Elyadi tak lagi bergairah membangun gedung walet. Kekhawatiran pemilik rumah walet di Tempilang, Bangka Belitung, itu karena populasi walet di rumahnya tidak berkembang dari tahun ke tahun.
Jumlah sarang hanya dalam hitungan jari tangan meski sudah 3 tahun. Ini jelas tidak sebanding dengan investasi ratusan juta rupiah yang ia cemplungkan untuk membangun gedung walet itu.
Kegundahan juga dialami H Erman MS, pengusaha walet di Tempilang. Mantan ketua Asosiasi Peternak Walet di Bangka itu harus mengelus dada ketika melihat walet yang menghuni di 2 gedung. Bagaimana tidak, selama 3 tahun populasi Collocalia fuchipaga hanya itu-itu saja.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk memasang cakram padat (Compact Disk/ CD) suara pemikat walet dan menyemprot aroma perangsang. Toh, cara itu tak membuat walet berkembang dengan baik.
Penantian Marcelius, warga Persada Sayang Bojong Indah, Cengkareng, selama 2 tahun berbuntut kekecewaan. Harapannya, membangun rumah di Koba agar lebih cepat dihuni burung penghasil liur mahal. Namun, walet ternyata belum juga bersarang. Burung hanya masuk ke mangan bermain-main, lalu keluar lagi.
[caption id="attachment_16939" align="aligncenter" width="300"]
Jangan terkecoh pertumbuhan gedung di sentra walet[/caption]
Tempilang salah satu sentra walet paling besar di provinsi penghasil timah itu. Sentra walet lain, seperti Jebus,Toboali, Sungailiat, Mentok, dan Koba. Pada 1970 di sana baru ada satu rumah walet ketika rumah milik H Erwan dihuni burung penghasil liur itu.
Waktu itu masyarakat belum banyak mengenal budidaya dan perdagangan liur walet. Wajar bila pertumbuhan jumlah gedung walet sangat lambat. Namun, sejak 1995 Tempilang menjadi perhatian pebisnis sarang walet. Investor datang dari berbagai daerah, seperti Medan, Lampung, Surabaya, Cirebon, Jakarta, Semarang, bahkan Singapura. Tak ayal, harga tanah melonjak drastis. Menurut Amok, salah satu makelar tanah, harga mencapai Rp5-juta/m2.
Alam yang hijau dan sungai-sungai di Tempilang sangat mendukung budidaya walet. Ketersediaan pakan melimpah sehingga populasi meningkat pesat dan walet pun mudah dipancing masuk rumah. “Untuk memasukkan walet dalam gedung cukup dengan memutar cakram padat walet. Dalam 4—5 bulan dipastikan ada walet bersarang,” kata Elyadi.
Tak heran bila pembangunan gedung walet terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. Rumah-rumah penduduk banyak yang beralih fungsi jadi gedung walet. Mereka rela menyingkir ke daerah pinggiran, seperti Desa Tanjungnior bila walet masuk ke rumahnya. Tempilang dijejali gedung-gedung jangkung berbentuk kubus.
Sayang, pertumbuhan rumah itu tidak seimbang dengan peningkatan populasi. Populasi walet stagnan karena daya dukung lingkungan mulai berkurang. Menurut Elyadi perkembangan rumah walet telah jenuh. Banyak pengusaha mengeluh lantaran rumahnya belum juga dihuni walet, meski sudah dibangun bertahun-tahun.
Tempilang kini bukan lagi surga bagi pengusaha walet. “Bisnis sarang burung di Tempilang tidak prospektif lagi. Tempilang sekarang sudah menjadi sentra walet lampu merah,” ucap alumnus Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur itu.
Tak hanya di Tempilang, sentra walet di beberapa daerah mengalami kejenuhan. Daerah itu masuk kategori lampu merah. Artinya tidak layak untuk membangun rumah walet. Status itu sama dengan beberapa sentra walet di Lampung, seperti Metro, Pringsewu, Gadingrejo, Labuhan, dan Maringgai. Bahkan, sentra walet di Lampung Selatan, yakni Sidomulyo, Sukapura, Sukarandeg, Bandaragung, dan Bunut juga mulai dipadati gedung-gedung walet.
[caption id="attachment_16938" align="aligncenter" width="1024"]
Ketersediaan pakan perlu dipertimbangkan[/caption]
Hal itu dialami Saefudin, warga Bandarangung, Lampung. Populasi walet di 2 gedung waletnya sampai sekarang hanya belasan sarang. H Mustofa Gufron pun demikian. Gedung walet di Kalianda juga tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Kejadian itu sebenarnya hal yang wajar. Ibarat pepatah ada gula ada semut. Begitu ada rumah yang berhasil memanen sarang dalam jumlah banyak, orang lain mengikutinya. Mereka berharap akan mengenyam hal sama. Padahal seharusnya pebisnis sarang walet melakukan uji lokasi sebelum membangun rumah. Sebab, persepsi orang salah dalam menilai sentra walet. Mereka percaya kalau lokasi yang prospektif ditandai banyak gedung walet dibangun di daerah itu.
Beberapa hal perlu diperhatikan sebelum membangun rumah walet. Misalnya, ketahui populasi walet di lokasi dengan memutar CD walet. Jika dalam hitungan detik/menit walet berdatangan dan berputar-putar di sekitar sumber suara asal cakram padat.
Potensi sebuah daerah tampak dari jumlah walet yang berdatangan. Meski tidak ada angka pasti, beberapa peternak mempunyai standar penilaian. Jika setengah jam terlihat lebih dari 100 ekor, maka lokasi dikategorikan sangat baik. Bila dijumpai sekitar 50 ekor kategori sedang; kurang dari 10 ekor tidak layak untuk budidaya walet.
Perhatikan pertumbuhan gedung walet di lokasi itu. Jika dalam radius 10 km sudah ada 50 gedung, stop niat untuk membangun. Sebaliknya jika baru 10 gedung, boleh berlanjut. Tinggi rendahnya harga tanah di lokasi itu juga bisa menjadi indikasi lokasi tersebut sudah mulai diserbu investor atau belum.
Kecamatan Samuda, Sampit, Kalimantan Tengah salah satu contoh sentra walet kategori lampu kuning. Artinya, investor perlu menahan diri untuk membangun gedung walet di sana.
Hal penting yang perlu dicermati adalah kesuburan lokasi berkaitan dengan ketersediaan serangga sebagai pakan utama walet. Prediksi ke depan tentang luasan lahan subur di sekitar lokasi mutlak diketahui. Lokasi yang diperuntukkan pembukaan kawasan industri atau pemukiman baru tidak cocok dipilih. Dengan begitu kita tidak akan teijebak ke daerah sentra walet lampu kuning atau lampu merah. (Pandu Dwilaksono)
Jumlah sarang hanya dalam hitungan jari tangan meski sudah 3 tahun. Ini jelas tidak sebanding dengan investasi ratusan juta rupiah yang ia cemplungkan untuk membangun gedung walet itu.
Kegundahan juga dialami H Erman MS, pengusaha walet di Tempilang. Mantan ketua Asosiasi Peternak Walet di Bangka itu harus mengelus dada ketika melihat walet yang menghuni di 2 gedung. Bagaimana tidak, selama 3 tahun populasi Collocalia fuchipaga hanya itu-itu saja.
Berbagai upaya dilakukan, termasuk memasang cakram padat (Compact Disk/ CD) suara pemikat walet dan menyemprot aroma perangsang. Toh, cara itu tak membuat walet berkembang dengan baik.
Penantian Marcelius, warga Persada Sayang Bojong Indah, Cengkareng, selama 2 tahun berbuntut kekecewaan. Harapannya, membangun rumah di Koba agar lebih cepat dihuni burung penghasil liur mahal. Namun, walet ternyata belum juga bersarang. Burung hanya masuk ke mangan bermain-main, lalu keluar lagi.
[caption id="attachment_16939" align="aligncenter" width="300"]

Pusat perhatian
Tempilang salah satu sentra walet paling besar di provinsi penghasil timah itu. Sentra walet lain, seperti Jebus,Toboali, Sungailiat, Mentok, dan Koba. Pada 1970 di sana baru ada satu rumah walet ketika rumah milik H Erwan dihuni burung penghasil liur itu.
Waktu itu masyarakat belum banyak mengenal budidaya dan perdagangan liur walet. Wajar bila pertumbuhan jumlah gedung walet sangat lambat. Namun, sejak 1995 Tempilang menjadi perhatian pebisnis sarang walet. Investor datang dari berbagai daerah, seperti Medan, Lampung, Surabaya, Cirebon, Jakarta, Semarang, bahkan Singapura. Tak ayal, harga tanah melonjak drastis. Menurut Amok, salah satu makelar tanah, harga mencapai Rp5-juta/m2.
Alam yang hijau dan sungai-sungai di Tempilang sangat mendukung budidaya walet. Ketersediaan pakan melimpah sehingga populasi meningkat pesat dan walet pun mudah dipancing masuk rumah. “Untuk memasukkan walet dalam gedung cukup dengan memutar cakram padat walet. Dalam 4—5 bulan dipastikan ada walet bersarang,” kata Elyadi.
Tak heran bila pembangunan gedung walet terus tumbuh seperti jamur di musim hujan. Rumah-rumah penduduk banyak yang beralih fungsi jadi gedung walet. Mereka rela menyingkir ke daerah pinggiran, seperti Desa Tanjungnior bila walet masuk ke rumahnya. Tempilang dijejali gedung-gedung jangkung berbentuk kubus.
Lampu merah
Sayang, pertumbuhan rumah itu tidak seimbang dengan peningkatan populasi. Populasi walet stagnan karena daya dukung lingkungan mulai berkurang. Menurut Elyadi perkembangan rumah walet telah jenuh. Banyak pengusaha mengeluh lantaran rumahnya belum juga dihuni walet, meski sudah dibangun bertahun-tahun.
Tempilang kini bukan lagi surga bagi pengusaha walet. “Bisnis sarang burung di Tempilang tidak prospektif lagi. Tempilang sekarang sudah menjadi sentra walet lampu merah,” ucap alumnus Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur itu.
Tak hanya di Tempilang, sentra walet di beberapa daerah mengalami kejenuhan. Daerah itu masuk kategori lampu merah. Artinya tidak layak untuk membangun rumah walet. Status itu sama dengan beberapa sentra walet di Lampung, seperti Metro, Pringsewu, Gadingrejo, Labuhan, dan Maringgai. Bahkan, sentra walet di Lampung Selatan, yakni Sidomulyo, Sukapura, Sukarandeg, Bandaragung, dan Bunut juga mulai dipadati gedung-gedung walet.
[caption id="attachment_16938" align="aligncenter" width="1024"]

Hal itu dialami Saefudin, warga Bandarangung, Lampung. Populasi walet di 2 gedung waletnya sampai sekarang hanya belasan sarang. H Mustofa Gufron pun demikian. Gedung walet di Kalianda juga tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Cek lokasi
Kejadian itu sebenarnya hal yang wajar. Ibarat pepatah ada gula ada semut. Begitu ada rumah yang berhasil memanen sarang dalam jumlah banyak, orang lain mengikutinya. Mereka berharap akan mengenyam hal sama. Padahal seharusnya pebisnis sarang walet melakukan uji lokasi sebelum membangun rumah. Sebab, persepsi orang salah dalam menilai sentra walet. Mereka percaya kalau lokasi yang prospektif ditandai banyak gedung walet dibangun di daerah itu.
Beberapa hal perlu diperhatikan sebelum membangun rumah walet. Misalnya, ketahui populasi walet di lokasi dengan memutar CD walet. Jika dalam hitungan detik/menit walet berdatangan dan berputar-putar di sekitar sumber suara asal cakram padat.
Potensi sebuah daerah tampak dari jumlah walet yang berdatangan. Meski tidak ada angka pasti, beberapa peternak mempunyai standar penilaian. Jika setengah jam terlihat lebih dari 100 ekor, maka lokasi dikategorikan sangat baik. Bila dijumpai sekitar 50 ekor kategori sedang; kurang dari 10 ekor tidak layak untuk budidaya walet.
Perhatikan pertumbuhan gedung walet di lokasi itu. Jika dalam radius 10 km sudah ada 50 gedung, stop niat untuk membangun. Sebaliknya jika baru 10 gedung, boleh berlanjut. Tinggi rendahnya harga tanah di lokasi itu juga bisa menjadi indikasi lokasi tersebut sudah mulai diserbu investor atau belum.
Kecamatan Samuda, Sampit, Kalimantan Tengah salah satu contoh sentra walet kategori lampu kuning. Artinya, investor perlu menahan diri untuk membangun gedung walet di sana.
Hal penting yang perlu dicermati adalah kesuburan lokasi berkaitan dengan ketersediaan serangga sebagai pakan utama walet. Prediksi ke depan tentang luasan lahan subur di sekitar lokasi mutlak diketahui. Lokasi yang diperuntukkan pembukaan kawasan industri atau pemukiman baru tidak cocok dipilih. Dengan begitu kita tidak akan teijebak ke daerah sentra walet lampu kuning atau lampu merah. (Pandu Dwilaksono)