Peraturan Dan Batu Sandungan Para Eksportir

Eksportir komoditas pertanian mendapat “kado” dari pemerintah. Sejak 1 Februari 2003, pemerintah memutuskan: meningkatkan bea ekspor. Kenaikannya tak tanggung-tanggung, 2.000 persen. Kebijakan itu sangat tidak realistis. Jika saya mengirimkan seikat liriope (jenis daun potong, red) yang terdiri atas 50 tangkai saya hanya memperoleh US$0,35 alias Rp60 per tangkai.

Biaya sortir dan pengangkutan Rp40 per tangkai. Itu belum menghitung biaya produksi. Jika bea ekspor dinaikkan 2.000% berarti dari Rp5 melambung hingga Rp200 per tangkai. Artinya, total biaya per tangkai Rp240 jauh lebih tinggi ketimbang harga jual. Belum lagi biaya penerbangan US$5 per kilo untuk tujuan Amerika Serikat.

Kalah saing


Karena tingginya biaya ekspor, komoditas pertanian kita kalah bersaing dengan Malaysia, misalnya. Jepang atau Singapura akhirnya memilih produk negeri jiran itu. Kebijakan meningkatkan bea ekspor terasa kontroversial. Di satu sisi pemerintah ingin meningkatkan ekspor komoditas pertanian. Namun, disadari atau tidak keputusan itu justru menghambat laju ekspor. Kenaikan tarif 2 kali lipat saja sangat memberatkan.

Harus diingat nilai ekspor komoditas pertanian Indonesia cukup besar, USS300-juta sampai US$500-juta per tahun. Jika 40% atau US$200-juta “retribusi” di Balai Karantina ditiadakan, devisa negara bakal lebih besar.

Dampak kebijakan itu menyebabkan satu per satu eksportir bakal gulung tikar. Saya prediksikan tahun depan tidak ada lagi ekspor komoditas perkebunan, perikanan, sayuran, buah, atau tanaman hias.

Angka pengangguran yang saat ini mencapai 40-juta jiwa akan meningkat. Memang kebijakan itu untuk menambah kas negara. Sayang tak selamanya pendapatan itu masuk ke brankas negara.

Saya pernah mengekspor daun potong dalam volume besar. Prosedur ekspor dilengkapi dan biaya administrasi saya penuhi. Ironisnya, ekspor itu tak tercatat di Badan Pusat Statistik yang biasanya mendapat laporan dari Balai Karantina di Bandara Soekarno-Hatta.

Penyelundupan


Eksportir menghadapi 2 tekanan. Dari dalam negeri berupa kenaikan bea ekspor Memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan importir juga bukan hal mudah untuk dipenuhi. Jika begitu halnya, peluang ekspor akan direbut negara kompetitor. Untuk daun potong, India dan Sri Lanka pesaing terberat.

Belum lama ini pemerintah juga menetapkan kebijakan yang sangat tidak populis: meningkatkan bahan bakar, tarif dasar listrik, dan telepon. Biaya produksi komoditas pertanian otomatis melambung. Belum lagi adanya kebijakan melampirkan dokumen CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Untuk mengurus dokumen di negara ini berbelit-belit dan butuh waktu.

Kebijakan itu menyuburkan praktek penyelundupan. Mereka tidak mau pusing mengurus berbagai dokumen sehingga lewat jalan pintas. Balai Karantina sebagai penjaga gawang sering kebobolan oleh ulah penyelundup. Negara jelas dirugikan.

Masukan Untuk Pemerintah


Yang dipersulit tidak cuma eksportir. Importir tak luput dari hadangan serupa. Pemeriksaan berulang-ulang atau kutipan tak resmi acap kali terjadi. Jika importir menolak, Balai Karantina biasanya menyodorkan sebuah opsi: membakar komoditas yang diimpor itu. Celakanya, biaya pemusnahan juga tinggi, USS800, melebihi biaya pembelian komoditas itu yang hanya USS300.

Kendala lain banyaknya importir datang langsung ke Indonesia. Mereka membeli tanaman hias seperti liriope atau kordilin di pinggir jalan yang kotor. Anehnya tanaman itu lolos di Balai Karantina. Mengapa? Karena importir membayar di bawah meja. Itu jelas merugikan negara dan eksportir.

Hal- hal seperti itu yang membuat florikultur kita kalah dari Cina. Pemerintah Cina mendukung kemajuan pertanian. Itu terbukti separuh anggaran belanja dialokasikan untuk pertanian. Bahkan di setiap eksportir ditempatkan 1 karantina. Organisasi florikulturnya pun solid sehingga nyaris tidak ada permainan harga antareksportir.

Bisnis tanaman hias tetap menjanjikan. Permintaannya terus mengalir. Apalagi menjelang Natal, tahun baru, mother days, thanksgiving, atau valentin permintaan melonjak. Ini sebuah peluang bisnis. Bisakah pemerintah adil. ***
Lebih baru Lebih lama