Dua tahun lalu Suhandono merogoh kocek sampai Rp15-juta untuk memboyong 6 aglaonema dari Greg Hambali. Harga yang lumayan "wah " karena tinggi tanaman hanya 10 cm dan berdaun 3 helai seukuran koin. Toh, pengorbanan itu tak sia-sia. Kini, Rp30-juta dituai dari hasil penjualan anakan. Gemerincing rupiah bakal terus mengalir lantaran pemilik nurseri di Jakarta Selatan itu masih memiliki sejumlah anakan.
Membeli sang ratu daun saat ukuran masih kecil kerap dilakukan pemain aglaonema. Mereka mengincar keuntungan dari penjualan tanaman setelah dewasa. Maklum nilai jual aglaonema kian menjulang bila jumlah daun semakin banyak. Apalagi bila beranak-pinak membentuk kelompok bertajuk kompak dan rimbun.
Padahal membeli anakan "seumur bayi" seperti itu ibarat berjudi. Ia punya potensi jadi barang eksklusif. Atau sebaliknya, tanaman ecek-ecek. Bila kasus pertama yang terjadi, kantong sang pemilik bakal menggelembung. Kalau yang didapat tanaman tak berkualitas, melayanglah uang jutaan rupiah.
Toh, nama Greg Hambali sebagai penyilang kawakan menjadi jaminan. Tak heran, selain Suhandono, pemain aglaonema lain seperti josef Ishak di Bogor, Alun di Jakarta Barat, dan Tati Soeroyo di Jakarta Selatan ikut memboyong.

Mengharap keberuntungan dari sri rezeki. Itu pula asa yang digantungkan Guna wan Wijaya waktu mendatangkan 4 aglaonema bersosok rimbun dari Thailand awal Agustus. Penampilan para pendatang baru itu istimewa: tajuk rimbun dan daun sehat dengan warna menarik. Lom phetch berwarna pink, Bangkok Red nan merah menyala, dan batik dengan kombinasi warna pink tua dan hijau. Sepot lagi, Green fire yang bermotif seperti semburan api di tengah-tengah daun.
Tiga aglaonema terakhir didapat dengan merogoh kantong US$3.700 setara Rp35-juta. Lom phetch, USS 1.500 atau Rp13-juta. "Saya mengharap bisa mendapat untung dari menjual anakannya," tutur Gunawan. Artinya, aglaonema-aglaonema itu bakal diperbanyak dulu di nuserinya di kawasan Sentul, Bogor. Setelah beranak-pinak, baru anakan dijual.
"Kalau masih induk dengan anak-cucu seperti ini masih terlalu mahal," lanjut pemilik Wijaya Orchid itu. Ia menghitung anakan bakal laris manis dengan harga jual pada kisaran Rp3-juta. Itu artinya, ia mesti bersabar sampai 2 tahun ke depan untuk menuai laba. Untung dituai setidaknya setelah menjual 10 anakan.
Leman MBA, Hobiis di Jakarta Utara, tak perlu menunggu lama menangguk rupiah. Puluhan aglaonema yang diboyong dari negeri Siam pada penghujung Juli, dalam hitungan minggu ludes diserbu peminat. Yang dijual hanya anakan, sementara induk dipertahankan. Padahal nilai 1 tanaman mencapai jutaan rupiah. Toh, Hobiis tak peduli. Maklum yang dibawa memang jenis-jenis relatif baru hasil silangan penangkar Thailand. "Yang namanya Hobiis pasti selalu ingin menambah koleksi baru," kata pengusaha informasi teknologi di bidang software Design itu.
Oktober mendatang ia berencana bertandang kembali ke negeri Gajah Putih itu. Kali ini untuk memenuhi permintaan Hobiis yang belum mendapat jatah dari hasil boyongan pada Juli. Banjir permintaan dari penggemar daun indah itu pun dialami Greg Hambali. "Dua bulan belakangan ini makin banyak yang cari aglaonema," tutur Indri Greg Hambali, sang istri kala ditemui di kediaman pada awal Agustus.
Saat itu ada belasan aglaonema yang dijajakan dengan harga Rp2 juta Rp 10 juta per tanaman. Beberapa waktu lalu aglo sebutan beken aglaonema dijual per paket, misal 6 tanaman senilai Rp 15 juta seperti yang dibeli Suhandono. Ada juga yang mencapai Rp70 juta, terdiri dari 20 tanaman dewasa. Ratusan juta dipastikan berpindah ke tangan pakar botani itu saat aglaonema ludes diserbu pembeli.
Gemerincing rupiah tak hanya diperoleh mereka yang "bermain" dengan aglaonema mahal. Sri rezeki klasik seperti pride of Sumatera dan dona carmen pun tetap dicari. Belakangan permintaan untuk kedua silangan Greg Hambali itu melonjak tajam. Laba pun dituai para pemilik nurseri.
Sebut saja Ansori, pemilik Zikita Nurseri di Pondok labu, Jakarta Selatan. Pada awal ia memboyong 4.000 helai pride of Sumatera dari dr. Purbo Djojokusumo, penggemar di Jakarta Barat. Satu helai dihargai Rp6.000. Oleh Ansori anggota famili Araceae itu lantas didrop kepada para pedagang kaki lima di Kebonjeruk, Jakarta Barat, dan Karang Tengah, Jakarta Selatan.
Ternyata laris-manis. "Punya pride of Sumatera kurang dari 5 daun seperti punya emas. Penjualan lancar," seloroh Ansori. Dengan harga jual per lembar Rp12.500- Rp 15.000, keuntungan berlipat-lipat dituai pria asal Bogor itu. Demi memenuhi kebutuhan pelanggan, Ansori pun memasukkan pride of Sumatera dari Thailand. Ia juga bermitra dengan pekebun di Ciledug, Tangerang.
Perniagaan ratu daun hias itu memang tengah hangat hangatnya. "Sekarang harga aglaonema sudah cukup reasonable untuk sebagian besar Hobiis," kata Gunawan. Saat pride of Sumatera pertama kali muncul sekitar 15 tahun silam, harganya mencapai Rp300.000 per lembar. Sebelum kembali melonjak, kisaran harga di bawah Rp 10.000 per lembar.
Maraknya aglaonema pun terekam di ajang Pameran Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hampir semua stan nurseri tanaman hias daun memajang tanaman yang pertama kali dibudidayakan penduduk Tiongkok itu.

Lantaran harga kian terjangkau, pemanfaatannya meluas. Pride of Sumatera dan dona carmen kini banyak dipakai sebagai border di taman taman pribadi. Semula yang dipakai jenis biasa berdaun hijau. Dengan kehadiran aglaonema klasik bernuansa merah taman terlihat "mahal". Dari bisnis lanskap itulah setiap minggu Wijaya Orchid menangguk untung Rp 1 juta.
Itu hasil penjualan pride of Sumatera terdiri atas 4-5 daun. "Kalau mengikuti kemauan pasar, mestinya omzet bisa mencapai Rp4 juta per minggu," kata Gunawan. Sayang, meski di kebun pride of Sumatera diperbanyak massal, tetap saja stok tanaman kalah jauh ketimbang permintaan.
Ruang ruang publik, seperti perkantoran, hotel, dan rumah makan pun melirik si pembawa rezeki sebagai penghias ruang. Maka laris manislah usaha rental. Sebut saja Yenny Widjaya, Hobiis di Purwokerto. Selain getol mengoleksi jenis-jenis bagus, ia menyewakan aglaonema aglaonema lama yang sudah beranak -pinak.
Setiap 10 hari Yenny mengganti tanaman dari setiap pelanggan. Harga sewa Rp20.000 per bulan per tanaman. Dengan ratusan pot yang disewakan, keuntungan diperoleh cukup memadai. "Dalam hitungan bulan sudah balik modal," kata karyawati sebuah perusahaan swasta asing itu. Itu juga yang dilakukan H Royani di Rawabelong, Jakarta Selatan.
Kehadiran jenis-jenis baru dipercaya mendongkrak popularitas aglaonema tipe lama. Pemuatan artikel di media massa turut andil. "Orang kan lihat di majalah, lalu ingin memiliki. Yang berkecukupan bisa beli yang mahal. Kalau Hobiis pemula, ya cari yang murah-murah," ujar Gunawan.
Oleh karena itu, munculnya aglaonema baru sebuah keharusan. Ketika di tanah air hanya Greg Hambali yang menjadi sumber sri rezeki anyar, maka mau tak mau para Hobiis pun melirik Thailand. Negeri Ratu Sirikit itu kini salah satu "raksasa" penghasil aglaonema berkualitas. Memang Amerika Serikat pun serius mengembangkan. "Hanya saja aglaonema di sana umumnya berwarna hijau dan silver. Lain dengan selera kita," kata Leman.
Hasil lacakan Kami menunjukkan ,siamese rainbow sebutan aglaonema dari Thailand sejak 2 tahun terakhir membanjiri tanah air. Sebut saja fancy Rose bercorak hijau dan pink-di sini dikenal dengan sebutan Ruby, lipstik, dan topwhite aglaonema berdaun putih di pucuk. Belakangan masuk jenis-jenis baru yang masih eksklusif, seperti manee maha cok yang dikoleksi Leman.
Aglaonema yang namanya berarti keberuntungan yang banyak itu tampil atraktif dengan warna merah menyala. Jenis lain dud unyamanee berwarna kombinasi merah dan hijau. Keduanya silangan Pramote Rojruangsong penangkar kawakan di Thailand.
Empat aglaonema teranyar di kebun Gunawan didapat dari Pairoj Tianchai. Sementara sri rezeki berdaun lebar seperti hati dengan corak putih totol hijau yang dikoleksi Chandra Gunawan di Sawangan, Depok, semula ada di tangan Thanachai Charusom, kolektor di Bangkok. Di luar mereka masih ada Nyonya Jali, Yayan, dan Joseph Ishak yang getol berburu ke Thailand. Pada ajang Flora Agustus silam 50% peserta kontes ratu daun itu didominasi pendatang asal negeri Siam.

Bukan tanpa alasan Thailand jadi sasaran perburuan. Di sana hampir setiap bulan muncul jenis-jenis baru. Maklum jumlah penangkar, nurseri pembesar, dan Hobiis berlipat dari yang ada di Indonesia. Saat ini mencapai 65 orang. Semua berlomba-lomba menghasilkan jenis terbaik agar tak kalah bersaing. Waktu Kami berkunjung ke sana penghujung Juli, 7 nurseri yang dikunjungi masing-masing punya andalan.
Padahal baru 5-10 tahun terakhir Thailand getol menggeluti aglaonema. Mereka sempat memperkenalkan sitipom.
Toh, silangan Sitipom Donavanik pada 1970-an itu kalah populer oleh pride of Sumatera. Sitiporn berwarna hijau, pride of Sumatera perpaduan merah dan hijau. Malah gara-gara pride of Sumatera, penangkar di Thailand terpecut menghasilkan jenis-jenis merah. Misal tampilnya balangtong
alias King of siam pada 1990-an. Sekian tahun berselang, aglaonema-aglaonema bernuansa merah asal negeri kerajaan itu justru mendominasi. Periode 2000-2002 merupakan masa-masa keemasan aglaonema di sana. Efek "ledakan" itu dirasakan pula hingga ke Indonesia.
"Sudah menjadi budaya kerja orang Thailand untuk menghasilkan yang terbaik," tutur Surawit Wannakrairoj, Ph.D., ketua Ornamental Plant Variety Developed Klub yang menaungi para pemain aglaonema di Thailand. Nilai hidup positif itu ditunjang dengan teknologi. Klub aglaonema membimbing anggotanya dalam hal teknologi, baik perbanyakan maupun budidaya. Belakangan aglaonema berhasil diperbanyak dengan kultur jaringan.
Selain itu, para penggemar di sana kerap menyelenggarakan kontes. Setidaknya ada 3 kontes besar yang diadakan oleh klub. Itu belum termasuk lomba dan pameran dalam perayaan hari-hari penting, seperti memperingati ulang tahun raja. Setiap kontes terdiri atas 18-20 kelas yang melombakan aglaonema single, grouping, dan jenis baru. "Dengan banyak kelas, kesempatan menang bagi para Hobiis dan penangkar semakin banyak. Itu membuat mereka semangat mengikutkan koleksi terbaik," lanjut Surawit.
Serbuan aglaonema Thailand tak lantas menyurutkan pamor sri rezeki lokal. Hasil karya penyilang tanah air tetap diperhitungkan. Buktinya pada lomba di Flora , juara pertama kategori aglaonema direbut hasil silangan Greg Hambali. "Kita tidak kalah dengan Thailand," tekad Greg. Demi mencapai cita-cita itu, ia getol mengumpulkan indukan. Kami melihat puluhan rumah plastik mini berisi anakan hasil perkawinan induk-induk. Dari sana Greg berharap mendapat pola-pola baru yang nantinya diisi dengan corak merah.
"Kalau ingin menyaingi Thailand kita memang harus mencari terobosan baru," Purbo Djojokusumo yang belakangan mulai mencoba menyilangkan. Kalau negeri Siam menguasai jenis-jenis bernuansa merah, maka penangkar lokal mesti memunculkan aglaonema bercorak baru. Misal berwarna kuning, oranye, atau merah berpadu silver. Setelah era pride of Sumatera, nantikanlah datangnya andalan-andalan anyar dari penangkar lokal.
Membeli sang ratu daun saat ukuran masih kecil kerap dilakukan pemain aglaonema. Mereka mengincar keuntungan dari penjualan tanaman setelah dewasa. Maklum nilai jual aglaonema kian menjulang bila jumlah daun semakin banyak. Apalagi bila beranak-pinak membentuk kelompok bertajuk kompak dan rimbun.
Padahal membeli anakan "seumur bayi" seperti itu ibarat berjudi. Ia punya potensi jadi barang eksklusif. Atau sebaliknya, tanaman ecek-ecek. Bila kasus pertama yang terjadi, kantong sang pemilik bakal menggelembung. Kalau yang didapat tanaman tak berkualitas, melayanglah uang jutaan rupiah.
Toh, nama Greg Hambali sebagai penyilang kawakan menjadi jaminan. Tak heran, selain Suhandono, pemain aglaonema lain seperti josef Ishak di Bogor, Alun di Jakarta Barat, dan Tati Soeroyo di Jakarta Selatan ikut memboyong.
Laris manis

Mengharap keberuntungan dari sri rezeki. Itu pula asa yang digantungkan Guna wan Wijaya waktu mendatangkan 4 aglaonema bersosok rimbun dari Thailand awal Agustus. Penampilan para pendatang baru itu istimewa: tajuk rimbun dan daun sehat dengan warna menarik. Lom phetch berwarna pink, Bangkok Red nan merah menyala, dan batik dengan kombinasi warna pink tua dan hijau. Sepot lagi, Green fire yang bermotif seperti semburan api di tengah-tengah daun.
Tiga aglaonema terakhir didapat dengan merogoh kantong US$3.700 setara Rp35-juta. Lom phetch, USS 1.500 atau Rp13-juta. "Saya mengharap bisa mendapat untung dari menjual anakannya," tutur Gunawan. Artinya, aglaonema-aglaonema itu bakal diperbanyak dulu di nuserinya di kawasan Sentul, Bogor. Setelah beranak-pinak, baru anakan dijual.
"Kalau masih induk dengan anak-cucu seperti ini masih terlalu mahal," lanjut pemilik Wijaya Orchid itu. Ia menghitung anakan bakal laris manis dengan harga jual pada kisaran Rp3-juta. Itu artinya, ia mesti bersabar sampai 2 tahun ke depan untuk menuai laba. Untung dituai setidaknya setelah menjual 10 anakan.
Leman MBA, Hobiis di Jakarta Utara, tak perlu menunggu lama menangguk rupiah. Puluhan aglaonema yang diboyong dari negeri Siam pada penghujung Juli, dalam hitungan minggu ludes diserbu peminat. Yang dijual hanya anakan, sementara induk dipertahankan. Padahal nilai 1 tanaman mencapai jutaan rupiah. Toh, Hobiis tak peduli. Maklum yang dibawa memang jenis-jenis relatif baru hasil silangan penangkar Thailand. "Yang namanya Hobiis pasti selalu ingin menambah koleksi baru," kata pengusaha informasi teknologi di bidang software Design itu.
Oktober mendatang ia berencana bertandang kembali ke negeri Gajah Putih itu. Kali ini untuk memenuhi permintaan Hobiis yang belum mendapat jatah dari hasil boyongan pada Juli. Banjir permintaan dari penggemar daun indah itu pun dialami Greg Hambali. "Dua bulan belakangan ini makin banyak yang cari aglaonema," tutur Indri Greg Hambali, sang istri kala ditemui di kediaman pada awal Agustus.
Saat itu ada belasan aglaonema yang dijajakan dengan harga Rp2 juta Rp 10 juta per tanaman. Beberapa waktu lalu aglo sebutan beken aglaonema dijual per paket, misal 6 tanaman senilai Rp 15 juta seperti yang dibeli Suhandono. Ada juga yang mencapai Rp70 juta, terdiri dari 20 tanaman dewasa. Ratusan juta dipastikan berpindah ke tangan pakar botani itu saat aglaonema ludes diserbu pembeli.
Seperti emas
Gemerincing rupiah tak hanya diperoleh mereka yang "bermain" dengan aglaonema mahal. Sri rezeki klasik seperti pride of Sumatera dan dona carmen pun tetap dicari. Belakangan permintaan untuk kedua silangan Greg Hambali itu melonjak tajam. Laba pun dituai para pemilik nurseri.
Sebut saja Ansori, pemilik Zikita Nurseri di Pondok labu, Jakarta Selatan. Pada awal ia memboyong 4.000 helai pride of Sumatera dari dr. Purbo Djojokusumo, penggemar di Jakarta Barat. Satu helai dihargai Rp6.000. Oleh Ansori anggota famili Araceae itu lantas didrop kepada para pedagang kaki lima di Kebonjeruk, Jakarta Barat, dan Karang Tengah, Jakarta Selatan.
Ternyata laris-manis. "Punya pride of Sumatera kurang dari 5 daun seperti punya emas. Penjualan lancar," seloroh Ansori. Dengan harga jual per lembar Rp12.500- Rp 15.000, keuntungan berlipat-lipat dituai pria asal Bogor itu. Demi memenuhi kebutuhan pelanggan, Ansori pun memasukkan pride of Sumatera dari Thailand. Ia juga bermitra dengan pekebun di Ciledug, Tangerang.
Perniagaan ratu daun hias itu memang tengah hangat hangatnya. "Sekarang harga aglaonema sudah cukup reasonable untuk sebagian besar Hobiis," kata Gunawan. Saat pride of Sumatera pertama kali muncul sekitar 15 tahun silam, harganya mencapai Rp300.000 per lembar. Sebelum kembali melonjak, kisaran harga di bawah Rp 10.000 per lembar.
Maraknya aglaonema pun terekam di ajang Pameran Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hampir semua stan nurseri tanaman hias daun memajang tanaman yang pertama kali dibudidayakan penduduk Tiongkok itu.
Multi Manfaat

Lantaran harga kian terjangkau, pemanfaatannya meluas. Pride of Sumatera dan dona carmen kini banyak dipakai sebagai border di taman taman pribadi. Semula yang dipakai jenis biasa berdaun hijau. Dengan kehadiran aglaonema klasik bernuansa merah taman terlihat "mahal". Dari bisnis lanskap itulah setiap minggu Wijaya Orchid menangguk untung Rp 1 juta.
Itu hasil penjualan pride of Sumatera terdiri atas 4-5 daun. "Kalau mengikuti kemauan pasar, mestinya omzet bisa mencapai Rp4 juta per minggu," kata Gunawan. Sayang, meski di kebun pride of Sumatera diperbanyak massal, tetap saja stok tanaman kalah jauh ketimbang permintaan.
Ruang ruang publik, seperti perkantoran, hotel, dan rumah makan pun melirik si pembawa rezeki sebagai penghias ruang. Maka laris manislah usaha rental. Sebut saja Yenny Widjaya, Hobiis di Purwokerto. Selain getol mengoleksi jenis-jenis bagus, ia menyewakan aglaonema aglaonema lama yang sudah beranak -pinak.
Setiap 10 hari Yenny mengganti tanaman dari setiap pelanggan. Harga sewa Rp20.000 per bulan per tanaman. Dengan ratusan pot yang disewakan, keuntungan diperoleh cukup memadai. "Dalam hitungan bulan sudah balik modal," kata karyawati sebuah perusahaan swasta asing itu. Itu juga yang dilakukan H Royani di Rawabelong, Jakarta Selatan.
Dari Thailand
Kehadiran jenis-jenis baru dipercaya mendongkrak popularitas aglaonema tipe lama. Pemuatan artikel di media massa turut andil. "Orang kan lihat di majalah, lalu ingin memiliki. Yang berkecukupan bisa beli yang mahal. Kalau Hobiis pemula, ya cari yang murah-murah," ujar Gunawan.
Oleh karena itu, munculnya aglaonema baru sebuah keharusan. Ketika di tanah air hanya Greg Hambali yang menjadi sumber sri rezeki anyar, maka mau tak mau para Hobiis pun melirik Thailand. Negeri Ratu Sirikit itu kini salah satu "raksasa" penghasil aglaonema berkualitas. Memang Amerika Serikat pun serius mengembangkan. "Hanya saja aglaonema di sana umumnya berwarna hijau dan silver. Lain dengan selera kita," kata Leman.
Hasil lacakan Kami menunjukkan ,siamese rainbow sebutan aglaonema dari Thailand sejak 2 tahun terakhir membanjiri tanah air. Sebut saja fancy Rose bercorak hijau dan pink-di sini dikenal dengan sebutan Ruby, lipstik, dan topwhite aglaonema berdaun putih di pucuk. Belakangan masuk jenis-jenis baru yang masih eksklusif, seperti manee maha cok yang dikoleksi Leman.
Aglaonema yang namanya berarti keberuntungan yang banyak itu tampil atraktif dengan warna merah menyala. Jenis lain dud unyamanee berwarna kombinasi merah dan hijau. Keduanya silangan Pramote Rojruangsong penangkar kawakan di Thailand.
Empat aglaonema teranyar di kebun Gunawan didapat dari Pairoj Tianchai. Sementara sri rezeki berdaun lebar seperti hati dengan corak putih totol hijau yang dikoleksi Chandra Gunawan di Sawangan, Depok, semula ada di tangan Thanachai Charusom, kolektor di Bangkok. Di luar mereka masih ada Nyonya Jali, Yayan, dan Joseph Ishak yang getol berburu ke Thailand. Pada ajang Flora Agustus silam 50% peserta kontes ratu daun itu didominasi pendatang asal negeri Siam.
Tanaman Hias Andalan

Bukan tanpa alasan Thailand jadi sasaran perburuan. Di sana hampir setiap bulan muncul jenis-jenis baru. Maklum jumlah penangkar, nurseri pembesar, dan Hobiis berlipat dari yang ada di Indonesia. Saat ini mencapai 65 orang. Semua berlomba-lomba menghasilkan jenis terbaik agar tak kalah bersaing. Waktu Kami berkunjung ke sana penghujung Juli, 7 nurseri yang dikunjungi masing-masing punya andalan.
Padahal baru 5-10 tahun terakhir Thailand getol menggeluti aglaonema. Mereka sempat memperkenalkan sitipom.
Toh, silangan Sitipom Donavanik pada 1970-an itu kalah populer oleh pride of Sumatera. Sitiporn berwarna hijau, pride of Sumatera perpaduan merah dan hijau. Malah gara-gara pride of Sumatera, penangkar di Thailand terpecut menghasilkan jenis-jenis merah. Misal tampilnya balangtong
alias King of siam pada 1990-an. Sekian tahun berselang, aglaonema-aglaonema bernuansa merah asal negeri kerajaan itu justru mendominasi. Periode 2000-2002 merupakan masa-masa keemasan aglaonema di sana. Efek "ledakan" itu dirasakan pula hingga ke Indonesia.
"Sudah menjadi budaya kerja orang Thailand untuk menghasilkan yang terbaik," tutur Surawit Wannakrairoj, Ph.D., ketua Ornamental Plant Variety Developed Klub yang menaungi para pemain aglaonema di Thailand. Nilai hidup positif itu ditunjang dengan teknologi. Klub aglaonema membimbing anggotanya dalam hal teknologi, baik perbanyakan maupun budidaya. Belakangan aglaonema berhasil diperbanyak dengan kultur jaringan.
Selain itu, para penggemar di sana kerap menyelenggarakan kontes. Setidaknya ada 3 kontes besar yang diadakan oleh klub. Itu belum termasuk lomba dan pameran dalam perayaan hari-hari penting, seperti memperingati ulang tahun raja. Setiap kontes terdiri atas 18-20 kelas yang melombakan aglaonema single, grouping, dan jenis baru. "Dengan banyak kelas, kesempatan menang bagi para Hobiis dan penangkar semakin banyak. Itu membuat mereka semangat mengikutkan koleksi terbaik," lanjut Surawit.
Corak baru
Serbuan aglaonema Thailand tak lantas menyurutkan pamor sri rezeki lokal. Hasil karya penyilang tanah air tetap diperhitungkan. Buktinya pada lomba di Flora , juara pertama kategori aglaonema direbut hasil silangan Greg Hambali. "Kita tidak kalah dengan Thailand," tekad Greg. Demi mencapai cita-cita itu, ia getol mengumpulkan indukan. Kami melihat puluhan rumah plastik mini berisi anakan hasil perkawinan induk-induk. Dari sana Greg berharap mendapat pola-pola baru yang nantinya diisi dengan corak merah.
"Kalau ingin menyaingi Thailand kita memang harus mencari terobosan baru," Purbo Djojokusumo yang belakangan mulai mencoba menyilangkan. Kalau negeri Siam menguasai jenis-jenis bernuansa merah, maka penangkar lokal mesti memunculkan aglaonema bercorak baru. Misal berwarna kuning, oranye, atau merah berpadu silver. Setelah era pride of Sumatera, nantikanlah datangnya andalan-andalan anyar dari penangkar lokal.