Rp8-juta. Bonggol tanaman setinggi 20 sampai 30 cm itu memang unik, berputar-putar seperti saat sang penyanyi dangdut manggung. “Kalau bonggolnya ngga unik harganya paling Rp 100.000,” kata Chandra.
Kerabat plumeria itu pun tak hanya dijual sebagai bunga dalam pot. Kini ia banyak yang memanfaatkan sebagai elemen taman. Adenium beragam ukuran yang ditata apik membuat halaman kediaman Alun di bilangan Meruya, Jakarta Barat, tampil atraktif.
Nun di Gunungsahari, Jakarta Utara, seorang kolektor menyulap dak di lantai atas rumah jadi taman adenium bak di habitat asli gurun di Yaman. Kamboja cina sebutan di Malaysia itu sempat pula diboyong ke ballroom sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, untuk dekorasi pesta pernikahan.
Insiprasi serupa mengilhami Chandra Gunawan untuk menawarkan jasa pembuatan taman bertema gurun sejak setahun silam. Tak melulu diisi adenium, tapi ada juga tanaman gurun lain, misal euphorbia dan agave. “Banyak sih yang berminat, tapi kebanyakan mereka kemudian hanya membeli tanaman lalu membuat taman sendiri,” ujarnya. Maklum paket pembuatan taman berukuran 3 m x 4 m saja menghabiskan dana Rp30-juta sampai Rp40-juta. Wajar karena yang digunakan tanaman berukuran besar.
Kecantikan si mawar gurun pun membuatnya layak jadi buah tangan istimewa. Husny Bahasuan menghadiahkan sepot adenium berbunga semarak pada sang ayah yang juga penggemar tanaman hias. Gerai Han Garden milik Handry Chuhairy di Serpong, Tangerang, kerap didatangi pembeli yang mencari adenium berbunga sebagai parsel untuk kerabat atau relasi keija.
[caption id="attachment_5488" align="aligncenter" width="1511"]
Bonggol unik dongkrak harga[/caption]
Sepintas bisnis adenium nyaris tanpa kendala. Namun, kemudahan mengimpor dan memperbanyak sendiri bak buah si malakama. Beberapa pedagang menyebutkan setahun terakhir harga turun. Iwan Rassat tanaman setinggi 50 cm dulu masih dilabeli Rp300.000 per pot, kini hanya Rp50.000 sampai Rp 100.000. Hal senada diungkap Ny T Suroyo, hobiis dan pedagang di bilangan Cilandak,Jakarta Selatan. Jumlah pemain semakin banyak membuat konsumen punya banyak pilihan.
Toh meski demikian banyak pemain tetap optimis. “Harga turun justru membuat lebih terjangkau daya beli masyarakat,” ujar Handry. Ibarat piramida ketika harga jual tinggi hanya kalangan atas saja yang sanggup membeli. Begitu harga turun, pasar jadi lebih luas.
Lagipula selama pemain rajin mendatangkan jenis-jenis terbaru tren adenium tetap bertahan. Pasar pun terus tumbuh. “Wong sampai sekarang saja masih ada orang yang tanya ini pohon apa kok,” kata Handry.
Chandra menyebutkan setiap tahun pertumbuhan pasar mencapai 30 sampai 40%. Apalagi kini tak melulu Jakarta dan sekitarnya yang layak digarap. Pasar di dearah justru sedang menggeliat.
Memasuki Agustus para pedagang menanti-nantikan sebuah pameran akbar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Pengalaman menunjukkan pada ajang bertajuk pameran Flora dan Fauna itu adenium jadi primadona. Mereka berharap kejayaan itu kembali terulang.
Artinya, omzet minimal Rp32-juta dari 5 hari pameran ia kantungi. Padahal sebelumnya pemilik Godong Ijo Nursery di Sawangan, Depok, itu sempat pesimis. Dua hari pertama pameran penjualan sepi. Memasuki hari-hari terakhir barulah adenium laris-manis. Tepat pukul 00.00 WIT anjungan nurseri yang berkolaborasi dengan Vonny Orchid itu ditutup tanpa menyisakan satu pot pun.
Wajar saja ratusan pot yang dibawa ludes. Kamboja jepang terbilang pendatang baru di Bali. Selama ini konsumen di Pulau Dewata itu hanya kenal jenis lokal berwarna merah jambu. Chandra datang membawa tak kurang dari 80-an macam dengan wama dan bentuk bunga berbeda. Tak heran, permintaan untuk memasok Bali pun berdatangan segera setelah pameran usai.
Kembali Marak di daerah

Kondisi itu setali tiga uang dengan yang dialami oleh Iwan Rassat, pemilik Adenium Nurseri di Jakarta. Setahun belakangan permintaan kamboja jepang dari luar kota meningkat hingga 2 kali lipat. Ia melayani pedagang dari Pekalongan, Surabaya, Lampung, Medan, dan Jambi.
Sekali pengiriman minimal 50 pot. Mereka tak terlalu peduli warna dan kualitas. Asal barang ada pasti minta dikirim. “Sekarang tren justru meluas ke luar Jakarta,” kata Chandra dan Iwan sepakat.
Pelacakan Trubus ke beberapa daerah memang menunjukkan hal itu. Pada 2000 hanya ada 2 nurseri khusus menjajakan adenium di Semarang. “Sekarang minimal 15 nurseri. Belum lagi jumlah hobiis rumahan yang juga terus bertambah,” tutur Franciscus Kusdianto, ST, pemilik Gama Cactus Garden. Salah satu pelopor pengembangan adenium di Semarang itu rutin mengirim 1.000 pot per bulan kepada pelanggan di Surabaya, Malang, Lombok, Mataram, dan Makassar.
Di Mojokerto, ada Vonny Orchids yang memasarkan si mawar gurun itu sejak sebulan silam. Lantaran pasar bagus ia minta dikirim 3 truk masing-masing berisi 700 pot. Konsumen datang dari seputaran Mojokerto, Malang, dan Surabaya.
Margin besar
[caption id="attachment_5492" align="aligncenter" width="1457"]

Kalau di berbagai daerah adenium baru marak, di seputaran Jakarta justru ngetren sejak 3 tahun silam. Waktu itu beberapa nurseri mulai getol menjajakan kamboja jepang impor. Kebanyakan dari Thailand. Asal Amerika Serikat juga ada, tapi harga lebih mahal 10 kali lipat.
Penampilan para pendatang itu berbeda dengan jenis lokal yang cuma berwarna merah jambu. Sebut saja duang yi hua berwarna merah dengan corong putih, black ruby yang bertepi keriting berwarna merah gelap, atau morodoklo nan putih bersih. Tak heran bila popularitas adenium impor itu cepat menjulang.
Setiap bulan Iwan Rassat sanggup menjual 300 pot beragam ukuran. Kisaran harga mulai Rp20.000 untuk tanaman “baru” hasil okulasi hingga Rp2-juta untuk yang sudah jadi. Sekitar 100 pot adenium asal Amerika Serikat di gerai Godong Ijo Nursery ludes diserbu pembeli meski dilabeli Rp1,5-juta sampai Rp2-juta.
Bukan tanpa alasan bila para pemilik nurseri melirik si bunga keberuntungan itu. Margin yang ditawarkan memang memikat, terutama untuk para pelopor. Iwan mencontohkan. Ia pernah menjadikan sebatang adenium berukuran besar seharga Rp400.000 sebagai entres untuk 12 tanaman. Delapan bulan kemudian Rp6-juta masuk ke kantungnya hanya dengan menjual 7 anakan. Itu juga yang membuat Yunizar Basuki, di Sleman, Yogyakarta, banting setir dari bisnis ayam sejak 2 tahun silam.
Tak hanya dari tanaman berbunga pemilik Botanica Garden itu menuai untung. Dengan beberapa tanaman induk ia menuai omzet Rp 1,2-juta dari penjualan biji adenium.
Jadi bisnis
[caption id="attachment_5490" align="aligncenter" width="1514"]

Maraknya pameran membuat anggota famili Apocinaceae itu cepat dikenal orang. Husny Bahasuan, kolektor di Surabaya, kepincut setelah melihat adenium di sebuah pameran di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Kini di kediamannya ada 400 pot beragam jenis . Perhelatan seperti itu memang efektif menggaet konsumen baru. Ujung-ujungnya omzet penjualan pun terdongkrak.
Tak hanya di Bali, Chandra menuai untung. Pada ajang Fiona 2001 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, ia menjual 1.000 pot selama 17 hari pameran. Kisaran harga Rp75.000 sampai Rp500.000 per pot. Setahun kemudian penjualan berlipat dua, walau harga turun menjadi Rp40.000 sampai Rp100.000/pot. Diakuinya penjualan selama pameran memberi kontribusi 30% total penjualan selama setahun.
Manisnya bisnis adenium diendus para hobiis. Dari hanya sekadar mengoleksi, mereka lantas jadi pedagang. Octa Sugih, misalnya. Sejak 1992 ia sudah memburu adenium untuk koleksi pribadi. Lantaran koleksi terus bertambah pada 2001 ia mulai berdagang.
Para pebisnis murni pun tak ketinggalan ikut teijun. Hanya terhitung 3 tahun Chandra menghitung jumlah kompetitor melonjak tajam. Bila pada 2000 di seputaran Jakarta hanya ada 3 pesaing, kini jumlahnya lebih dari 30 nurseri. Itu belum termasuk pemain baru di berbagai daerah.
Mode
Tren adenium terus terpelihara lantaran selalu ada jenis-jenis baru. Sekadar contoh katalog yang dikeluarkan Godong Ijo Nursery. Pada 2001 hanya ada 50 jenis. Tahun berikutnya bertambah jadi 80 macam. Pada 2003 diperkenalkan lagi 21 jenis berbeda sebagai tambahan. Semua impor asal Thailand, Taiwan, atau Amerika Serikat.
Di negara-negara produsen itu adenium memang bak mode saja. Setiap tahun model-model baru silih berganti datang. Kalau ingin melacak jenis terbaru yang bakal populer di Thailand, misalnya, paling mudah datang ke acara pameran akbar setiap 1 sampai 10 Desember. Di perhelatan memperingati hari kelahiran Raja Bhumibol Aduljadey itu ratusan jenis kamboja jepang ditampilkan.
Di tanah air masuknya jenis-jenis baru membuat pasar dinamis. Maklum pembeli mudah bosan bila disuguhi jenis itu-itu saja. Makanya preferensi konsumen jadi pegangan. Menurut pantauan Frans sapaan Fransiscus Kusdianto pada 2000 konsumen menyukai adenium berwarna merah darah, misal daeng anant. Memasuki akhir 2001 hingga menjelang pertengahan 2002 warna putih mulai digemari karena terkesan anggun.
Contohnya, morodoklo. Sementara pada periode 2002 sampai 2003 selera konsumen bergeser pada warna-warna novelti bergaris. Misal bunga putih bergaris tepi merah muda. Bunga-bunga berukuran kecil tapi semarak juga lebih disukai. Ia memprediksi warna putih masih diminati pada 2004.
Makanya saat ini Sarjana Teknik alumnus Universitas Trisakti, Jakarta, itu banyak mendatangkan adenium berkarakter seperti itu. Misal panda berbunga putih bersih dengan garis merah pada corong bunga asal Amerika.
Gaya Inul
Uniknya perbedaan selera konsumen juga dipengaruhi faktor domisili dan budaya. Simak saja pengalaman Chandra. “Kalau saya pameran di daerah Jakarta Utara/misal Kelapagading atau Pluit, konsumen banyak mencari warna merah, putih kurang laku. Sebaliknya kalau pameran di daerah selatan seperti Pondok Indah,” tutur kolektor beragam tanaman variegata itu.
Dalam budaya etnis Tionghoa yang banyak berdomisili di Jakarta Utara warna merah lambang keberuntungan. Wajar bila adenium merah yang banyak dicari. Di Taiwan dan Cina kamboja jepang memang mendapat julukan fook hoi hwa alias si bunga keberutungan. Sementara di selatan komunitas lebih heterogen. Warna putih digemari karena memang benar-benar berbeda dari adenium lokal.
Putih juga jadi favorit konsumen di Semarang, Yogyakarta, dan Bali. Warna itu diasosiasikan sebagai lambang kesucian atau sakral. Makanya untuk memenuhi pesanan pascapameran di Bali, Chandra lebih banyak mempersiapkan adenium putih.
Pergeseran mode tidak hanya terpaku pada warna bunga. Para pemilik nurseri mulai memburu adenium berbonggol unik. Maklum itu bisa mendongkrak harga. Koleksi Godong Ijo Nursery berjuluk Inul dibeli seorang kolektor di Surabaya Rp8-juta. Bonggol tanaman setinggi 20 sampai 30 cm itu memang unik, berputar-putar seperti saat sang penyanyi dangdut manggung. “Kalau bonggolnya ngga unik harganya paling Rp 100.000,” kata Chandra.
Kerabat plumeria itu pun tak hanya dijual sebagai bunga dalam pot. Kini ia banyak yang memanfaatkan sebagai elemen taman. Adenium beragam ukuran yang ditata apik membuat halaman kediaman Alun di bilangan Meruya, Jakarta Barat, tampil atraktif.
Nun di Gunungsahari, Jakarta Utara, seorang kolektor menyulap dak di lantai atas rumah jadi taman adenium bak di habitat asli gurun di Yaman. Kamboja cina sebutan di Malaysia itu sempat pula diboyong ke ballroom sebuah hotel di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, untuk dekorasi pesta pernikahan.
Insiprasi serupa mengilhami Chandra Gunawan untuk menawarkan jasa pembuatan taman bertema gurun sejak setahun silam. Tak melulu diisi adenium, tapi ada juga tanaman gurun lain, misal euphorbia dan agave. “Banyak sih yang berminat, tapi kebanyakan mereka kemudian hanya membeli tanaman lalu membuat taman sendiri,” ujarnya. Maklum paket pembuatan taman berukuran 3 m x 4 m saja menghabiskan dana Rp30-juta sampai Rp40-juta. Wajar karena yang digunakan tanaman berukuran besar.
Kecantikan si mawar gurun pun membuatnya layak jadi buah tangan istimewa. Husny Bahasuan menghadiahkan sepot adenium berbunga semarak pada sang ayah yang juga penggemar tanaman hias. Gerai Han Garden milik Handry Chuhairy di Serpong, Tangerang, kerap didatangi pembeli yang mencari adenium berbunga sebagai parsel untuk kerabat atau relasi keija.
Harga turun
[caption id="attachment_5488" align="aligncenter" width="1511"]

Sepintas bisnis adenium nyaris tanpa kendala. Namun, kemudahan mengimpor dan memperbanyak sendiri bak buah si malakama. Beberapa pedagang menyebutkan setahun terakhir harga turun. Iwan Rassat tanaman setinggi 50 cm dulu masih dilabeli Rp300.000 per pot, kini hanya Rp50.000 sampai Rp 100.000. Hal senada diungkap Ny T Suroyo, hobiis dan pedagang di bilangan Cilandak,Jakarta Selatan. Jumlah pemain semakin banyak membuat konsumen punya banyak pilihan.
Toh meski demikian banyak pemain tetap optimis. “Harga turun justru membuat lebih terjangkau daya beli masyarakat,” ujar Handry. Ibarat piramida ketika harga jual tinggi hanya kalangan atas saja yang sanggup membeli. Begitu harga turun, pasar jadi lebih luas.
Lagipula selama pemain rajin mendatangkan jenis-jenis terbaru tren adenium tetap bertahan. Pasar pun terus tumbuh. “Wong sampai sekarang saja masih ada orang yang tanya ini pohon apa kok,” kata Handry.
Chandra menyebutkan setiap tahun pertumbuhan pasar mencapai 30 sampai 40%. Apalagi kini tak melulu Jakarta dan sekitarnya yang layak digarap. Pasar di dearah justru sedang menggeliat.
Memasuki Agustus para pedagang menanti-nantikan sebuah pameran akbar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Pengalaman menunjukkan pada ajang bertajuk pameran Flora dan Fauna itu adenium jadi primadona. Mereka berharap kejayaan itu kembali terulang.
Selamat malam. Mau tanya, apakah Anda punya kontak Godong Ijo Nursery? Ibu saya dulu pernah memesan adenium di tempat tersebut, namun dia kehilangan kontaknya. Mohon infonya. Terimakasih banyak.
BalasHapus