Penampilan bonsai cemara udang koleksi Lee Kwan Din itu amat memukau. Percabangan tersusun rapi dengan daun yang hijau segar. Bonsai setinggi 104 cm itu begitu "matang", juri pun sepakat menetapkannya sebagai bonsai terbaik dengan meraih nilai 337 pada lomba bertajuk Gebyar Bonsai Istana Cipanas .
Keberhasilan cemara udang itu menggaet peringkat terbaik sudah diperkirakan. Tiga pohon yang tumbuh dalam 1 pot terlihat kompak dan saling mendukung, Posisi cabang tinggi, sedang, dan pendek bergradasi secara wajar. Kulit batang pohon itu pecah-pecah menandakan ketuaan. Helaian daun kecil dan pendek tampil alamiah. Akar rapi dan kokoh seolah mencengkeram bumi. Amat serasi dengan pot ceper berbentuk oval dari keramik.
[caption id="attachment_17697" align="aligncenter" width="300"]
juara madya ancaman mendatang[/caption]
Bonsai No. 04 itu bukan sekali ini saja meraih prestasi. Dalam catatan Kami, ia telah 6 kali masuk nominasi terbaik sehingga meraih penghargaan platinum. Gelar juara yang sudah dikantungi antara lain pada Manggala Bonsai Parahyangan di Bandung dan Simfoni Alam Bonsai Indonesia di Bogor. Di ke-2 ajang itu ia tampil sebagai the best in show.
Perjalanan cemara udang koleksi hobiis asal Bandung mencapai jenjang juara terbilang mulus. Beberapa rival beratnya tidak hadir. Contoh, gulo kumantung dan cemara udang berbatang dua juga koleksi Lie Kwan Din tak turun berlomba. Praktis lawan-lawan yang dihadapi bonsai-bonsai “muda”, meski beberapa di antaranya menyabet juara . Misal peringkat ke-2 phusu juara di Yogyakarta pada Mei silam. Sedangkan peringkat ke-3 juga phusu peraih the best di kategori madya di Bandung.
Selain tidak dihadiri bonsai-bonsai “kuat”, lomba yang berlangsung di lapangan depan Istana Presiden di Cipanas itu kurang diminati pebonsai. Hanya 44 bonsai yang berpartisipasi di kelas utama dan 130 pohon di kategori madya. Mereka datang dari Surabaya, Sidoarjo, Yogyakarta, Cirebon, Jakarta, Bandung, Bogor, dan Tangerang. Minimnya peserta diduga karena waktu penyelenggaraan berdekatan dengan lomba terakhir di Yogyakarta dan Fiona di Jakarta.
Meski demikian, mutu kontestan layak diadu. Buktinya, juri kesulitan menentukan pemenang. “Selisih nilainya amat tipis,” ungkap Deni Nayoan, juri asal Jakarta.
Ambil contoh, selisih nilai antara sang juara I dengan pesaing-pesaingnya. Ia hanya unggul 3,75 poin dari peringkat ke-2, dan berselisih 4,50 poin dengan peringkat ke-3 dan ke-4. Bahkan phusu juara ke-3 milik Dewi dan Juniperus sargentii, koleksi Harja, Bandung, memiliki nilai sama 332,50.

Persaingan ketat juga terjadi pada perebutan posisi ke-6 sampai 8. Selisih angka ketiga bonsai hanya 0,75. Demikian pula pada “perburuan” posisi ke-12 sampai 23. Disana terdapat 12 bonsai dengan selisih angka antara peringkat ke-12 dan ke-23 hanya terpaut 4,25.
Yang menarik pada kontes kali ini, diterapkan penilaian sistim baru. Kriteria yang dinilai hanya 4 yaitu; gerak dasar, yang dinilai akar dan batang; kematangan, untuk menilai cabang, ranting, dan buah; serta keserasian dan kesehatan. Bobot nilai ketiga faktor itu 62,5%. Sementara faktor terakhir, ialah penjiwaan, bobot nilai 37,5%.
Faktor penjiwaan meliputi keseimbangan, sentuhan akhir, kreativitas, dan inovasi pebonsai. Semula kriteria penilaian meliputi 6 hal: akar, batang, 'ranting, daun, mahkota, serta keseimbangan dengan pot. Dengan sistim baru, penilaian subyektif juri diperkecil. Hasilnya, “Tak ada lagi suara bisik-bisik tidak puas,” tutur Jongky B. Sulistyo, dewan juri.
Dari rekapan juri, nilai peserta yang berada pada kisaran 321 sampai 360 masuk kategori baik sekali. Ada 24 bonsai atau 60% masuk kategori itu. Delapan belas pohon masuk kategori baik dengan kisaran nilai 281 sampai 320. Yang masuk kategori cukup hanya 2 pohon dengan nilai 241 sampai 270.
Di kelompok madya, tetap mengacu pada penilaian lama. Sayangnya, hanya 18 pohon yang laik masuk kategori baik sekali dan 87 pohon tergolong baik. Di kelompok itu bonsai buxus terpilih sebagai the best in show. Penampilan bonsai koleksi Lee Kwan Din itu memang sangat baik. Bahkan tak kalah dari peserta kategori utama.
Keberhasilan cemara udang itu menggaet peringkat terbaik sudah diperkirakan. Tiga pohon yang tumbuh dalam 1 pot terlihat kompak dan saling mendukung, Posisi cabang tinggi, sedang, dan pendek bergradasi secara wajar. Kulit batang pohon itu pecah-pecah menandakan ketuaan. Helaian daun kecil dan pendek tampil alamiah. Akar rapi dan kokoh seolah mencengkeram bumi. Amat serasi dengan pot ceper berbentuk oval dari keramik.
[caption id="attachment_17697" align="aligncenter" width="300"]

Bonsai No. 04 itu bukan sekali ini saja meraih prestasi. Dalam catatan Kami, ia telah 6 kali masuk nominasi terbaik sehingga meraih penghargaan platinum. Gelar juara yang sudah dikantungi antara lain pada Manggala Bonsai Parahyangan di Bandung dan Simfoni Alam Bonsai Indonesia di Bogor. Di ke-2 ajang itu ia tampil sebagai the best in show.
Minim peserta
Perjalanan cemara udang koleksi hobiis asal Bandung mencapai jenjang juara terbilang mulus. Beberapa rival beratnya tidak hadir. Contoh, gulo kumantung dan cemara udang berbatang dua juga koleksi Lie Kwan Din tak turun berlomba. Praktis lawan-lawan yang dihadapi bonsai-bonsai “muda”, meski beberapa di antaranya menyabet juara . Misal peringkat ke-2 phusu juara di Yogyakarta pada Mei silam. Sedangkan peringkat ke-3 juga phusu peraih the best di kategori madya di Bandung.
Selain tidak dihadiri bonsai-bonsai “kuat”, lomba yang berlangsung di lapangan depan Istana Presiden di Cipanas itu kurang diminati pebonsai. Hanya 44 bonsai yang berpartisipasi di kelas utama dan 130 pohon di kategori madya. Mereka datang dari Surabaya, Sidoarjo, Yogyakarta, Cirebon, Jakarta, Bandung, Bogor, dan Tangerang. Minimnya peserta diduga karena waktu penyelenggaraan berdekatan dengan lomba terakhir di Yogyakarta dan Fiona di Jakarta.
Meski demikian, mutu kontestan layak diadu. Buktinya, juri kesulitan menentukan pemenang. “Selisih nilainya amat tipis,” ungkap Deni Nayoan, juri asal Jakarta.
Ambil contoh, selisih nilai antara sang juara I dengan pesaing-pesaingnya. Ia hanya unggul 3,75 poin dari peringkat ke-2, dan berselisih 4,50 poin dengan peringkat ke-3 dan ke-4. Bahkan phusu juara ke-3 milik Dewi dan Juniperus sargentii, koleksi Harja, Bandung, memiliki nilai sama 332,50.

Persaingan ketat juga terjadi pada perebutan posisi ke-6 sampai 8. Selisih angka ketiga bonsai hanya 0,75. Demikian pula pada “perburuan” posisi ke-12 sampai 23. Disana terdapat 12 bonsai dengan selisih angka antara peringkat ke-12 dan ke-23 hanya terpaut 4,25.
Sistim baru
Yang menarik pada kontes kali ini, diterapkan penilaian sistim baru. Kriteria yang dinilai hanya 4 yaitu; gerak dasar, yang dinilai akar dan batang; kematangan, untuk menilai cabang, ranting, dan buah; serta keserasian dan kesehatan. Bobot nilai ketiga faktor itu 62,5%. Sementara faktor terakhir, ialah penjiwaan, bobot nilai 37,5%.
Faktor penjiwaan meliputi keseimbangan, sentuhan akhir, kreativitas, dan inovasi pebonsai. Semula kriteria penilaian meliputi 6 hal: akar, batang, 'ranting, daun, mahkota, serta keseimbangan dengan pot. Dengan sistim baru, penilaian subyektif juri diperkecil. Hasilnya, “Tak ada lagi suara bisik-bisik tidak puas,” tutur Jongky B. Sulistyo, dewan juri.
Dari rekapan juri, nilai peserta yang berada pada kisaran 321 sampai 360 masuk kategori baik sekali. Ada 24 bonsai atau 60% masuk kategori itu. Delapan belas pohon masuk kategori baik dengan kisaran nilai 281 sampai 320. Yang masuk kategori cukup hanya 2 pohon dengan nilai 241 sampai 270.
Di kelompok madya, tetap mengacu pada penilaian lama. Sayangnya, hanya 18 pohon yang laik masuk kategori baik sekali dan 87 pohon tergolong baik. Di kelompok itu bonsai buxus terpilih sebagai the best in show. Penampilan bonsai koleksi Lee Kwan Din itu memang sangat baik. Bahkan tak kalah dari peserta kategori utama.