Seutas Kenyataan dan Harapan di Pundak Vannamei

Daya tahan tubuh cukup tinggi dan mudah dibudidayakan. Itulah keunggulan vannamei dibandingkan windu. Tak heran banyak petambak tergiur mengusahakan si udang putih asal Hawaii itu. Dari Situbondo, Bali, Banyuwangi, Malang Selatan, hingga Lampung Selatan, vannamei menjelma menjadi obat mujarab setelah windu tak mampu lagi menjadi tuan di rumah sendiri.

Kualitas ekosistem tambak menurun ditambah sulit memperoleh benur windu berkualitas berakibat fatal bagi windu. Setelah berjaya belasan tahun nasib Pennaeus monodon perlahan terjerembap. Kehadiran vannamei pada 1999 sebagai pengganti sambil menunggu "tercipta" windu unggul dianggap tepat. Apalagi permintaan vannamei di pasar Eropa dan Amerika cukup tinggi.

Cina dan Taiwan diketahui sudah lama mengembangkan vannamei. Kemampuan adaptasi yang tinggi menjadi alasan Litopenaeus vannamei itu dipilih. Ia mampu hidup disalinitas 5 sampai 45 ppt (salinitas optimal 10 sampai 30 ppt), suhu 24 sampai 32° C (suhu optimal 28 sampai 30° C).

Oksigen terlarut (DO) 0,8 ppm selama 3 sampai 4 hari (DO normal 4 ppm), pH air 7 sampai 8,5, dan Feed Convertion Rate (FCR) < 1,5. Selain itu persentase daging mencapai 66 sampai 68 %, lebih tinggi dibandingkan windu sekitar 62 %.

Dari sisi produktivitas, vannamei juga mumpuni. Uji lapangan pada 2002, produksi tambak per hektar mencapai 7 sampai 10 ton. Jumlah itu melambung pada 2020 mencapai 15 sampai 20 ton per hektar. Untuk size 70 bisa dicapai 70 hari. Size 66 didapat 90 hari dengan SR 75 sampai 90 % dan FCR 1,1 sampai 1,4.

Sebab itu pula, Menteri Kelautan dan Perikanan merilis vannamei sebagai varietas unggul. Melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, PT Central Pertiwi Bahari, PT Alamanda Tjandra, PT Maju Tambak Subur, dan PT Biru Laut Khatulistiwa ditunjuk sebagai pengimpor induk dan benur vannamei di tanah air.


Indikasi virus TSV


Petambak di Jawa Timur, Bali, dan Lampung paling giat mengusahakan vannamei. Induk impor legal dipakai ketiga provinsi itu. Namun, di Jawa Timur, induk illegal dari Taiwan juga dipakai termasuk induk hasil budidaya petambak setempat. Dari hasil pemantauan tidak terdapat perbedaan nyata pada fekunditas dan hatching rate vannamei antara induk hasil budidaya dan impor.

Meski demikian kondisi di lapangan berbeda. Pertumbuhan vannamei kini cenderung lambat. Dari semula rata-rata 2,5 bulan, di Lampung naik menjadi 3 bulan, Jawa Timur, 3,5 bulan, dan Bali, 5 bulan hingga siap panen. Produktivitas pun melorot. Jika sebelumnya rata-rata diperoleh 12 ton/ha, sekarang di Jawa Timur dan Bali, 8 sampai 10 ton/ha, dan Lampung, 4 sampai 6 ton/ha.

Size udang pun ikut jatuh. Di Jawa Timur, semula rata-rata 70 ekor/kg menjadi 80 sampai 90 ekor/kg dan Bali, 60 sampai 70 ekor/kg. Kecuali di Lampung justru menjadi lebih besar, semula 70 sampai 80 ekor/ kg menjadi 50 sampai 60 ekor/kg. Harga juga menurun tajam, di Jawa Timur dari Rp 70.000/kg melorot menjadi Rp27.500 sampai Rp35.000/kg. Begitu pula Bali menjadi Rp32.000-Rp34.000/kg.

Masuknya virus TSV yang dulu dikhawatirkan jadi kenyataan. Hingga Mei 2020 di Jawa Timur tampak indikasi gejala klinis TSV terhadap induk[1]. Itu ditandai bintik merah dan hitam pada ekor. Menginjak Agustus 2020 korban bertambah banyak. Setidaknya mayoritas vannamei terdiagnosa TSV.

Biang keladi TSV diduga dibawa oleh induk asal Taiwan. Sebab itu sekarang impor induk asal Taiwan tidak direkomendasikan. Di Lampung dan Jawa Timur terdeteksi white spot. Kondisi aman terjadi di Bali.

Semua itu bukan tanpa sebab. Awalnya induk vannamei yang digunakan diimpor dari Hawaii, USA. Seiring tingginya permintaan benur, pemakaian induk hasil budidaya dilakukan. Sayang, hal tersebut tidak mempertimbangkan mutu genetik. Cukup pemeliharaan 4 sampai 5 bulan vannamei menjadi induk.

Dampaknya, tanpa tahu asal-usul calon induk terjadi penurunan sifat genetik. Itu terlihat dari laju pertumbuhan, kelangsungan hidup,kemampuan mengkonversi pakan, resistensi penyakit, dan ketahanan terhadap perubahan lingkungan lebih rendah.

Pemakaian induk budidaya berulang-ulang menyebabkan inbreeding. Penurunan kualitas terjadi lebih cepat saat calon induk dari petambak, benurnya berasal dari hatchery yang sama. Efeknya fekunditas induk betina menurun. Mutu telur juga melorot sehingga berakibat penurunan mutu benur, pertumbuhan benur lambat, dan tidak seragam. Daya tahan tubuh pun ikut berkurang dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.

[caption id="attachment_17250" align="aligncenter" width="770"]panen Vannamei Vannamei banyak di konsumsi di Eropa dan Amerika[/caption]

National Broodstock Center (NBC)


Vannamei termasuk komoditas ekspor. Indonesia sebagai pemain baru harus siap bersaing. Negara pesaing seperti Cina mengalami peningkatan permintaan sebesar 113 % per tahun. Jika Indonesia ingin ikut bermain, mutu udang harus diperbaiki dan ditingkatkan.

Sarana dan prasarana di tambak hendaknya dimanfaatkan efektif dan efisien. Contoh saluran pemasukan dan pembuangan harus terpisah dan besarnya memadai. Jalur hijau serta penyangga di sepanjang pantai dan di kiri-kanan tambak dibuat permanen, serta pengelolaan limbah dibuat terpadu.

Vannamei yang masuk ke Indonesia sebetulnya bebas virus. Namun mengapa terjangkit TSV? Teknologi pengelolaan tambak yang salah dan kondisi lingkungan buruk menyebabkan virus aktif kembali dan menyebar ke mana-mana. Inilah awal bencana yang harus ditanggung oleh petambak.

Untuk itu teknologi ramah lingkungan harus diterapkan, di antaranya rehabilitasi hutan mangrove, obat kimia toksik termasuk antibiotik perlu ditinggalkan, dan penggunaan probiotik dengan cara yang benar.

Beberapa strategi harus ditempuh untuk memperbaiki kualitas induk. Salah satunya dengan membuat National Broodstock Center (NBC). Untuk merealisasikan NBC memang butuh waktu[2].

Petambak disarankan melakukan breeding selektif baik terhadap induk impor yang dikawinkan dengan induk hasil seleksi lokal maupun perkawinan antarinduk budidaya. Setelah itu dilakukan seleksi ketahanan terhadap penyakit melalui tes pathologi dan PCR.

Perbaikan kualitas benur dilakukan dengan memperbaiki sistem pemeliharaan. Standar Nasional Indonesia Perbenihan Perikanan untuk vannamei perlu dibuat dan segera disosialisasikan sebagai acuan pelaksanaan sertifikasi mutu benih.

Langkah awal mendapatkan benur berkualitas adalah melakukan test virus dengan metoda PCR ke laboratorium penyakit terdekat. Mulai stadia Nauplius, PL-1 dan PL siap jual. Selain itu juga dilakukan screening benur seperti yang dilakukan oleh hatchery.

Penggunaan teknik budidaya ramah lingkungan. Sasaran utama penerapan sistem budidaya ramah lingkungan adalah meminimalkan buangan limbah organik, mencegah penyebaran penyakit, dan menetralkan bahan kimia. Teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan seperti sistem tertutup (close system) dan sistem terbuka (open system) perlu diberdayakan.

Dalam menanggulangi permasalahan secara cepat dan tepat diperlukan sistem informasi dan jaringan yang kuat antarpetambak maupun dengan pihak pemerintah terkait. Sistem informasi ini dapat melalui media cetak dan media elektronik.(Pandu Dwilaksono)


Referensi


[1] “Deteksi Taura Syndrome Virus (TSV) pada Udang Beku.” Unair News, 19 May 2021, http://news.unair.ac.id/2021/05/19/deteksi-taura-syndrome-virus-tsv-pada-udang-beku/.


[2] “KKP Bangun Pusat Pengembangan Induk Ikan Unggul Nasional | Ekonomi.” Bisnis.com, 31 Jan. 2020, https://ekonomi.bisnis.com/read/20200131/99/1195775/kkp-bangun-pusat-pengembangan-induk-ikan-unggul-nasional.



Posting Komentar