Bicara manis, usaha walet memang sangat menggiurkan. Hanya dengan 1kg sarang, berarti uang belasan juta rupiah Anda miliki. Beberapa pengusaha bisa berpenghasilan Rp1-miliar per bulan dari walet. Namun, di balik itu banyak batu sandungan yang harus dilewati. Keinginan mengeruk liur walet butuh modal besar, teknik budidaya rumit, dan ancaman keamanan sangat tinggi.
laporan kami ke beberapa sentra menunjukkan Perkembangan luar biasa. Sampai-sampai di Metro, ampung Tengah beberapa warga memprotes pembangunan rumah walet yang terus berlangsung. Di Jawa maupun luar Jawa bermunculan sentra-sentra baru, seperti di Serpong, Panimbang, Lampung, Batam, dan Medan.
Sentra yang sudah ada pun tak luput dari serbuan investor. Cirebon, Haurgeulis, Pemalang, Pekalongan, Blora, Sedayu, Banyuwangi, kian hari semakin dipadati gedung-gedung kokoh tertutup rapat. Siapa yang tidak tergiur dengan liur berharga ribuan dolar?

Pada saat ini diperkirakan ada sekitar 10.000 rumah walet di Indonesia dari berbagai ukuran. Sebagian besar tersebar di Pulau Jawa. Produksinya mencapai 80ton sampai 100 ton, dengan tingkat perkembangan 5% sampai 10% per tahun. "Belum jenuh, daya dukung masih memungkinkan.
Kecuali di daerah sentra yang terlalu padat," ungkap Boedi Mranata, pengusaha walet di Jakarta. Menurut Boedi, faktor kepadatan inilah yang sering tidak diindahkan calon investor. Akibatnya mereka terperosok.
Rumah walet yang menyerap modal besar tak kunjung menghasilkan. Kenyataan itu mulai dirasakan para pemula. Suhendi yang mencoba memancing walet dengan bangunan 7mx 5,5m setinggi 3 lantai masih harus menanti. Rumah bernilai Rp20-juta itu dibangun 2 tahun lalu (sebelum krisis).
Di Metro juga banyak orang kecele. Harapan masuknya walet hanyalah mimpi indah. Padahal beberapa tahun lalu Metro sempat menghebohkan para pengusaha walet. "Sekali panen bisa langsung 20kg dari sebuah rumah yang baru didirikan," cerita Boedi.
Rumah-rumah walet di sentra yang berpenghuni pun menunjukkan kecenderungan stagnasi produksi. Daya dukung menurun karena pembangunan rumah walet yang tidak sejalan dengan ketersediaan pakan.
Rumah walet semakin banyak, sementara lahan pertanian yang menjadi sumber pakan menyusut drastis. Padahal yang disebut berhasil mengelola rumah walet, tidak sekadar bisa memancing dia masuk rumah. mungkin tercapai di daerah sentra yang tingkat produksi totalnya melebihi 2ton/tahun.
Contoh ada di Haurgeulis. "Rumah berlantai dua di sana, berukuran 7m x 14m, baru menghasilkan 2kg," ucap Masrana. Rumah milik Sekdes Haurgeulis yang telah berpindah tangan ini dibangun 1988, dan mulai berproduksi lons pada 1993. "Penyebabnya populasi walet mencapai titik jenuh," jelas Boedi Mranata.
Haurgeulis dengan tingkat produksi total sarang walet 2.790kg per tahun, berarti ada sekitar 232.559 ekor walet. Kondisi yang sama bisa dialami di daerah Cirebon (2.520kg), Pemalang (3.030kg), Pekalongan (2.13Okg), dan Purwodadi (2.100kg).

Selain diperlukan kecermatan memilih lokasi, diperlukan modal cukup besar untuk membangun rumah walet. "Harga Rumah Walet berukuran 8m x 16m, setinggi tiga lantai, menghabiskan biaya sekitar Rp70-juta," rinci Kiki Ageng Budi, spesialis pembangun rumah walet di Serpong, Tangerang. Biaya akan membengkak jika difasilitasi layaknya rumah walet bintang lima.
"Saya perkirakan habis paling tidak Rp750-juta berikut tanah 1.000m2," tutur Doddy Pramono. Rumah walet yang tengah dibangun di daerah Subang itu berukuran 30m x 12m, setinggi tiga lantai, megah.
Dinding dan lantai dicor setebal 40cm. Bagian dalam ada gerojogan air untuk memberikan kesan alami. Sedang di luar gedung dikelilingi kolam yang dilengkapi air mancur.
Pengusaha sukses di Patrol, Indramayu ini punya obsesi, walet bisa masuk dalam waktu 6 bulan. "Makanya saya buat istimewa," ujar pemilik 2 gedung walet berukuran besar yang salah satunya ditawar Rp2-miliar.
"Memang harus punya modal besar. Kalau hanya Rp200-juta, lebih baik didepositokan," anjur Mulyadi, penggagas real estate walet di Serpong. Seorang yang
akan terjun ke walet minimal punya uang sekitar Rp500-juta, deposito cukup, dan berpenghasilan tetap.
Ucapan ini dibenarkan Gustaf Bram Kolondang, pengusaha yang menekuni jual-beli sarang walet di Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Alasannya, investasi di walet tidak bisa diharapkan dalam waktu dekat. "Ada kemungkinan 5 sampai 6 tahun baru dimasuki seriti," kata hobiis mancing troling itu.
"Jika modal pas-pasan, perkembangan produksi pun akan terpengaruh. Karena, si pemilik tak bisa menahan keinginannya untuk memanen sarang yang jumlahnya baru beberapa buah," Doddy menerangkan. Akibatnya, populasi walet tak bertambah, malah ada kemungkinan kabur karena stres dipanen terus-menerus.
Inilah yang menimpa sebagian besar pemilik rumah walet bermodal cekak "Jangan sekali-kali, membangun rumah walet hasil pinjam uang dari bank. Sebaliknya, investasi di walet harus dianggap sebagai uang hilang, alias tidak ditunggu-tunggu," lanjutnya.

Hanya orang-orang bermodal kuat yang bisa mengelola rumah walet dengan baik dan menguntungkan. Slogan yang kaya semakin kaya berlaku di dunia walet. Sebab mereka bisa menahan sarangnya tak dipanen hingga populasi walet di suatu rumah optimal. "Pada tahun ketiga sebetulnya ada 12 sarang, tapi saya biarkan walet berkembangbiak.
"Seandainya dipanen pun paling cuma 1 ons," tutur pemilik toko swalayan Subur itu. Namun, dengan tak dipanen, satu tahun kemudian sudah ada 120 sarang (lkg). Ia biarkan lagi satu tahun menjadi 5kg. Pada tahun kelima mencapai 10kg. Setelah itu bisa rutin dipanen setiap bulan minimal 10kg.
Pemanenan di rumah walet yang sudah menghasilkan sarang 10kg, dampak stresnya tidak fatal. Walet tetap stres, tapi dia tidak akan kabur, karena di kanan kiri ada sarang anak-anaknya. Kalau produksi masih sedikit, 30% dari sarang yang dipanen, penghuninya kabur.
Keuntungan lain, sarang walet yang dibiarkan tidak dipanen sampai 3 sampai 4 kali berkembangbiak, semakin besar dan tebal. Sarang seperti ini disebut sarang balkon, harganya Rp20-juta sampai Rp24-juta/kg. Sementara yang rusak jumlahnya tidak banyak, hanya 10%.
"Bagi saya investasi yang paling menguntungkan, ya di walet. Deposito di bank tak akan mengejar, sekalipun tingkat bunga pernah mencapai 70% per tahun. Asal, pengelolaannya dilakukan dengan benar," tegas pria yang mengaku bisa berpenghasilan Rp25-juta per dua hari itu.
Di Haurgeulis sebagaimana diinformasikan Doddy ada orang yang berpenghasilan di atas Rp1-miliar per bulan dari liur walet. Rumah waletnya puluhan. Tanahnya saja kalau dijejerkan bisa menghubungkan Patrol hingga Subang.
"Prospek sarang walet 5 sampai 10 tahun ke depan saya kira masih bagus. Kecuali Taiwan dan Cina tiba-tiba perang," Boedi menggambarkan. Pasalnya Cina konsumen utama sarang waletm meski di pasok melalui Hongkong.
Indonesia selama ini menjadi pemasok sarang walet terbesar dunia, mencapai 70% dari kebutuhan. Negara tujuan ekspor antara lain Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Cina.
Belakangan meluas ke Amerika, Kanada, dan daratan Eropa yang ada pemukiman etnis Cina. Volume ekspor sekitar 90% dari total produksi yang terdiri dari 80ton sampai 100 ton sarang rumah, 7ton sarang gua putih, dan 100 ton sarang gua hitam. Selebihnya untuk kebutuhan lokal, seperti hotel-hotel berbintang dan obat tradisional cina.
Permintaan pasar dunia terus naik, "Saat ini mencapai 2 kali lipat dari pasokan. Kesempatan untuk mengembangkan rumah walet masih terbuka luas," Boedi menganalisis. Berapa pun produksi yang dihasilkan pasti akan terserap habis.
Hal ini dibuktikan dengan mudahnya menjual sarang walet. "Para eksportir maupun pedagang pengumpul berebut barang, sehingga persaingan harga teijadi," cerita Abdullah Abdul Kadir Al-Haddad, pedagang telur, piyik, dan sarang walet di Bangil, Pasuruan.
"Betul, permintaan belum terpenuhi. Kalau tidak mana mungkin harga sarang walet terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1975-an harga sarang walet hanya Rp60.000/kg, lalu 1995 Rp4,5-juta, dan saat ini Rp12-juta sampai Rp13-juta. Pernah mencapai Rp19 sampai juta pada waktu kurs dollar terhadap rupiah Rp14.000," papar H. Fatich Marzuki, pakar walet di Jawa Timur.
Jadi, selama mitos sarang walet masih melekat di kalangan orang-orang Cina, pemilik rumah burung akan ayem tentram. Bersenang-senang karena tinggal memetik dan menikmati hasilnya tanpa harus banting tulang.
Seperti itulah yang kini dirasakan Hilal Bahalwan di Gresik yang memiliki rumah walet di Bangil, Pasuruan. Setiap 4 bulan ia memanen sekitar 1,8kg sarang walet dari rumah seluas 6m x 10m yang dibeli 1995 sekitar Rp260-juta.
Dan pada tahun berikutnya hampir bisa dipastikan Hilal akan memetik lebih banyak lagi sarang walet. Pasalnya, sejak April 1999 hingga sekarang, rumahnya yang telah diperluas menjadi 250m2 belum disambangi. Sarang waletnya dibiarkan tidak dipanen, burung diberi kesempatan untuk berkembangbiak.

Ali juga bisa hidup tenang meski, hanya lons sarang walet yang bisa ia panen setiap bulannya. Hasil berjualan cincau atau mengayuh becak sama sekali tak ditargetkan. "Sekadar mencari kesibukan. Penghasilan Rp1-juta per bulan dari walet bagi saya sudah cukup," ungkapnya merendah.
Ali, warga Dangdeur, Balaraja, Tangerang ini mempunyai rumah walet berukuran 5m x 6m. Hasilnya 2ons, tapi ia mendapat setengahnya karena dikontrakkan selama 10 tahun senilai Rp10-juta.
Ali-Ali lainnya tidak terhitung, sebab di Dangdeur ini hampir semuanya punya rumah walet. Yang belum punya segera menutup kamar mandi, warung, atau kamar. Selanjutnya melubangi bagian atas selebar 20cm x 40cm untuk memancing walet masuk.
Jelas, biayanya tak seseram yang ada dibenak calon investor. Cukup Rp1-juta sampai Rp2-juta. "Dan menjual sarang pun bisa ketengan, 1 sampai 2 kuping langsung dibawa ke penampung kala ada keperluan mendadak," jelas Kurdi, warga Dangdeur.
Walet membawa keberuntungan, dan bisa dijadikan investasi abadi. Itu jualah yang memberanikan Nilamsari (namasamaran) menginves sekitar Rp1-miliar di kompleks walet Kademangan, Serpong.
Rumah walet yang akan dibangun di lahan seluas 1.920m2 dibuatnya berukuran 29m x 20m, dengan tinggi 3,5 lantai. Biar usia Nilamsari sudah berkepala lima, tak ada salahnya khan untuk warisan anak cucu. (Karjono)
laporan kami ke beberapa sentra menunjukkan Perkembangan luar biasa. Sampai-sampai di Metro, ampung Tengah beberapa warga memprotes pembangunan rumah walet yang terus berlangsung. Di Jawa maupun luar Jawa bermunculan sentra-sentra baru, seperti di Serpong, Panimbang, Lampung, Batam, dan Medan.
Sentra yang sudah ada pun tak luput dari serbuan investor. Cirebon, Haurgeulis, Pemalang, Pekalongan, Blora, Sedayu, Banyuwangi, kian hari semakin dipadati gedung-gedung kokoh tertutup rapat. Siapa yang tidak tergiur dengan liur berharga ribuan dolar?

Ingat daya dukung
Pada saat ini diperkirakan ada sekitar 10.000 rumah walet di Indonesia dari berbagai ukuran. Sebagian besar tersebar di Pulau Jawa. Produksinya mencapai 80ton sampai 100 ton, dengan tingkat perkembangan 5% sampai 10% per tahun. "Belum jenuh, daya dukung masih memungkinkan.
Kecuali di daerah sentra yang terlalu padat," ungkap Boedi Mranata, pengusaha walet di Jakarta. Menurut Boedi, faktor kepadatan inilah yang sering tidak diindahkan calon investor. Akibatnya mereka terperosok.
Rumah walet yang menyerap modal besar tak kunjung menghasilkan. Kenyataan itu mulai dirasakan para pemula. Suhendi yang mencoba memancing walet dengan bangunan 7mx 5,5m setinggi 3 lantai masih harus menanti. Rumah bernilai Rp20-juta itu dibangun 2 tahun lalu (sebelum krisis).
Di Metro juga banyak orang kecele. Harapan masuknya walet hanyalah mimpi indah. Padahal beberapa tahun lalu Metro sempat menghebohkan para pengusaha walet. "Sekali panen bisa langsung 20kg dari sebuah rumah yang baru didirikan," cerita Boedi.
Rumah-rumah walet di sentra yang berpenghuni pun menunjukkan kecenderungan stagnasi produksi. Daya dukung menurun karena pembangunan rumah walet yang tidak sejalan dengan ketersediaan pakan.
Rumah walet semakin banyak, sementara lahan pertanian yang menjadi sumber pakan menyusut drastis. Padahal yang disebut berhasil mengelola rumah walet, tidak sekadar bisa memancing dia masuk rumah. mungkin tercapai di daerah sentra yang tingkat produksi totalnya melebihi 2ton/tahun.
Contoh ada di Haurgeulis. "Rumah berlantai dua di sana, berukuran 7m x 14m, baru menghasilkan 2kg," ucap Masrana. Rumah milik Sekdes Haurgeulis yang telah berpindah tangan ini dibangun 1988, dan mulai berproduksi lons pada 1993. "Penyebabnya populasi walet mencapai titik jenuh," jelas Boedi Mranata.
Haurgeulis dengan tingkat produksi total sarang walet 2.790kg per tahun, berarti ada sekitar 232.559 ekor walet. Kondisi yang sama bisa dialami di daerah Cirebon (2.520kg), Pemalang (3.030kg), Pekalongan (2.13Okg), dan Purwodadi (2.100kg).

Bisnis Sarang Walet Butuh Modal besar
Selain diperlukan kecermatan memilih lokasi, diperlukan modal cukup besar untuk membangun rumah walet. "Harga Rumah Walet berukuran 8m x 16m, setinggi tiga lantai, menghabiskan biaya sekitar Rp70-juta," rinci Kiki Ageng Budi, spesialis pembangun rumah walet di Serpong, Tangerang. Biaya akan membengkak jika difasilitasi layaknya rumah walet bintang lima.
"Saya perkirakan habis paling tidak Rp750-juta berikut tanah 1.000m2," tutur Doddy Pramono. Rumah walet yang tengah dibangun di daerah Subang itu berukuran 30m x 12m, setinggi tiga lantai, megah.
Dinding dan lantai dicor setebal 40cm. Bagian dalam ada gerojogan air untuk memberikan kesan alami. Sedang di luar gedung dikelilingi kolam yang dilengkapi air mancur.
Pengusaha sukses di Patrol, Indramayu ini punya obsesi, walet bisa masuk dalam waktu 6 bulan. "Makanya saya buat istimewa," ujar pemilik 2 gedung walet berukuran besar yang salah satunya ditawar Rp2-miliar.
"Memang harus punya modal besar. Kalau hanya Rp200-juta, lebih baik didepositokan," anjur Mulyadi, penggagas real estate walet di Serpong. Seorang yang
akan terjun ke walet minimal punya uang sekitar Rp500-juta, deposito cukup, dan berpenghasilan tetap.
Ucapan ini dibenarkan Gustaf Bram Kolondang, pengusaha yang menekuni jual-beli sarang walet di Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Alasannya, investasi di walet tidak bisa diharapkan dalam waktu dekat. "Ada kemungkinan 5 sampai 6 tahun baru dimasuki seriti," kata hobiis mancing troling itu.
"Jika modal pas-pasan, perkembangan produksi pun akan terpengaruh. Karena, si pemilik tak bisa menahan keinginannya untuk memanen sarang yang jumlahnya baru beberapa buah," Doddy menerangkan. Akibatnya, populasi walet tak bertambah, malah ada kemungkinan kabur karena stres dipanen terus-menerus.
Inilah yang menimpa sebagian besar pemilik rumah walet bermodal cekak "Jangan sekali-kali, membangun rumah walet hasil pinjam uang dari bank. Sebaliknya, investasi di walet harus dianggap sebagai uang hilang, alias tidak ditunggu-tunggu," lanjutnya.

Dikuasai Mereka yang bermodal Besar
Hanya orang-orang bermodal kuat yang bisa mengelola rumah walet dengan baik dan menguntungkan. Slogan yang kaya semakin kaya berlaku di dunia walet. Sebab mereka bisa menahan sarangnya tak dipanen hingga populasi walet di suatu rumah optimal. "Pada tahun ketiga sebetulnya ada 12 sarang, tapi saya biarkan walet berkembangbiak.
"Seandainya dipanen pun paling cuma 1 ons," tutur pemilik toko swalayan Subur itu. Namun, dengan tak dipanen, satu tahun kemudian sudah ada 120 sarang (lkg). Ia biarkan lagi satu tahun menjadi 5kg. Pada tahun kelima mencapai 10kg. Setelah itu bisa rutin dipanen setiap bulan minimal 10kg.
Pemanenan di rumah walet yang sudah menghasilkan sarang 10kg, dampak stresnya tidak fatal. Walet tetap stres, tapi dia tidak akan kabur, karena di kanan kiri ada sarang anak-anaknya. Kalau produksi masih sedikit, 30% dari sarang yang dipanen, penghuninya kabur.
Keuntungan lain, sarang walet yang dibiarkan tidak dipanen sampai 3 sampai 4 kali berkembangbiak, semakin besar dan tebal. Sarang seperti ini disebut sarang balkon, harganya Rp20-juta sampai Rp24-juta/kg. Sementara yang rusak jumlahnya tidak banyak, hanya 10%.
"Bagi saya investasi yang paling menguntungkan, ya di walet. Deposito di bank tak akan mengejar, sekalipun tingkat bunga pernah mencapai 70% per tahun. Asal, pengelolaannya dilakukan dengan benar," tegas pria yang mengaku bisa berpenghasilan Rp25-juta per dua hari itu.
Di Haurgeulis sebagaimana diinformasikan Doddy ada orang yang berpenghasilan di atas Rp1-miliar per bulan dari liur walet. Rumah waletnya puluhan. Tanahnya saja kalau dijejerkan bisa menghubungkan Patrol hingga Subang.
Prospek Bisnis Liur Walet Di Masa Depan
"Prospek sarang walet 5 sampai 10 tahun ke depan saya kira masih bagus. Kecuali Taiwan dan Cina tiba-tiba perang," Boedi menggambarkan. Pasalnya Cina konsumen utama sarang waletm meski di pasok melalui Hongkong.
Indonesia selama ini menjadi pemasok sarang walet terbesar dunia, mencapai 70% dari kebutuhan. Negara tujuan ekspor antara lain Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Cina.
Belakangan meluas ke Amerika, Kanada, dan daratan Eropa yang ada pemukiman etnis Cina. Volume ekspor sekitar 90% dari total produksi yang terdiri dari 80ton sampai 100 ton sarang rumah, 7ton sarang gua putih, dan 100 ton sarang gua hitam. Selebihnya untuk kebutuhan lokal, seperti hotel-hotel berbintang dan obat tradisional cina.
Permintaan pasar dunia terus naik, "Saat ini mencapai 2 kali lipat dari pasokan. Kesempatan untuk mengembangkan rumah walet masih terbuka luas," Boedi menganalisis. Berapa pun produksi yang dihasilkan pasti akan terserap habis.
Hal ini dibuktikan dengan mudahnya menjual sarang walet. "Para eksportir maupun pedagang pengumpul berebut barang, sehingga persaingan harga teijadi," cerita Abdullah Abdul Kadir Al-Haddad, pedagang telur, piyik, dan sarang walet di Bangil, Pasuruan.
"Betul, permintaan belum terpenuhi. Kalau tidak mana mungkin harga sarang walet terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1975-an harga sarang walet hanya Rp60.000/kg, lalu 1995 Rp4,5-juta, dan saat ini Rp12-juta sampai Rp13-juta. Pernah mencapai Rp19 sampai juta pada waktu kurs dollar terhadap rupiah Rp14.000," papar H. Fatich Marzuki, pakar walet di Jawa Timur.
Jadi, selama mitos sarang walet masih melekat di kalangan orang-orang Cina, pemilik rumah burung akan ayem tentram. Bersenang-senang karena tinggal memetik dan menikmati hasilnya tanpa harus banting tulang.
Seperti itulah yang kini dirasakan Hilal Bahalwan di Gresik yang memiliki rumah walet di Bangil, Pasuruan. Setiap 4 bulan ia memanen sekitar 1,8kg sarang walet dari rumah seluas 6m x 10m yang dibeli 1995 sekitar Rp260-juta.
Dan pada tahun berikutnya hampir bisa dipastikan Hilal akan memetik lebih banyak lagi sarang walet. Pasalnya, sejak April 1999 hingga sekarang, rumahnya yang telah diperluas menjadi 250m2 belum disambangi. Sarang waletnya dibiarkan tidak dipanen, burung diberi kesempatan untuk berkembangbiak.

Budidaya Walet Di wilayah Dangdeur Balaraja
Ali juga bisa hidup tenang meski, hanya lons sarang walet yang bisa ia panen setiap bulannya. Hasil berjualan cincau atau mengayuh becak sama sekali tak ditargetkan. "Sekadar mencari kesibukan. Penghasilan Rp1-juta per bulan dari walet bagi saya sudah cukup," ungkapnya merendah.
Ali, warga Dangdeur, Balaraja, Tangerang ini mempunyai rumah walet berukuran 5m x 6m. Hasilnya 2ons, tapi ia mendapat setengahnya karena dikontrakkan selama 10 tahun senilai Rp10-juta.
Ali-Ali lainnya tidak terhitung, sebab di Dangdeur ini hampir semuanya punya rumah walet. Yang belum punya segera menutup kamar mandi, warung, atau kamar. Selanjutnya melubangi bagian atas selebar 20cm x 40cm untuk memancing walet masuk.
Jelas, biayanya tak seseram yang ada dibenak calon investor. Cukup Rp1-juta sampai Rp2-juta. "Dan menjual sarang pun bisa ketengan, 1 sampai 2 kuping langsung dibawa ke penampung kala ada keperluan mendadak," jelas Kurdi, warga Dangdeur.
Walet membawa keberuntungan, dan bisa dijadikan investasi abadi. Itu jualah yang memberanikan Nilamsari (namasamaran) menginves sekitar Rp1-miliar di kompleks walet Kademangan, Serpong.
Rumah walet yang akan dibangun di lahan seluas 1.920m2 dibuatnya berukuran 29m x 20m, dengan tinggi 3,5 lantai. Biar usia Nilamsari sudah berkepala lima, tak ada salahnya khan untuk warisan anak cucu. (Karjono)