Pikiran Arief Darmono 2 hari usai wisuda terlempar ke masa 1,5 tahun silam, la ingat ketika itu seorang pekebun di Sukabumi, Jawa Barat, berpesan, "Kalau sudah lulus datanglah ke sini. "Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada itu menuruti kata hatinya: berangkat ke Sukabumi. Kini di kesenyapan kaki Gunung Pangrango, Arief menuai 20 ton tomat per hari dari lahan 20 ha. Dengan harga jual Rp700 per kg saja ia meraup untung Rp2-juta sehari.
Dari luas lahan itu Arief mengalokasikan 12 ha untuk tomat. Selebihnya dimanfaatkan untuk budidaya beragam sayuran. Khusus tomat ia memetik 15 sampai 20 ton per hari. Ketika harga jual Rp700 per kg saja ia meraup laba Rp2-juta per hari atau Rp60-juta per bulan. Padahal harga tomat di tingkat pekebun kerap bertengger pada kisaran Rp3.000 sampai Rp5.000 per kg. Artinya, pundi-pundinya kian menggelembung.
Buah anggota famili Solanaceae itu dijual ke Pasar Induk Kramatjati, Tanahtinggi, Tanahabang, Jembatan lima semua di Jakarta, dan pasar induk di wilayah Bogor. Saban hari kala senja menjelang 5 buah truk berkapasitas 6 sampai 7 ton hilir-mudik di kebunnya di Undrusbinangun, Selabintana lokasi kebun Arief. Truk-truk itulah yang membawa hasil panen ke Jakarta.
[caption id="attachment_16857" align="aligncenter" width="757"]
Tomat segar siap jual[/caption]
Tak melulu pasar tradisional yang diincarnya. Sekitar 25% produksinya menembus pasar swalayan. "Ada pemasok pasar swalayan yang rutin menampung 250 ton per tahun untuk disebarkan ke beberapa pasar swalayan," ujar Arief. Untuk pangsa pasar swalayan, harga minimal Rp2.000/kg. Pasar Batam pun ditembusnya dengan pasokan 18 ton/ bulan. "Memang tidak rutin, biasanya bila produksi mereka rendah," kata suami Rini Rustiani itu. Itu tidak dikirim sendiri, melainkan ada pemasok yang rutin mengambil.
Keberhasilan Arief bukan datang tiba-tiba. Ini memang bagai kisah nonfiksi. Namun, itulah yang dialami Arief Darmono 10 tahun lampau. Di Sukabumi ia segera menemui pria paruh baya yang pernah menawarkan untuk membuka lahan. Mereka saling bertemu ketika Arief mengikuti kegiatan di Selabintana, Sukabumi. Kemudian Arief mengelola lahan seluas 5 ha dengan ditanami cabai.
Berkat pengalamannya turun lapang semasa kuliah, ia tak canggung lagi mengelola kebun. "Saya bertekad Sarjana Pertanian tidak dipandang sebelah mata," ujar ayah M. Revin Arga itu mantap. Sukses pada periode pertama, membuat pemilik lahan mempercayakan tanah 16,5 ha untuk dikelola Arief.
Dua tahun makan garam dalam pengelolaan kebun dirasakan cukup. Ia memutuskan untuk membuka lahan sendiri seluas 3 ha pada 1995. Awalnya ia menanam cabai. Namun, kemudian tomat dipilih karena menurut perhitungannya budidaya lebih mudah, produktivitas lebih tinggi, dan biaya produksi lebih rendah.
Laba dari penanaman sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk memperluas lahan. Pada 1997 sampai 1998 lahan bertambah menjadi 10 ha. Kini areal penanaman berkembang menjadi 20 ha yang tersebar di 8 lokasi di Undrusbinangun, Sukabumi.
Modal awal ia dapatkan dari pinjaman sebuah bank. Setidaknya dibutuhkan Rp 11-juta sampai Rp 12-juta per ha kala itu. Populasi rata-rata 18.000 tanaman per ha. Arief mampu memproduksi 4 kg per tanaman. Padahal pekebun lain rata-rata hanya 2 kg per tanaman. Meski produktivitas tinggi, tetapi biaya produksi relatif rendah.
Menurut perhitungan Arief saat ini biaya untuk setiap tanaman hanya Rp2.000. Wajar jika dengan harga Rp700 per kg pun, Arief masih menangguk laba. Pekebun lain, dengan harga jual sama hanya mampu menutup biaya produksi. Efisiensi memang diterapkan Arief. Biaya penggunaan pupuk kimia dapat ditekan dengan diganti pupuk organik yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Bagi Arief keyakinan, kerja keras, dan hubungan baik dengan orang lain adalah kunci suksesnya. Selain itu kejelian melihat pasar juga perlu. Seperti pemilihan jenis tomat. Varietas berbentuk lonjong kini dipilih Arief karena lebih diminati konsumen. Untuk itu varietas lonjong seperti arthaloka dan new samina kerap ditanam Kebun Agro Restu Inti Farm itu melibatkan 150 sampai 200 karyawan.
Bila panen raya kebutuhan tenaga kerja melonjak menjadi 400 sampai 500 orang. Mereka membantu Arief sejak mengolah tanah hingga mengemas hasil panen. Arief menerapkan suasana kekeluargaan dalam mengelola kebunnya.
[caption id="attachment_16856" align="aligncenter" width="799"]
Arief bergeming di usaha tomat[/caption]
Pria kelahiran Yogyakarta 36 silam tak selamanya menuai untung. Ketika krisis ekonomi . melanda Indonesia pada 1997 sampai 1998, terpaan badai juga menghantam kebun tomatnya. Harga sarana produksi pertanian melangit. Pestisida dan pupuk kimia naik 2 kali lipat, sedangkan harga jual tetap. Oleh karena itu ia berhenti berproduksi. Kerugian mencapai miliaran rupiah. "Bila saya menjual seluruh aset tidak mampu menutupi kerugian," ujar pehobi sepakbola itu.
Menjelang Idul Fitri 2003 harga kerabat kentang itu anjlok mencapai Rp200/kg. Penanaman seluas 10 ha dengan produksi 55 sampai 70 ton per ha hanya bisa menutup biaya panen dan pemetikan. Saat itu terpaksa tanaman tomat seluas 3 ha dibabat habis, padahal baru panen perdana.
Gempuran Phytophthora infestans juga pernah menerpa pada 2002. Produksi per tanaman tidak mencapai 1 kg.
Toh, beberapa kendala yang dihadapi tidak menyurutkan semangat ayah 2 putra itu. Kecintaannya bertani sudah mendarah daging. Bahkan menanam tomat seakan sudah menjadi kewajiban dalam hidupnya. "Untuk itu apa pun yang akan dihadapi kita mesti siap," katanya.
Tak hanya produksi tinggi yang dikejar, kualitas produk juga tetap dijaga. Ia menerapkan pertanian organik meski belum secara keseluruhan. Untuk pestisida pria 36 tahun itu memanfaatkan formulasi yang mengandung spora trichoderma dan glyricidium.
Setelah penggunaan ramuan kedua jasad renik itu, pemakaian pupuk kimia berkurang 10 kali lipat. Sayangnya keinginan untuk menerapkan sistem organik secara total menghadapi batu sandungan. Penyebabnya keterbatasan bahan baku, seperti pestisida hanya cukup untuk sebagian lahan saja.
"Kita menyambut anjuran pemerintah untuk berorganik, tetapi di lapangan menghadapi banyak kendala," ujar anak ke 3 dari 7 bersaudara itu. Setelah menerapkan sistem organik produksi meningkat. Tanaman tomat juga lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
Bersama sayuran buah itulah Arief bertahan selama 10 tahun di desa terpencil. Ia tak sekadar meraup keuntungan tetapi juga menjaga lingkungan agar bisa lebih lama berdiam di kesenyapan kaki Gunung Pangrango dan menanam tomat. (Pandu Dwilaksono)
Dari luas lahan itu Arief mengalokasikan 12 ha untuk tomat. Selebihnya dimanfaatkan untuk budidaya beragam sayuran. Khusus tomat ia memetik 15 sampai 20 ton per hari. Ketika harga jual Rp700 per kg saja ia meraup laba Rp2-juta per hari atau Rp60-juta per bulan. Padahal harga tomat di tingkat pekebun kerap bertengger pada kisaran Rp3.000 sampai Rp5.000 per kg. Artinya, pundi-pundinya kian menggelembung.
Buah anggota famili Solanaceae itu dijual ke Pasar Induk Kramatjati, Tanahtinggi, Tanahabang, Jembatan lima semua di Jakarta, dan pasar induk di wilayah Bogor. Saban hari kala senja menjelang 5 buah truk berkapasitas 6 sampai 7 ton hilir-mudik di kebunnya di Undrusbinangun, Selabintana lokasi kebun Arief. Truk-truk itulah yang membawa hasil panen ke Jakarta.
[caption id="attachment_16857" align="aligncenter" width="757"]

Tak melulu pasar tradisional yang diincarnya. Sekitar 25% produksinya menembus pasar swalayan. "Ada pemasok pasar swalayan yang rutin menampung 250 ton per tahun untuk disebarkan ke beberapa pasar swalayan," ujar Arief. Untuk pangsa pasar swalayan, harga minimal Rp2.000/kg. Pasar Batam pun ditembusnya dengan pasokan 18 ton/ bulan. "Memang tidak rutin, biasanya bila produksi mereka rendah," kata suami Rini Rustiani itu. Itu tidak dikirim sendiri, melainkan ada pemasok yang rutin mengambil.
Jalan panjang nan berliku
Keberhasilan Arief bukan datang tiba-tiba. Ini memang bagai kisah nonfiksi. Namun, itulah yang dialami Arief Darmono 10 tahun lampau. Di Sukabumi ia segera menemui pria paruh baya yang pernah menawarkan untuk membuka lahan. Mereka saling bertemu ketika Arief mengikuti kegiatan di Selabintana, Sukabumi. Kemudian Arief mengelola lahan seluas 5 ha dengan ditanami cabai.
Berkat pengalamannya turun lapang semasa kuliah, ia tak canggung lagi mengelola kebun. "Saya bertekad Sarjana Pertanian tidak dipandang sebelah mata," ujar ayah M. Revin Arga itu mantap. Sukses pada periode pertama, membuat pemilik lahan mempercayakan tanah 16,5 ha untuk dikelola Arief.
Dua tahun makan garam dalam pengelolaan kebun dirasakan cukup. Ia memutuskan untuk membuka lahan sendiri seluas 3 ha pada 1995. Awalnya ia menanam cabai. Namun, kemudian tomat dipilih karena menurut perhitungannya budidaya lebih mudah, produktivitas lebih tinggi, dan biaya produksi lebih rendah.
Laba dari penanaman sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk memperluas lahan. Pada 1997 sampai 1998 lahan bertambah menjadi 10 ha. Kini areal penanaman berkembang menjadi 20 ha yang tersebar di 8 lokasi di Undrusbinangun, Sukabumi.
Modal awal ia dapatkan dari pinjaman sebuah bank. Setidaknya dibutuhkan Rp 11-juta sampai Rp 12-juta per ha kala itu. Populasi rata-rata 18.000 tanaman per ha. Arief mampu memproduksi 4 kg per tanaman. Padahal pekebun lain rata-rata hanya 2 kg per tanaman. Meski produktivitas tinggi, tetapi biaya produksi relatif rendah.
Menurut perhitungan Arief saat ini biaya untuk setiap tanaman hanya Rp2.000. Wajar jika dengan harga Rp700 per kg pun, Arief masih menangguk laba. Pekebun lain, dengan harga jual sama hanya mampu menutup biaya produksi. Efisiensi memang diterapkan Arief. Biaya penggunaan pupuk kimia dapat ditekan dengan diganti pupuk organik yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Bagi Arief keyakinan, kerja keras, dan hubungan baik dengan orang lain adalah kunci suksesnya. Selain itu kejelian melihat pasar juga perlu. Seperti pemilihan jenis tomat. Varietas berbentuk lonjong kini dipilih Arief karena lebih diminati konsumen. Untuk itu varietas lonjong seperti arthaloka dan new samina kerap ditanam Kebun Agro Restu Inti Farm itu melibatkan 150 sampai 200 karyawan.
Bila panen raya kebutuhan tenaga kerja melonjak menjadi 400 sampai 500 orang. Mereka membantu Arief sejak mengolah tanah hingga mengemas hasil panen. Arief menerapkan suasana kekeluargaan dalam mengelola kebunnya.
Pasang surut
[caption id="attachment_16856" align="aligncenter" width="799"]

Pria kelahiran Yogyakarta 36 silam tak selamanya menuai untung. Ketika krisis ekonomi . melanda Indonesia pada 1997 sampai 1998, terpaan badai juga menghantam kebun tomatnya. Harga sarana produksi pertanian melangit. Pestisida dan pupuk kimia naik 2 kali lipat, sedangkan harga jual tetap. Oleh karena itu ia berhenti berproduksi. Kerugian mencapai miliaran rupiah. "Bila saya menjual seluruh aset tidak mampu menutupi kerugian," ujar pehobi sepakbola itu.
Menjelang Idul Fitri 2003 harga kerabat kentang itu anjlok mencapai Rp200/kg. Penanaman seluas 10 ha dengan produksi 55 sampai 70 ton per ha hanya bisa menutup biaya panen dan pemetikan. Saat itu terpaksa tanaman tomat seluas 3 ha dibabat habis, padahal baru panen perdana.
Gempuran Phytophthora infestans juga pernah menerpa pada 2002. Produksi per tanaman tidak mencapai 1 kg.
Toh, beberapa kendala yang dihadapi tidak menyurutkan semangat ayah 2 putra itu. Kecintaannya bertani sudah mendarah daging. Bahkan menanam tomat seakan sudah menjadi kewajiban dalam hidupnya. "Untuk itu apa pun yang akan dihadapi kita mesti siap," katanya.
Tak hanya produksi tinggi yang dikejar, kualitas produk juga tetap dijaga. Ia menerapkan pertanian organik meski belum secara keseluruhan. Untuk pestisida pria 36 tahun itu memanfaatkan formulasi yang mengandung spora trichoderma dan glyricidium.
Setelah penggunaan ramuan kedua jasad renik itu, pemakaian pupuk kimia berkurang 10 kali lipat. Sayangnya keinginan untuk menerapkan sistem organik secara total menghadapi batu sandungan. Penyebabnya keterbatasan bahan baku, seperti pestisida hanya cukup untuk sebagian lahan saja.
"Kita menyambut anjuran pemerintah untuk berorganik, tetapi di lapangan menghadapi banyak kendala," ujar anak ke 3 dari 7 bersaudara itu. Setelah menerapkan sistem organik produksi meningkat. Tanaman tomat juga lebih tahan terhadap hama dan penyakit.
Bersama sayuran buah itulah Arief bertahan selama 10 tahun di desa terpencil. Ia tak sekadar meraup keuntungan tetapi juga menjaga lingkungan agar bisa lebih lama berdiam di kesenyapan kaki Gunung Pangrango dan menanam tomat. (Pandu Dwilaksono)