Pengalaman perdana menanam tomat pada 1997jadi pelajaran berharga untuk Yayat. Petani di Desa Limbangan, Sukabumi, itu terpaksa menelan pil pahit. Saat panen pada November harganya cuma Rp200/kg. Padahal ia memprediksikan bisa menjual Rp2.000/kg karena musim hujan menjelang. "Banyak orang menanam tomat. Akibatnya harga anjlok," kata pemilik 6 ha lahan itu.
Andai Yayat tetap memasok ke pasar tradisional, gejolak itu pasti ia alami lagi. Pada Agustus 2000 harga di Pasar Induk Kramatjati Rp 1.000/ kg atau Rp500/kg di tingkat petani. Padahal Januari mencapai Rp4.000/kg atau Rp2.000/kg di tingkat petani.
Dengan produktivitas 2 kg/pohon dan biaya produksi Rp1 ,500/pohon, Yayat rugi Rp500/pohon bila panen di Agustus. Dengan populasi 96.000 tanaman pada luasan 6 ha kerugian yang mendera sampai Rp48-juta.
Ceritanya akan lain bila ia justru panen di Januari. Produksi cukup setengahnya saja dan biaya produksi sama. Satu pohon menghasilkan laba Rp500. Wajar bila Yayat mengatakan, "Kalau mengandalkan pasar tradisional repot."
Belajar dari pengalaman itu, ia bergabung dengan Prima Tani. Kebun sayuran di Goalpara, Sukabumi itu sanggup membeli tomat dengan harga flat. Saat ini patokannya Rp2.000/kg. Prima Tani bisa menjamin karena ia sudah memiliki pasar tetap, sejumlah pasar swalayan di Jakarta.
Menembus pasar dengan harga setinggi itu bukan perkara gampang. Apalagi panenannya arthaloka yang banyak ditanam petani. "Ada syarat khusus, seperti kualitas dan penanganan pascapanen. Kalau dikirim ke pasar tradisional cukup pakai peti kayu saja, masuk ke pasar swalayan tidak bisa begitu,” kata Mastur Fuad, pekebun sayuran Pacet Segar. Pacet Segar antara lain memasok arthaloka ke pasar swalayan Hero.
Prima Tani bisa rutin memasok pasar swalayan karena arthaloka yang diproduksi berkualitas bagus. Tomat mulus, tidak cacat, tidak cracking, berat 100 g/buah, bentuk normal, tingkat kematangan 70%, dan warna tidak pucat. "Kalau produksi sendiri 70% buah masuk kategori ini, petani sekitar 40%,” ujar Priatmana Muhendi, pemilik Prima Rani.
Kualitas memang menjadi kunci sukses penjualan. Arthaloka di kebun Ismet Hakim di poalpara, Sukabumi, bisa laku Rp2.500/500 g.

Bagi Priatmana pasar swalayan jalan keluar dari cengkeraman gonjang-ganjing harga. Peristiwa yang terjadi pada Yayat di awal penanaman juga dialaminya pada 1997. Tak ingin jatuh dua kali, ia lalu aktif mencari pasar lain.
Prima Tani sempat memasok Bandung Farmer salah satu eksportir sayuran di Bandung. Namun, kerja sama tidak berlanjut karena, "Kendalanya harga tidak mau flat. Kualitas tomat belum seragam sehingga pasar complain.” kata Priatmana
Kalati akhirnya Prima Tani bisa memperoleh harga flat sekarang, ini sebuah anugrah. "Waktu itu ada pasar swalayan yang mencari pasokan, minta ditunjukkan kualitas terbaik,” kata alumnus Institut Koperasi Indonesia itu. Gayung bersambut, kata sepakat pun diucapkan.
Pasokan pertama pada 1998 hanya 100 kg/minggu dengan harga Rp1.400/kg. Nilai kontrak ditetapkan di muka dan berlaku setahun. Kini dengan pasokan 2 ton/pengiriman atau 4 ton/minggu kebun itu harus melibatkan 7 sampai 8 pekebun mitra.
Penyesuaian harga jual dilakukan mengikuti peningkatan biaya produksi. Sejak 1998 sudah 5 kali Prima Tani melakukan revisi hingga memperoleh harga Rp2.500/kg saat ini.
Putri Segar, kebun sayuran di Lembang memasok 1 sampai 1,5 ton arthaloka dan precious/hari ke 8 pasar swalayan di Jakarta dan 1 di Bandung.
Ia di back up oleh 50 mitra di daerah Cikajang, Garut dan Majalengka. Meski, sudah memiliki pasar khusus, Putri Segar toh tak lolos dari gonjang-ganjing harga. Pada Mei saja terjadi penurunan tajam, dari Rp3.750/kg pada minggu pertama menj adi Rp1.500/kgpadamingguke-3. Ini karena Putri Segar bukan satu-satunya pemasok.
Namun, hal itu tak membuat Putri Segar lantas mogok. "Walau harga fluktuatif, permintaan tetap ada. Dari 150-an item yang dikelola Putri Segar, permintaan tomat tidak pernah absen,” kata Windu Priyonugroho.
Selain arthaloka, tomat "umum” lain, misal TW pun bisa mendapat harga bagus asalkan berkualitas. TW sampai di samping resento dan ceri sampai menjadi tomat andalan Saung Mirwan. Kebutuhan TW 200 sampai 250 kg/hari dipasok para pekebun mitra dan mitra beli. Tidak semua produksi mitra lolos kriteria versi Saung Mirwan. "Rata-rata 30%, pekebun yang sudah berpengalaman 60%,” tutur Nanang Pakturrahman, kabag Pengadaan Saung Mirwan.
harganya bagus, tapi permintaan belum banyak,” ujar Mastur Fuad. PT Joro misalnya hanya memasok 100 kg/minggu untuk Surabaya, Malang, dan Bali. "Permintaan dari Bali 250 kg/minggu, tapi belum berani kita tanggapi,” tutur Eddy.
PT Joro juga pernah mengusahakan tomat beef (resento), tapi tidak diteruskan. "Kita jual supaya balik modal saja sampai Rp1.500/kg sampai konsumen merasa kemahalan. Pasar hanya berani beli Rp700 sampai Rp1.000/kg. Sebab harga TW waktu itu masih murah Rp300/kg,” kata Eddy. Dijual ke pasar swalayan pun belum bisa karena tomat beef dianggap sama saja dengan TW.
Kini pasar swalayan berani membeli Rp2.500/kg. Beef tahan simpan di pendingin 1,5 bulan, TW hanya 3 minggu. Namun, PT Joro belum berani memproduksi kembali. "Kita masih mikir apakah permintaan masih datang setelah kita berproduksi nanti?” tanya Eddy ragu.
Momotaro konsumennya sangat terbatas pada komunitas Jepang. Rasa buah lebih asam tidak cocok di lidah kebanyakan orang. Apalagi harga relatif mahal Rp10.000/kg. Dengan kondisi seperti itu, seorang pekebun berani mengatakan, "Mereka punya 10 ton ngga mungkin laku, nanti siapa yang mau beli. Lain kalau diekspor.”
Berhasil menembus pasar khusus bukan lantas membuat para pekebun ongkang-ongkang kaki. Pasar swalayan mewajibkan kontinuitas pasokan dan kualitas seragam. "Kalau kualitasnya sudah A, jangan coba-coba untuk (menghasilkan, red) yang lebih bawah, tandas Priatmana.
Saung Mirwan bahkan lebih tegas lagi. Perusahaan tidak memasok perkulakan karena yang diminta second grade. L "Kita menjual kualitas bukan barang seadanya. Memang harga akan tinggi, itu sudah suatu aturan main. Banyak pasar swalayan yang kaget melihat harga Saung Mirwan, tetapi kualitas barang juga tinggi,” tutur Jaya Hidayat, kabag Pemasaran Saung Mirwan.
Meski bila memasok perkulakan menguntungkan Saung Mirwan tidak mau menurunkan mutu. "Komitmen kita kualitas nomor satu,” tegas Nanang. Selain itu, perusahaan hanya menjual satu kelas tomat untuk menghindari kerancuan saat pengemasan.
Nanti takutnya saat tidak ada barang, second grade dimasukkan kelas utama. Ini akan menghancurkan nama kita juga. Lebih baik dari awal kita mengatakan tidak menjual second grade, apa pun risikonya,” papar Jaya.
[caption id="attachment_17969" align="aligncenter" width="770"]
Pasokan mitra harus sesuai standar[/caption]
Faktor harga bagus bukan jaminan selalu untung. "Kendala paling sulit dihadapi, cuaca. Arthaloka cracking-nya tinggi. Sekarang hujan, nanti malam panas atau sebaliknya, besok panen pasti banyak buah yang pecah," tutur Priatmana. Untuk mengatasinya Priatmana menanam 1,5 kali populasi pada musim-musim tertentu, misal saat penghujan.
Pasar ekspor pernah pula dijajaki pelaku bisnis tomat. Prima Tani sempat mengirim tomat ke Singapura dan Malaysia. Sayang karena kualitas belum seragam dan tidak ada kesepakatan harga, pengiriman dihentikan. "Sebenarnya pasar masih terbuka,” ujar Priatmana. Dengan kemampuan saat ini Prima Tani menargetkan ekspor kembali pada tahun ini.
Saung Mirwan pun memasok resento dan ceri ke Singapura. "Sebetulnya semua tomat bisa masuk. Namun, pasar Smgapura sendiri tidak terlalu bagus. Kalau Thailand dan Malaysia tidak keluar, kita masuk Singapura. Namun, untuk sifatnya rutin kita mungkin rugi,” ujar Jaya.
Ia mencontohkan orang tidak mengirim rutin tomat TW ke Singapura karena kadang-kadang gejolak harga di sana lebih parah daripada Jakarta dalam hal ini pasar swalayan. Faktor lain ongkos pesawat terlalu mahal. Setiap 1 kg tomat biaya penerbangan USS 50 sen, padahal harga tomat US$70 sampai 80 sen. "Kalau pemerintah mau mensubsidi 50% saja, kita akan menang,” kata Jaya optimis.
Andai Yayat tetap memasok ke pasar tradisional, gejolak itu pasti ia alami lagi. Pada Agustus 2000 harga di Pasar Induk Kramatjati Rp 1.000/ kg atau Rp500/kg di tingkat petani. Padahal Januari mencapai Rp4.000/kg atau Rp2.000/kg di tingkat petani.
Dengan produktivitas 2 kg/pohon dan biaya produksi Rp1 ,500/pohon, Yayat rugi Rp500/pohon bila panen di Agustus. Dengan populasi 96.000 tanaman pada luasan 6 ha kerugian yang mendera sampai Rp48-juta.
Ceritanya akan lain bila ia justru panen di Januari. Produksi cukup setengahnya saja dan biaya produksi sama. Satu pohon menghasilkan laba Rp500. Wajar bila Yayat mengatakan, "Kalau mengandalkan pasar tradisional repot."
Belajar dari pengalaman itu, ia bergabung dengan Prima Tani. Kebun sayuran di Goalpara, Sukabumi itu sanggup membeli tomat dengan harga flat. Saat ini patokannya Rp2.000/kg. Prima Tani bisa menjamin karena ia sudah memiliki pasar tetap, sejumlah pasar swalayan di Jakarta.
Kualitas
Menembus pasar dengan harga setinggi itu bukan perkara gampang. Apalagi panenannya arthaloka yang banyak ditanam petani. "Ada syarat khusus, seperti kualitas dan penanganan pascapanen. Kalau dikirim ke pasar tradisional cukup pakai peti kayu saja, masuk ke pasar swalayan tidak bisa begitu,” kata Mastur Fuad, pekebun sayuran Pacet Segar. Pacet Segar antara lain memasok arthaloka ke pasar swalayan Hero.
Prima Tani bisa rutin memasok pasar swalayan karena arthaloka yang diproduksi berkualitas bagus. Tomat mulus, tidak cacat, tidak cracking, berat 100 g/buah, bentuk normal, tingkat kematangan 70%, dan warna tidak pucat. "Kalau produksi sendiri 70% buah masuk kategori ini, petani sekitar 40%,” ujar Priatmana Muhendi, pemilik Prima Rani.
Kualitas memang menjadi kunci sukses penjualan. Arthaloka di kebun Ismet Hakim di poalpara, Sukabumi, bisa laku Rp2.500/500 g.

Gonjang-ganjing
Bagi Priatmana pasar swalayan jalan keluar dari cengkeraman gonjang-ganjing harga. Peristiwa yang terjadi pada Yayat di awal penanaman juga dialaminya pada 1997. Tak ingin jatuh dua kali, ia lalu aktif mencari pasar lain.
Prima Tani sempat memasok Bandung Farmer salah satu eksportir sayuran di Bandung. Namun, kerja sama tidak berlanjut karena, "Kendalanya harga tidak mau flat. Kualitas tomat belum seragam sehingga pasar complain.” kata Priatmana
Kalati akhirnya Prima Tani bisa memperoleh harga flat sekarang, ini sebuah anugrah. "Waktu itu ada pasar swalayan yang mencari pasokan, minta ditunjukkan kualitas terbaik,” kata alumnus Institut Koperasi Indonesia itu. Gayung bersambut, kata sepakat pun diucapkan.
Pasokan pertama pada 1998 hanya 100 kg/minggu dengan harga Rp1.400/kg. Nilai kontrak ditetapkan di muka dan berlaku setahun. Kini dengan pasokan 2 ton/pengiriman atau 4 ton/minggu kebun itu harus melibatkan 7 sampai 8 pekebun mitra.
Penyesuaian harga jual dilakukan mengikuti peningkatan biaya produksi. Sejak 1998 sudah 5 kali Prima Tani melakukan revisi hingga memperoleh harga Rp2.500/kg saat ini.
Putri Segar, kebun sayuran di Lembang memasok 1 sampai 1,5 ton arthaloka dan precious/hari ke 8 pasar swalayan di Jakarta dan 1 di Bandung.
Ia di back up oleh 50 mitra di daerah Cikajang, Garut dan Majalengka. Meski, sudah memiliki pasar khusus, Putri Segar toh tak lolos dari gonjang-ganjing harga. Pada Mei saja terjadi penurunan tajam, dari Rp3.750/kg pada minggu pertama menj adi Rp1.500/kgpadamingguke-3. Ini karena Putri Segar bukan satu-satunya pemasok.
Namun, hal itu tak membuat Putri Segar lantas mogok. "Walau harga fluktuatif, permintaan tetap ada. Dari 150-an item yang dikelola Putri Segar, permintaan tomat tidak pernah absen,” kata Windu Priyonugroho.
Selain arthaloka, tomat "umum” lain, misal TW pun bisa mendapat harga bagus asalkan berkualitas. TW sampai di samping resento dan ceri sampai menjadi tomat andalan Saung Mirwan. Kebutuhan TW 200 sampai 250 kg/hari dipasok para pekebun mitra dan mitra beli. Tidak semua produksi mitra lolos kriteria versi Saung Mirwan. "Rata-rata 30%, pekebun yang sudah berpengalaman 60%,” tutur Nanang Pakturrahman, kabag Pengadaan Saung Mirwan.
harganya bagus, tapi permintaan belum banyak,” ujar Mastur Fuad. PT Joro misalnya hanya memasok 100 kg/minggu untuk Surabaya, Malang, dan Bali. "Permintaan dari Bali 250 kg/minggu, tapi belum berani kita tanggapi,” tutur Eddy.
PT Joro juga pernah mengusahakan tomat beef (resento), tapi tidak diteruskan. "Kita jual supaya balik modal saja sampai Rp1.500/kg sampai konsumen merasa kemahalan. Pasar hanya berani beli Rp700 sampai Rp1.000/kg. Sebab harga TW waktu itu masih murah Rp300/kg,” kata Eddy. Dijual ke pasar swalayan pun belum bisa karena tomat beef dianggap sama saja dengan TW.
Kini pasar swalayan berani membeli Rp2.500/kg. Beef tahan simpan di pendingin 1,5 bulan, TW hanya 3 minggu. Namun, PT Joro belum berani memproduksi kembali. "Kita masih mikir apakah permintaan masih datang setelah kita berproduksi nanti?” tanya Eddy ragu.
Momotaro konsumennya sangat terbatas pada komunitas Jepang. Rasa buah lebih asam tidak cocok di lidah kebanyakan orang. Apalagi harga relatif mahal Rp10.000/kg. Dengan kondisi seperti itu, seorang pekebun berani mengatakan, "Mereka punya 10 ton ngga mungkin laku, nanti siapa yang mau beli. Lain kalau diekspor.”
Bukan jaminan
Berhasil menembus pasar khusus bukan lantas membuat para pekebun ongkang-ongkang kaki. Pasar swalayan mewajibkan kontinuitas pasokan dan kualitas seragam. "Kalau kualitasnya sudah A, jangan coba-coba untuk (menghasilkan, red) yang lebih bawah, tandas Priatmana.
Saung Mirwan bahkan lebih tegas lagi. Perusahaan tidak memasok perkulakan karena yang diminta second grade. L "Kita menjual kualitas bukan barang seadanya. Memang harga akan tinggi, itu sudah suatu aturan main. Banyak pasar swalayan yang kaget melihat harga Saung Mirwan, tetapi kualitas barang juga tinggi,” tutur Jaya Hidayat, kabag Pemasaran Saung Mirwan.
Meski bila memasok perkulakan menguntungkan Saung Mirwan tidak mau menurunkan mutu. "Komitmen kita kualitas nomor satu,” tegas Nanang. Selain itu, perusahaan hanya menjual satu kelas tomat untuk menghindari kerancuan saat pengemasan.
Nanti takutnya saat tidak ada barang, second grade dimasukkan kelas utama. Ini akan menghancurkan nama kita juga. Lebih baik dari awal kita mengatakan tidak menjual second grade, apa pun risikonya,” papar Jaya.
[caption id="attachment_17969" align="aligncenter" width="770"]

Faktor harga bagus bukan jaminan selalu untung. "Kendala paling sulit dihadapi, cuaca. Arthaloka cracking-nya tinggi. Sekarang hujan, nanti malam panas atau sebaliknya, besok panen pasti banyak buah yang pecah," tutur Priatmana. Untuk mengatasinya Priatmana menanam 1,5 kali populasi pada musim-musim tertentu, misal saat penghujan.
Peluang ekspor
Pasar ekspor pernah pula dijajaki pelaku bisnis tomat. Prima Tani sempat mengirim tomat ke Singapura dan Malaysia. Sayang karena kualitas belum seragam dan tidak ada kesepakatan harga, pengiriman dihentikan. "Sebenarnya pasar masih terbuka,” ujar Priatmana. Dengan kemampuan saat ini Prima Tani menargetkan ekspor kembali pada tahun ini.
Saung Mirwan pun memasok resento dan ceri ke Singapura. "Sebetulnya semua tomat bisa masuk. Namun, pasar Smgapura sendiri tidak terlalu bagus. Kalau Thailand dan Malaysia tidak keluar, kita masuk Singapura. Namun, untuk sifatnya rutin kita mungkin rugi,” ujar Jaya.
Ia mencontohkan orang tidak mengirim rutin tomat TW ke Singapura karena kadang-kadang gejolak harga di sana lebih parah daripada Jakarta dalam hal ini pasar swalayan. Faktor lain ongkos pesawat terlalu mahal. Setiap 1 kg tomat biaya penerbangan USS 50 sen, padahal harga tomat US$70 sampai 80 sen. "Kalau pemerintah mau mensubsidi 50% saja, kita akan menang,” kata Jaya optimis.