Soal ikan hias, Singapura dianggap paling jago. Negara pulau itu mampu mengekspor ke seluruh penjuru dunia. Seperti apa sih peternakan ikan di sana? Terangkai acara Aquarama, Kami menyempatkan datang ke tiga farm besar di Singapura. Yang dipilih, Aqua Fauna Fish Industries Pts Ltd, Qian Hu Fish Farm dan Singapore Arowana Breeding Farm.
Mercedes putih keluaran paling anyar itu baru meninggalkan stand Aquarama pukul 11.00 waktu Singapura. Terlambat 1 jam dari yang dijanjikan sehari sebelumnya. Maklum Fong Ching Loon yang mengajak Kami mengunjungi farm kelewat sibuk. Ia baru selesai menemui buyer dari Jerman. Lelaki berusia 60 tahun itu juga menduduki jabatan ketua Asosiasi Eksportir Ikan Hias Singapura.
Beruntung jalan-jalan di Singapura bebas mace. Mobil yang dikemudikan Fong melaju rata-rata 100 km per jam. Jarak dari Singapore Expo, lokasi Aquarama, menuju Jl. Kayu ditempuh selama 20 menit. Di jalan yang masih banyak tanah kosong itu basecamp Aqua Fauna Fish Industries Pte Ltd berada.
Menurut Fong, seputar Jalan Kayu merupakan sentra ikan hias selain Lim Chu Kang. Mereka, para pengusaha, mendapat lahan hak guna usaha dari pemerintah.

Farm-farm yang tersebar di Jl. Kayu tak terlihat mencolok. Bangunannya sederhana mirip gudang. Suasana pun sepi tak seperti di farm-farm ikan hias di Indonesia. Bunyi kecipak air saat pekerja menyerok burayak atau terjun ke kolam sama sekali tak terdengar. "Singapore is high cost, so I‘am not breeding, " ungkap Fong Ching Loon, pemilik Aqua Fauna Fish.
Aqua Fauna memang bukan peternak, melainkan trader. Di ruangan seluas kurang lebih 1.000 m2 itu hanya ada deretan akuarium dan bak-bak semen berisi ikan siap ekspor. Tetra, koi, platy, rainbow, corydoras, dan rednose jenis yang mendominasi. Ikan-ikan itu dikarantina selama 3 sampai 4 hari sebelum diterbangkan ke negara tujuan.
Fong mengekspor ikan-ikannya ke Amerika, Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa. Pengiriman dilakukan setiap hari, tapi secara bergantian. "Volumenya tak bisa dipastikan karena fluktuatif," jelasnya. Namun, ia menyebut omzet setiap bulan S$200,000 sampai SS300.000. Angka itu sudah meliputi farm satunya lagi di daerah Lim Chu Kang.
Farm di Lim Chu Kang lebih besar dan representatif. Luasnya mencapai 1,9 ha. Ada kantor, tempat pengemasan, dan bangunan khusus berisi akuarium serta bak-bak semen.
Farm yang dibangun setahun lalu itu menghabiskan biaya sekitar S$2-juta. "Targetnya, dalam 5 tahun kembali modal," kata Fong. Sama dengan di Jl. Kayu, di sini pun tidak ada sesuatu yang istimewa. Fungsi farm tetap sebagai tempat penampungan ikan, bukan untuk breeding. Hanya saja di beberapa akuarium ada indukan diskus dan manfish yang tengah dicoba diternakkan Fong.

Pemandangan farm yang ada di Fong mengingatkan farm-farm di Indonesia. Misalnya CV Maju Aquarium di Cibinong, CV Vivajaya International di Bekasi, atau farm terbesar Indonesia milik Yohannes Widjaya di Ciseeng, Bogor. Jenis, kualitas, dan kuantitas ikan tidak berbeda. Justru farm di Cibinong milik Jap Khiat Bun ragam jenisnya lebih banyak.
Memang 30% dari volume ekspor didatangkan Aqua Fauna dari eksportir Indonesia, salah satunya Jap Khiat Bun. "Dari Indonesia 10 sampai 20 boks/minggu, kebanyakan tetra dan botia. Maskoki diambil dari Taiwan, " papar Fong. Ikan-ikan lain di datangkan dari Afrika, Thailand, Cina, dan Malaysia, seperti guppy, coridoras, koi, dan platy.
Yang mencolok di sana tandon-tandon air. Tandon berupa cekungan dalam dan lebar yang dibeton itu menempati areal sekitar 1/3 luas farm. Difungsikan menampung air pada saat musim hujan. Isinya puluhan ribu liter. "Air sulit, tidak bisa mengambil dari tanah, sebab di sekeliling laut," Fong menjelaskan.
Sebelum masuk akuarium air tandon diproses ozonisasi agar kandungan oksigen tinggi. "Ozonisasi ini bisa menekan tingkat kematian," kata salah seorang peketja Aqua Fauna. Biaya ozonisasi tentu besar, tapi manfaatnya cukup banyak. Karena dengan ozonisasi itu pula Fong efisien menggunakan tenaga kerja. Penggantian air dan pembersihan akuarium dari lumut dan kotoran dilakukan jarang-jarang.
Selama 2 jam Kami menikmati suguhan pemandangan di Aqua farm ditemani langsung pemiliknya. Kunjungan diteruskan ke farm penghasil arwana. Kebetulan jaraknya tidak jauh. Dalam tempo 3 sampai 4 menit dengan berkendaraan roda empat sudah bisa melihat "kerajaan" Singapore Arwana milik Tan Lee Meng.
Akuarium berisi arwana berderet di samping kanan gerbang masuk. Lebih ke dalam tampak hamparan kolam memenuhi areal seluas 3 hektar. Ukuran kolam beragam mulai dari 8 m x 10 m hingga 20 m x 40 m. Kedalamannya hanya 60 sampai 80 cm, sehingga 4 sampai 5 ekor ikan bisa terlihat jelas. Di tengah kolam ditanam teratai. Di kolam-kolam inilah Lee menangkarkan red, golden, dan silver arwana.
[caption id="attachment_17795" align="aligncenter" width="770"]
farm arwana[/caption]
"Saya mulai buka kolam 1984," tutur Lee dalam dialek cina mandarin. Arwana hasil ternakan Lee sebatas memenuhi pasar lokal. Kalaupun ada yang diekspor melalui Qian Hu Fish Farm. Menurut pegawainya, luasan ini tidak lebih besar dibandingkan penangkaran arwana di Kalimantan. Namun, yang menakjubkan di kolam paling besar terdapat arwana berukuran 1,8 m. Arwana itu muncul kepermukaan saat dipanggil pawang dengan siulan. Itu menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung.
Di Singapore Arwana tak banyak yang bisa disaksikan, selain mengamati satu per satu sosok arwana di akuarium. Proses pemijahan tidak berlangsung setiap saat. Oleh karena itu Kami segera menaiki Kijang jemputan menuju ke Qian Hu Fish Farm Trading. Farm yang disebut-sebut terbesar di Singapura itu berlokasi di Jl. Lekar. Butuh waktu 20 menit untuk mencapainya karena agak jauh dari kawasan peternakan ikan Lim Cu Kang.
Betul, farm arwana yang diawaki Yap Kim Lee itu luar biasa luasnya, 10 ha. Seharian berkeliling untuk mengintip isi akuarium dan kolam-kolamnya mungkin tak selesai. Apalagi topografi lahan bergelombang. Enak dilihat, tapi bikin capai.
Yap Kim Lee sama seperti Fong memilih trading ketimbang breeding. Kolam-kolam terbuka dan akuariumnya dipenuhi ikan-ikan asal Indonesia. Ray Tan Chee Beng yang ditugasi Yap mendampingi Kami mengatakan ada 9 eksportir Indonesia memasok Qian Hu. Jap Khiat Bun salah satu yang disebut. "Selebihnya, rahasia," tutur Ray. Yang jelas Henry Gunawan juga termasuk di dalamnya. Eksportir ikan hias di Jakarta itu memasok cupang hias 400 ekor per minggu.
Sayang, informasi dari Quan Hu tak bisa banyak tergali. Perusahaan yang mendapat ISO 9002 untuk quality management system itu tak mau blak-blakan, alias serba rahasia. Padahal di sisi lain mereka membolehkan siapa saja masuk ke farm tanpa dipungut biaya. Alhasil pada hari-hari libur, puluhan mobil pribadi dan bus pariwisata antri memasuki farm. Namun ingat, bagi Anda yang naik taksi sebaiknya carter jika tak ingin kesulitan pulang.
Mercedes putih keluaran paling anyar itu baru meninggalkan stand Aquarama pukul 11.00 waktu Singapura. Terlambat 1 jam dari yang dijanjikan sehari sebelumnya. Maklum Fong Ching Loon yang mengajak Kami mengunjungi farm kelewat sibuk. Ia baru selesai menemui buyer dari Jerman. Lelaki berusia 60 tahun itu juga menduduki jabatan ketua Asosiasi Eksportir Ikan Hias Singapura.
Beruntung jalan-jalan di Singapura bebas mace. Mobil yang dikemudikan Fong melaju rata-rata 100 km per jam. Jarak dari Singapore Expo, lokasi Aquarama, menuju Jl. Kayu ditempuh selama 20 menit. Di jalan yang masih banyak tanah kosong itu basecamp Aqua Fauna Fish Industries Pte Ltd berada.
Menurut Fong, seputar Jalan Kayu merupakan sentra ikan hias selain Lim Chu Kang. Mereka, para pengusaha, mendapat lahan hak guna usaha dari pemerintah.

Fish Trading
Farm-farm yang tersebar di Jl. Kayu tak terlihat mencolok. Bangunannya sederhana mirip gudang. Suasana pun sepi tak seperti di farm-farm ikan hias di Indonesia. Bunyi kecipak air saat pekerja menyerok burayak atau terjun ke kolam sama sekali tak terdengar. "Singapore is high cost, so I‘am not breeding, " ungkap Fong Ching Loon, pemilik Aqua Fauna Fish.
Aqua Fauna memang bukan peternak, melainkan trader. Di ruangan seluas kurang lebih 1.000 m2 itu hanya ada deretan akuarium dan bak-bak semen berisi ikan siap ekspor. Tetra, koi, platy, rainbow, corydoras, dan rednose jenis yang mendominasi. Ikan-ikan itu dikarantina selama 3 sampai 4 hari sebelum diterbangkan ke negara tujuan.
Fong mengekspor ikan-ikannya ke Amerika, Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa. Pengiriman dilakukan setiap hari, tapi secara bergantian. "Volumenya tak bisa dipastikan karena fluktuatif," jelasnya. Namun, ia menyebut omzet setiap bulan S$200,000 sampai SS300.000. Angka itu sudah meliputi farm satunya lagi di daerah Lim Chu Kang.
Farm di Lim Chu Kang lebih besar dan representatif. Luasnya mencapai 1,9 ha. Ada kantor, tempat pengemasan, dan bangunan khusus berisi akuarium serta bak-bak semen.
Farm yang dibangun setahun lalu itu menghabiskan biaya sekitar S$2-juta. "Targetnya, dalam 5 tahun kembali modal," kata Fong. Sama dengan di Jl. Kayu, di sini pun tidak ada sesuatu yang istimewa. Fungsi farm tetap sebagai tempat penampungan ikan, bukan untuk breeding. Hanya saja di beberapa akuarium ada indukan diskus dan manfish yang tengah dicoba diternakkan Fong.

Kendala Air Tawar
Pemandangan farm yang ada di Fong mengingatkan farm-farm di Indonesia. Misalnya CV Maju Aquarium di Cibinong, CV Vivajaya International di Bekasi, atau farm terbesar Indonesia milik Yohannes Widjaya di Ciseeng, Bogor. Jenis, kualitas, dan kuantitas ikan tidak berbeda. Justru farm di Cibinong milik Jap Khiat Bun ragam jenisnya lebih banyak.
Memang 30% dari volume ekspor didatangkan Aqua Fauna dari eksportir Indonesia, salah satunya Jap Khiat Bun. "Dari Indonesia 10 sampai 20 boks/minggu, kebanyakan tetra dan botia. Maskoki diambil dari Taiwan, " papar Fong. Ikan-ikan lain di datangkan dari Afrika, Thailand, Cina, dan Malaysia, seperti guppy, coridoras, koi, dan platy.
Yang mencolok di sana tandon-tandon air. Tandon berupa cekungan dalam dan lebar yang dibeton itu menempati areal sekitar 1/3 luas farm. Difungsikan menampung air pada saat musim hujan. Isinya puluhan ribu liter. "Air sulit, tidak bisa mengambil dari tanah, sebab di sekeliling laut," Fong menjelaskan.
Sebelum masuk akuarium air tandon diproses ozonisasi agar kandungan oksigen tinggi. "Ozonisasi ini bisa menekan tingkat kematian," kata salah seorang peketja Aqua Fauna. Biaya ozonisasi tentu besar, tapi manfaatnya cukup banyak. Karena dengan ozonisasi itu pula Fong efisien menggunakan tenaga kerja. Penggantian air dan pembersihan akuarium dari lumut dan kotoran dilakukan jarang-jarang.
Farm arwana
Selama 2 jam Kami menikmati suguhan pemandangan di Aqua farm ditemani langsung pemiliknya. Kunjungan diteruskan ke farm penghasil arwana. Kebetulan jaraknya tidak jauh. Dalam tempo 3 sampai 4 menit dengan berkendaraan roda empat sudah bisa melihat "kerajaan" Singapore Arwana milik Tan Lee Meng.
Akuarium berisi arwana berderet di samping kanan gerbang masuk. Lebih ke dalam tampak hamparan kolam memenuhi areal seluas 3 hektar. Ukuran kolam beragam mulai dari 8 m x 10 m hingga 20 m x 40 m. Kedalamannya hanya 60 sampai 80 cm, sehingga 4 sampai 5 ekor ikan bisa terlihat jelas. Di tengah kolam ditanam teratai. Di kolam-kolam inilah Lee menangkarkan red, golden, dan silver arwana.
[caption id="attachment_17795" align="aligncenter" width="770"]

"Saya mulai buka kolam 1984," tutur Lee dalam dialek cina mandarin. Arwana hasil ternakan Lee sebatas memenuhi pasar lokal. Kalaupun ada yang diekspor melalui Qian Hu Fish Farm. Menurut pegawainya, luasan ini tidak lebih besar dibandingkan penangkaran arwana di Kalimantan. Namun, yang menakjubkan di kolam paling besar terdapat arwana berukuran 1,8 m. Arwana itu muncul kepermukaan saat dipanggil pawang dengan siulan. Itu menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung.
ISO 9002
Di Singapore Arwana tak banyak yang bisa disaksikan, selain mengamati satu per satu sosok arwana di akuarium. Proses pemijahan tidak berlangsung setiap saat. Oleh karena itu Kami segera menaiki Kijang jemputan menuju ke Qian Hu Fish Farm Trading. Farm yang disebut-sebut terbesar di Singapura itu berlokasi di Jl. Lekar. Butuh waktu 20 menit untuk mencapainya karena agak jauh dari kawasan peternakan ikan Lim Cu Kang.
Betul, farm arwana yang diawaki Yap Kim Lee itu luar biasa luasnya, 10 ha. Seharian berkeliling untuk mengintip isi akuarium dan kolam-kolamnya mungkin tak selesai. Apalagi topografi lahan bergelombang. Enak dilihat, tapi bikin capai.
Yap Kim Lee sama seperti Fong memilih trading ketimbang breeding. Kolam-kolam terbuka dan akuariumnya dipenuhi ikan-ikan asal Indonesia. Ray Tan Chee Beng yang ditugasi Yap mendampingi Kami mengatakan ada 9 eksportir Indonesia memasok Qian Hu. Jap Khiat Bun salah satu yang disebut. "Selebihnya, rahasia," tutur Ray. Yang jelas Henry Gunawan juga termasuk di dalamnya. Eksportir ikan hias di Jakarta itu memasok cupang hias 400 ekor per minggu.
Sayang, informasi dari Quan Hu tak bisa banyak tergali. Perusahaan yang mendapat ISO 9002 untuk quality management system itu tak mau blak-blakan, alias serba rahasia. Padahal di sisi lain mereka membolehkan siapa saja masuk ke farm tanpa dipungut biaya. Alhasil pada hari-hari libur, puluhan mobil pribadi dan bus pariwisata antri memasuki farm. Namun ingat, bagi Anda yang naik taksi sebaiknya carter jika tak ingin kesulitan pulang.