Pola Kemitraan: Pekebun Tanam, Perusahaan Beli

Dulu adas di pinggir kebun sayuran itu cuma tanaman liar. Kadang-kadang dipetik kalau ada tengkulak meminta. Kini Foeniculum sativum itu khusus dikebunkan karena harganya Rp8.000/kg. Pembelinya perusahaan tertentu yang menjadi mitra.

Sistem kemitraan dengan Sidomuncul yang membuat adas naik daun. Sejak 1998 perusahaan jamu itu merangkul pekebun untuk menyediakan bahan baku. Salah satunya Prasetyo, pekebun adas di Desa Banaran, Kecamatan Cepogo, Boyolali.

Teknik bermitra dengan petani juga dilakukan oleh para eksportir. Pekebun kapulaga di Desa Limbayan Kendal sejak bermitra dengan PT Indotraco Jaya Utama 3 tahun lalu, pemasaran hasil panen terjamin. “Selain menjamin pembelian, perusahaan berani membeli Rp4.000 sampai Rp5.000 per kg basah, atau Rp 1.000 sampai Rp2.000 di atas harga tengkulak,” papar Budiyanto, Ketua Kelompok Tani Kandang Maju, Limbangan.

Sularso, Ketua KTNA Jawa Tengah juga aktif membina pekebun tanaman obat di Desa Balepanjang, Kecamatan Jatipumo, Wonogiri setelah bermitra dengan perusahaan jamu. Sebelumnya Sularso menanam palawija dan tanaman perkebunan.

Setelah ada jaminan pasar ia mengembangkan berbagai jenis tanaman obat. Di antaranya kapulaga, temulawak, bangle, greges otot, katuk, daun ungu, dan jati belanda. Sekitar 160 anggota Kelompok Tani Ruas, binaannya, memasok keperluan Sidomuncul, Air Mancur, dan Nyonya Meneer.

Jamin pasokan


[caption id="attachment_6317" align="aligncenter" width="826"] Jahe merah, komoditas yang banyak dimitrakan[/caption]

Menurut Ir Bambang Supartoko dari Sidomuncul, pola kemitraan dengan petani dilakukan untuk mendapatkan kontinuitas pasokan dan menjamin kualitas bahan. “Bahan baku di pasaran banyak, tapi kualitas tidak sesuai standar,” urai Bambang.

Pola itu kini melibatkan ratusan petani. “Untuk sementara kami utamakan petani di kawasan Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU),” tegas Bambang. Di antaranya beberapa kecamatan di Boyolali, Kendal, Tawangmangu, Wonogiri, dan Kabupaten Semarang. Pemilihan lokasi SPAKU untuk memudahkan pembinaan.

Di Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel, Boyolali perusahaan Sidomuncul bekerjasama dengan Kelompok Tani Marsudi Margorahayu membudidayakan jahe merah. Menurut Ir. Agus Wiryatmo, ketua kelompok, luas lahan binaan sekitar 30 ha, dikelola oleh 50 anggota. “Kami mengembangkan secara organik sesuai keinginan perusahaan,” papar mantan Kepala Desa Kaligentong.

Di sentra kencur Kecamatan Nogosari, Boyolali, perusahaan milik Irwan Hidayat itu membina anggota Koperasi Tani Sido Makmur. Di Kendal dengan Koperasi Tani Tata Guyub merintis budidaya kunyit. Sedangkan di Desa Nongkosawit, Kecamatan Gunung Pati, Semarang, dirintis budidaya empon-empon seperti lengkuas, jahe, dan temulawak.

Pekebun mitra PT Sidomuncul kini mampu memasok 20% dari sekitar 650 ton kebutuhan bahan baku setiap bulan. Tak salah jika perusahaan yang memiliki pabrik terluas di Indonesia itu terus memperluas jaringan kemitraan dengan pekebun.

Menurut Bambang, jahe, kencur, temulawak, lengkuas, dan kunyit komoditas utama yang dikembangkan pekebun mitra. Komoditas itu dibutuhkan pabrik dalam jumlah besar. Kunyit misalnya, 5 ton basah per hari dan lengkuas 15 ton kering per bulan. Sehingga meskipun banyak dibudidayakan sulit diperoleh. Komoditas lain yang disarankan pengembangannya: purwoceng, kayu angin, greges otot, pulepandak, daun ungu, dan jati belanda.

Menguntungkan


[caption id="attachment_6318" align="aligncenter" width="869"] Bangle sulit dicari[/caption]

Perusahaan lain yang melakukan kemitraan ialah Indofarma. Jati belanda, katuk. daun ungu, dan tempuyung, bahan utama produk unggulan BUMN itu, jarang dibudidayakan. Karena itu, “Bila tak membina pekebun, siapa yang mau memasok?” kata Muhammad Yasin, pimpinan Indofarma. Perusahaan itu butuh jati belanda 8 sampai 12 ton/tahun. Untuk memenuhi, kebutuhan perusahaan membina pekebun di daerah Blora,Karanganyar, dan Wonogiri.

Menurut Yasin, pola kemitraan sangat menguntungkan perusahaan karena pasokan bahan baku bisa sesuai standar. “Dalam pola itu pekebun dibina dan diarahkan menghasilkan produk berkualitas,” papar Yasin. Untuk jati belanda misalnya, pekebun diminta menggunakan pupuk organik dan baru dipanen setelah daun berumur 3 bulan.

Dalam membangun kemitraan, Indofarma juga menggaet institusi terkait seperti BPTO Tawangmangu, IPB, dan Balittro Bogor. “Mereka membina dan mengkoordinasi petani, lalu hasilnya kami tampung,” tegas Yasin. Sebelum dipasok ke perusahaan, hasil panen ditampung koperasi untuk diseleksi. Dalam pola itu, petani diberi bantuan bibit dan modal kerja. Kepada koperasi diberi bantuan dana untuk menampung hasil panen.

Perusahaan lain seperti PT Martina Bertho, produsen kosmetika alami, juga melakukan kemitraan dengan alasan sama. “Menghadapi persaingan di pasar global tidak ada jalan lain selain bermitra,” papar Nuning S. Barwa, direktur Penelitian dan Pengembangan Kelompok Usaha Martha Tilaar di salah satu forum diskusi. Anak perusahaan Martha Tilaar Group kini membina pekebun tanaman obat di beberapa lokasi di Jawa Barat.

Di Jawa Timur, CV Dayang Sumbi, produsen obat tradisional membina pekebun di Pandaan, Jombang, dan Mojokerto pada lahan seluas 10 ha. “Kami memberikan bibit secara cuma-cuma untuk ditanam di lahan petani,” kata W. Isnandar, direktur Dayang Sumbi.

Namun, menjadi mitra perusahaan tak semudah yang dibayangkan. Yang diangkat menjadi mitra terbatas pada pekebun yang mempunyai lahan cocok untuk jenis tanaman obat tertentu. Selain itu perusahaan tidak membeli tunai. “Pabrik membayar 4 bulan ke belakang. Itu pun dicicil,” ungkap Chandra Hartono, ketua Apetoi Salatiga.
Lebih baru Lebih lama