Hermada (Sorghum tricolor) Tawarkan Diri Lagi


Setiap pagi Eko Novianto (11) dan Yuniati Weningtyas (6) selalu menanyakan bubur gondem kesukaan mereka. Jika kebetulan ibu tak memasak pelajar sekolah dasar itu bakal menagih. “Rasanya memang enak dan membuat anak-anak ketagihan,” ujar Mohammad Sriyanto, ayah Eko dan Yuniati itu.

Gondem yang dimaksud pria asal Tegal itu adalah hermada. Menurut Sriyanto, konsultan hermada, penduduk di berbagai daerah seperti Purworejo, Tegal, dan Wonogiri sekarang semakin sering menikmati olahan japanese corn itu.

Selama ini hermada (Sorghum tricolor) acap kali hanya dimanfaatkan sebagai sapu dan alat pembersih lain. Artinya, hanya malai tangkai biji yang digunakan; biji, terbuang.

“Pemanfaatan biji hermada dalam produk pangan tak hanya meningkatkan nilai ekonomi dan citra sebagai bahan pangan. Namun, juga meningkatkan status gizi masyarakat,” ujar DR Ir Herastuti Sri Rukmini, MS, dosen Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Wajar saja, sebab rasa hermada mirip nasi, hanya bentuk dan ukuran yang lebih kecil.

“Dengan demikian cita rasa produk pangan berbahan dasar hermada tidak jauh berbeda dengan yang berbahan beras,” tutur Herastuti. Selain itu kandungan gizi anggota famili Gramineae (rumput-rumputan) itu memang tinggi. Ia mengandung 11% sampai 15% protein (tergantung varietas), 3,1% sampai 4,9% lemak, dan 60% sampai 75% karbohidrat.

Bandingkanlah dengan beras giling. Kandungan ke-3 unsur gizi bahan pangan itu masing-masing 6,8%, 0,7%, dan 78%.

Aneka olahan

Karbohidrat hermada terdiri atas amilosa dan amilopektin yang tersimpan dalam endosperma. Keduanya adalah suatu komponen pati yang merupakan polisakarida. Sedangkan protein dan lemak terdapat di lembaga.

Di balik kelebihannya, hermada ternyata mengandung 1,3% sampai 2,0% tanin. Ia merupakan penghalang terserapnya protein. Namun, dengan penyosohan kadar tanin bisa ditekan. “Jika diolah secara tepat daya cerna protein juga semakin meningkat,” ujar Herastuti.

Salah satu caranya dengan merendam biji yang berukuran 4x2,5 x 3,5 mm itu dalam larutan NaOH (natrium hidroksida) 0,1%. Lama perendaman 12 jam. Dengan teknologi sederhana saja hermada bisa diolah sehingga banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan.

Emmy Muhammad di Tanahabang, Jakarta Pusat, misalnya memanfaatkan biji hermada sebagai bahan brownies, bubur sumsum, dan kue-kue kecil.

Rata-rata setiap bulan ia membutuhkan 300 kg tepung hermada. Sebagian kebutuhan itu diperoleh dari hasil penanaman sendiri. Maklum Kelompok Kenanga yang dipimpinnya membudidayakan hermada di lahan tidur samping Hotel Wisata Jakarta. Dari luasan 8.000 m2 mereka menuai 1,5 ton.

Sayangnya izin pemanfaatannya tak diperpanjang. Mereka pun beralih mengolah lahan tidur lain di Karettengsin, Jakarta, seluas 3.000 m2.

Belum populer

Menurut Herastuti hermada juga bisa diolah menjadi bahan pangan lain seperti mi dan tempe. Agar mi bermutu bagus, hermada dicampur bahan lain semacam sodium tri polyphospate 0,4% dan ovalet 2%. Dengan campuran itu diperoleh mi dengan daya regang tinggi.

Hingga saat ini kedua produk itu belum dibuat massal. Pemanfaatan hermada sebagai bahan pangan memang belum populer. Padahal sudah terbukti, “Pada prinsipnya hermada dapat dijadikan alternatif beras, terigu, jagung, atau kedelai,” kata doktor alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Ia sangat optimis penggunaan hermada bisa diterima masyarakat. Jadi tidak seperti pada 2 tahun silam.

Ketika itu hermada menjadi buah bibir lantaran dapat dimanfaatkan sebagai sapu. Kali ini hermada datang menawarkan diri sebagai bahan pangan olahan.

Jika demikian hogiguza rumput bahan sapu itu menjadi harapan masa depan.Persis seperti harapan P. Pattehe yang pertama kali mengembangkan hermada di Indonesia pada 1970-an.

Yudianto
Yudianto Yudianto adalah seorang penulis di Budidayatani dan Mitrausahatani.com. Ia memiliki hobi di bidang pertanian dan sering menulis artikel terkait teknik budidaya tanaman dan usaha tani. Yudianto berkontribusi dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan inovatif

comments powered by Disqus