Setumpuk arumanis ditata rapi di salah satu gerai buah-buahan di Pasirpanjang, Singapura. Di situ tertera harga Sing 3,5 per kg setara Rp1 7.500. Memasuki Agustus hingga menjelang akhir tahun mangga asal Jawa Timur itu memang mendominasi. Nun jauh di Jeddah dan Ryadh, Saudi Arabia, para peziarah asal Indonesia bisa menikmati buah manggis dan rambutan yang diimpor langsung dari tanah air.
Bagi konsumen Eropa pun menikmati salak, rambutan, dan manggis jadi prestise. Maklum buah-buahan eksotis mereka menyebutnya begitu jajanan eksklusif yang hanya dijajakan di gerai-gerai khusus. Untuk memanjakan lidah para konsumen di mancanegara itu banyak eksportir tanah air yang memasok ke sana.
Sebut saja PT Agroindo Usahajaya yang mengirim buah ke Eropa dan Timur Tengah. Eksportir di bilangan Jakarta Timur itu rutin mengirim rambutan, manggis, dan mangga. Negara tujuan, Belanda Perancis, Jeddah, Ryadh, Abu Dhabi, dan Dubai. Volume pengiriman 0,5 ton/item per minggu. Sampai kini negara-negara Eropa dan Timur Tengah memang pasar terbesar. Selain penduduk setempat, warga negara Indonesia yang banyak bermukim di sana jadi konsumen setia.
Pasar Asia Timur dan negara tetangga di Asia Tenggara pun dilayani. PT Kertosari Gemilang mengirim mangga, manggis, dan rambutan ke Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Jumlahnya 0,5 ton per pengiriman.
Buah yang diinginkan berpenampilan prima. Rambutan misalnya, dicari yang segar, ukuran buah besar, bulu tegak dengan ujung berwarna hijau, dan warna kulit kehijauan. Penampilan memang jadi patokan utama, rasa nomor dua. Oleh karena itu parakan, binjai, dan lebak yang banyak dikirim ke sana. Berbeda dengan konsumen lokal yang lebih senang rapiah yang berukuran kecil dan gundul, tapi manis.
[caption id="attachment_5859" align="aligncenter" width="1130"]
Sentra terpencar, boros transportasi[/caption]
Dari sekian jenis buah, mangga, manggis, dan rambutan paling ditunggu pasar luar. Alasannya penampilan buah itu eksotis dan rasanya juga beda. Tak heran,“Berapapun jumlah manggis, rambutan, dan mangga pasti tertampung, asal kualitasnya bagus,” ujar Husein staf PT Agroindo Usahajaya.
Makanya arumanis asal Jawa Timur langsung ludes begitu sampai di gerai Song & Sons Fresh and Sea Produce Pte Ltd, salah satu importir di pasar grosir Pasirpanjang, Singapura. Menurut Song, sang pemilik, arumanis jadi favorit lantaran rasanya pas dengan lidah penduduk negeri jiran itu.
Toh, buah lain seperti durian, nangka, dan salak juga diminta. Menurut Drs Budimulyono Widyatmadja, MM, direktur PT Kertosari Gemilang di Jakarta, sosok durian yang diminta durinya besar, menonjol, berukuran besar, ’ dan daging buah kuning. "Sayang, durian kita cuma menang di rasa sedang penampilan kalah dengan produksi Bangkok,” tuturnya
Kesemek yang buah "kampung" pun potensial untuk diekspor. Ia banyak diincar importir dari Perancis. “Order yang masuk ke PT Agroindo Usahajaya mencapai 1 ton per pengiriman,” ujar alumnus Universitas Merdeka, Malang itu. Permintaan itu urung terpenuhi karena kesemek lokal kesat walaupun sudah matang. Ia harus diperam di kapur supaya enak. Akibatnya, penampilan buah jadi jelek, seperti berbedak. Pekebun pun enggan menanam karena harganya rendah.
Itu berbeda dengan kesemek asal Australia yang manis. Di pasar dunia ia dikenal sebagai persimmon. Di salah satu pasar swalayan di Kualalumpur, Malaysia, sekilo persimmon dihargai 30 ringgit setara Rp75.OOO.
[caption id="attachment_5862" align="aligncenter" width="677"]
Lebak diminta eksportir[/caption]
Kualitas memang kerap jadi kendala. Untuk mendapatkan manggis kualitas ekspor, Husein mesti pontang-panting mencari ke seluruh Sumatera dan Jawa. Maklum, Di tanah air buah itu diusahakan secara sambilan di pekarangan rumah atau kebun sempit. Perawatan, pemanenan, dan pengelolaan pascapanen masih seadanya.
Itu yang membuat mutu buah tidak memenuhi syarat yang dikehendaki pasar internasional. Dengan kondisi seperti itu permintaan 1 ton manggis yang masuk ke PT Agroindo Usahajaya baru 75% terpenuhi.
Batu sandungan lain, kontinuitas pasokan. Ketersediaan buah tropis sangat tergantung musim. Ini menyebabkan eksportir tidak bisa memasok sepanjang tahun. Ketika Kami bertandang ke gudang salah satu eksportir di Jakarta Selatan pada akhir Juni, tak ada buah yang dikemas melainkan sayuran. Eksportir buah biasanya bekerja dari Desember Maret saat panen rambutan dan manggis. Setelah itu kosong selama 5 bulan. Pengiriman mulai lagi pada September Oktober untuk mangga.
Transportasi tetap jadi masalah klasik yang belum terpecahkan. Lokasi sentra buah umumnya jauh dari gudang eksportir. Akibatnya terjadi penyusutan volume hingga 30% karena kerusakan di jalan.
Belum lagi bea ekspor Indonesia yang menurut seorang eksportir paling mahal di dunia. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki kargo khusus untuk pengiriman barang. Selama ini pengiriman buah selalu nebeng pada pesawat penumpang. Celakanya, kalau jumlah penumpang sedikit penerbangan terpaksa dibatalkan. Padahal fresh fruit harus segera dikirim atau rusak.
Akibat pembatalan itu kerugian materi yang harus ditanggung eksportir cukup besar. Budimulyono pernah merugi hingga Rp5-juta lantaran 0,5 ton rambutan batal diberangkatkan. Terpaksa buah itu dijual di pasar lokal dengan harga murah. “Mutu bagus ia tak laku. Karena sudah dilepas dari tangkainya dianggap apkir oleh konsumen di sini,” tutur ayah 2 anak itu. Itu sebabnya eksportir harus gesit mencari pesawat, kalau perlu semua maskapai asing disisipi buah.
[caption id="attachment_5860" align="aligncenter" width="632"]
Konsumen Singapura menyukai arumanis[/caption]
Kondisi itu bertolak belakang dengan yang terjadi di Thailand. Di sana buah dikebunkan secara intensif sehingga kualitas yang dihasilkan seragam. Jambu thongsamsii misalnya, karena penampilannya yang superjumbo jadi rebutan importir Hongkong. Padahal, induknya citra yang asli Indonesia belum bisa menembus pasar ekspor. Keunggulan lain, bea impor yang dikenakan rendah dan jarak tempuh ke negara tujuan lebih pendek.
Keberhasilan itu membuka mata pemerintah daerah salah satu provinsi di Sumatera. Mereka mendatangkan ahli dari Thailand untuk memperbaiki kualitas beragam buah yang dimiliki. Sayang, karena cara panennya sembarang, kulit buah jadi rusak sehingga tidak bisa dikirim ke tempat jauh,” tutur Ir Nancy Martasuta, ahli alih informasi pertanian Thailand yang ikut turun tangan.
Usaha ke arah perbaikan kualitas juga dilakukan oleh salah seorang mantan pejabat Departemen Pertanian yang membuka kebun ratusan hektar di provinsi sama. Dengan meniru teknologi budidaya ala negeri Siam diharapkan durian, jeruk, dan alpukat yang dihasilkan berkualitas prima. Tinggal menunggu uluran tangan pemerintah untuk mempermudah transportasi dan bea ekspor.
Bagi konsumen Eropa pun menikmati salak, rambutan, dan manggis jadi prestise. Maklum buah-buahan eksotis mereka menyebutnya begitu jajanan eksklusif yang hanya dijajakan di gerai-gerai khusus. Untuk memanjakan lidah para konsumen di mancanegara itu banyak eksportir tanah air yang memasok ke sana.
Sebut saja PT Agroindo Usahajaya yang mengirim buah ke Eropa dan Timur Tengah. Eksportir di bilangan Jakarta Timur itu rutin mengirim rambutan, manggis, dan mangga. Negara tujuan, Belanda Perancis, Jeddah, Ryadh, Abu Dhabi, dan Dubai. Volume pengiriman 0,5 ton/item per minggu. Sampai kini negara-negara Eropa dan Timur Tengah memang pasar terbesar. Selain penduduk setempat, warga negara Indonesia yang banyak bermukim di sana jadi konsumen setia.
Pasar Asia Timur dan negara tetangga di Asia Tenggara pun dilayani. PT Kertosari Gemilang mengirim mangga, manggis, dan rambutan ke Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Jumlahnya 0,5 ton per pengiriman.
Buah yang diinginkan berpenampilan prima. Rambutan misalnya, dicari yang segar, ukuran buah besar, bulu tegak dengan ujung berwarna hijau, dan warna kulit kehijauan. Penampilan memang jadi patokan utama, rasa nomor dua. Oleh karena itu parakan, binjai, dan lebak yang banyak dikirim ke sana. Berbeda dengan konsumen lokal yang lebih senang rapiah yang berukuran kecil dan gundul, tapi manis.
Ludes
[caption id="attachment_5859" align="aligncenter" width="1130"]

Dari sekian jenis buah, mangga, manggis, dan rambutan paling ditunggu pasar luar. Alasannya penampilan buah itu eksotis dan rasanya juga beda. Tak heran,“Berapapun jumlah manggis, rambutan, dan mangga pasti tertampung, asal kualitasnya bagus,” ujar Husein staf PT Agroindo Usahajaya.
Makanya arumanis asal Jawa Timur langsung ludes begitu sampai di gerai Song & Sons Fresh and Sea Produce Pte Ltd, salah satu importir di pasar grosir Pasirpanjang, Singapura. Menurut Song, sang pemilik, arumanis jadi favorit lantaran rasanya pas dengan lidah penduduk negeri jiran itu.
Toh, buah lain seperti durian, nangka, dan salak juga diminta. Menurut Drs Budimulyono Widyatmadja, MM, direktur PT Kertosari Gemilang di Jakarta, sosok durian yang diminta durinya besar, menonjol, berukuran besar, ’ dan daging buah kuning. "Sayang, durian kita cuma menang di rasa sedang penampilan kalah dengan produksi Bangkok,” tuturnya
Kesemek yang buah "kampung" pun potensial untuk diekspor. Ia banyak diincar importir dari Perancis. “Order yang masuk ke PT Agroindo Usahajaya mencapai 1 ton per pengiriman,” ujar alumnus Universitas Merdeka, Malang itu. Permintaan itu urung terpenuhi karena kesemek lokal kesat walaupun sudah matang. Ia harus diperam di kapur supaya enak. Akibatnya, penampilan buah jadi jelek, seperti berbedak. Pekebun pun enggan menanam karena harganya rendah.
Itu berbeda dengan kesemek asal Australia yang manis. Di pasar dunia ia dikenal sebagai persimmon. Di salah satu pasar swalayan di Kualalumpur, Malaysia, sekilo persimmon dihargai 30 ringgit setara Rp75.OOO.
Batu sandungan
[caption id="attachment_5862" align="aligncenter" width="677"]

Kualitas memang kerap jadi kendala. Untuk mendapatkan manggis kualitas ekspor, Husein mesti pontang-panting mencari ke seluruh Sumatera dan Jawa. Maklum, Di tanah air buah itu diusahakan secara sambilan di pekarangan rumah atau kebun sempit. Perawatan, pemanenan, dan pengelolaan pascapanen masih seadanya.
Itu yang membuat mutu buah tidak memenuhi syarat yang dikehendaki pasar internasional. Dengan kondisi seperti itu permintaan 1 ton manggis yang masuk ke PT Agroindo Usahajaya baru 75% terpenuhi.
Batu sandungan lain, kontinuitas pasokan. Ketersediaan buah tropis sangat tergantung musim. Ini menyebabkan eksportir tidak bisa memasok sepanjang tahun. Ketika Kami bertandang ke gudang salah satu eksportir di Jakarta Selatan pada akhir Juni, tak ada buah yang dikemas melainkan sayuran. Eksportir buah biasanya bekerja dari Desember Maret saat panen rambutan dan manggis. Setelah itu kosong selama 5 bulan. Pengiriman mulai lagi pada September Oktober untuk mangga.
Transportasi tetap jadi masalah klasik yang belum terpecahkan. Lokasi sentra buah umumnya jauh dari gudang eksportir. Akibatnya terjadi penyusutan volume hingga 30% karena kerusakan di jalan.
Belum lagi bea ekspor Indonesia yang menurut seorang eksportir paling mahal di dunia. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki kargo khusus untuk pengiriman barang. Selama ini pengiriman buah selalu nebeng pada pesawat penumpang. Celakanya, kalau jumlah penumpang sedikit penerbangan terpaksa dibatalkan. Padahal fresh fruit harus segera dikirim atau rusak.
Akibat pembatalan itu kerugian materi yang harus ditanggung eksportir cukup besar. Budimulyono pernah merugi hingga Rp5-juta lantaran 0,5 ton rambutan batal diberangkatkan. Terpaksa buah itu dijual di pasar lokal dengan harga murah. “Mutu bagus ia tak laku. Karena sudah dilepas dari tangkainya dianggap apkir oleh konsumen di sini,” tutur ayah 2 anak itu. Itu sebabnya eksportir harus gesit mencari pesawat, kalau perlu semua maskapai asing disisipi buah.
Tiru Thailand
[caption id="attachment_5860" align="aligncenter" width="632"]

Kondisi itu bertolak belakang dengan yang terjadi di Thailand. Di sana buah dikebunkan secara intensif sehingga kualitas yang dihasilkan seragam. Jambu thongsamsii misalnya, karena penampilannya yang superjumbo jadi rebutan importir Hongkong. Padahal, induknya citra yang asli Indonesia belum bisa menembus pasar ekspor. Keunggulan lain, bea impor yang dikenakan rendah dan jarak tempuh ke negara tujuan lebih pendek.
Keberhasilan itu membuka mata pemerintah daerah salah satu provinsi di Sumatera. Mereka mendatangkan ahli dari Thailand untuk memperbaiki kualitas beragam buah yang dimiliki. Sayang, karena cara panennya sembarang, kulit buah jadi rusak sehingga tidak bisa dikirim ke tempat jauh,” tutur Ir Nancy Martasuta, ahli alih informasi pertanian Thailand yang ikut turun tangan.
Usaha ke arah perbaikan kualitas juga dilakukan oleh salah seorang mantan pejabat Departemen Pertanian yang membuka kebun ratusan hektar di provinsi sama. Dengan meniru teknologi budidaya ala negeri Siam diharapkan durian, jeruk, dan alpukat yang dihasilkan berkualitas prima. Tinggal menunggu uluran tangan pemerintah untuk mempermudah transportasi dan bea ekspor.