Sambil mendorong kereta kayu, Dedi Gunawan berjalan menyusuri lorong di antara rak-rak tanaman. Di greenhouse ke-2, ia mengangkat gusmania dari rak. Diamatinya kesehatan tanaman dan harga yang tertera di pot.
Merasa cocok dan harga sebanding mutu, anggota nanas-nanasan itu diletakkannya di kereta dorong. Ia lalu ke ruang berikutnya. Di sana, karyawan perusahaan pengembang itu memilih satu pot dendrobium putih seharga Rp40.000. Dalam tempo 30 menit 3 pot tanaman dan beberapa peralatan berkebun pindah ke kereta dorong.
Berbelanja di pasar swalayan khusus itu dilakukan Dedi Gunawan untuk ke-2 kalinya sejak gerai itu dibuka pada Agustus silam. Biasanya, ia membeli tanaman di pedagang di pinggir jalan. Venita, nama pasar swalayan itu jadi pilihan lantaran, “Jenis lengkap, suasana enak, dan tidak perlu tawar-menawar. Toh harga tidak jauh beda dengan penjual di pinggir jalan,” ungkap staf PT Nusa Sumatera Indah itu. Hari itu ia membeli gusmania, paku-pakuan, dan anggrek total senilai Rpl 10.000.
[caption id="attachment_17686" align="aligncenter" width="296"]
Harga pas langsung diangkat[/caption]
Venita Nurseri memang tak ubahnya pasar swalayan umum. Di tempat itu dipajang segala jenis tanaman. Ada sekitar 2.000 pot ditata di atas rak yang dirancang khusus. Jenisnya pun amat beragam, dari tanaman dataran rendah hingga tinggi. Beragam anggrek, kaktus, pakis, tanaman indoor, dan tanaman gantung ada di sana.
Tanaman dikelompokkan berdasarkan persamaan kondisi lingkungan. Di ruang pertama dipajang aneka jenis anggrek bulan segala umur. Areal itu paling sejuk karena jumlah sinar matahari yang masuk dibatasi hanya 20 sampai 30%, disesuaikan dengan kebutuhan anggrek bulan. Bangunan berikutnya berturut-turut diisi indoor plant, anggrek oncidium dan dendrobium, pakis-pakisan, serta kaktus dan sukulen.
Menyediakan tanaman selengkap mungkin jadi obsesi Pami Hernadi, pemilik Venita Nurseri. Ia mengalokasikan dana lebih dari Rp350-juta untuk mewujudkannya. Untuk menekan biaya mantan dosen di Universitas Parahyangan, Bandung, itu merancang bangunan dan mengawasi sendiri pelaksanaan. Maksudnya agar biaya bisa ditekan. Setelah 8 bulan, bangunan siap diisi. Namun, mengisi tanaman tidak mudah.
[caption id="attachment_17687" align="aligncenter" width="770"]
Aneka jenis bisa dijumpai[/caption]
Untuk anggrek bulan dan kaktus, tidak menjadi masalah karena Pami dan keluarga bergelut di komoditas itu. Tanaman hias lainnya ia peroleh dari pekebun di seputaran Bandung, Cibodas, Lembang, Puncak, dan Jakarta. Karena langsung berhubungan dengan produsen harga relatif murah. Toh kualitas tanaman tetap diutamakan.
Ide pasar swalayan tanaman hias mengacu pada konsep one stop shopping. Pembeli cukup datang ke satu tempat untuk membeli aneka tanaman dan peralatan. Konsep itu pernah pula dikembangkan oleh Lush Grow di Villa Melati Mas, Tangerang. Sayang, perusahaan itu kemudian tutup.
Pasar swalayan di bidang pertanian lain ialah ACE Hardware. Ia bisa dijumpai dibeberapa mal seperti Lippo Karawaci, Megamal Pluit, Pasar Raya, dan Mal Puri Indah. Namun, perusahaan dari Amerika Serikat itu lebih mengutamakan peralatan bercocok tanam. Tanaman hanya sebagai pelengkap. Demikian pula pasar kulakan seperti Goro dan Carrefour, keduanya menyediakan tanaman dan sarana produksi, tetapi dengan jumlah amat terbatas. Venita Nurseri lebih lengkap.
Dibanding Waterdrinkler dan ISA, pasar swalayan di areal Cultra, Aalsmeer, Belanda, Venita, memang jauh di bawahnya. Mega pasar swalayan itu diisi jutaan tanaman dari berbagai negara. Ruang pamer didesain tak ubahnya toko kulakan yang menjamur di kota-kota besar di Indonesia. Namun, kenyamanan berbelanja dan belajar dikesampingkan. Beda dengan Venita, pengunjung bisa santai melihat-lihat tanaman dan mendapat penjelasan dari pramuniaga.
Bahkan pasar swalayan di Lembang, Bandung itu dilengkapi kafe organik dan taman bermain anak. Setelah lelah berputar-putar, pengunjung bisa duduk-duduk di seperangkat kursi dan meja yang disediakan di setiap perbatasan ruangan. Desain bangunan yang tampak rapi dan artistik membuat pengunjung betah berlama-lama. (Pandu Dwilaksono)
Merasa cocok dan harga sebanding mutu, anggota nanas-nanasan itu diletakkannya di kereta dorong. Ia lalu ke ruang berikutnya. Di sana, karyawan perusahaan pengembang itu memilih satu pot dendrobium putih seharga Rp40.000. Dalam tempo 30 menit 3 pot tanaman dan beberapa peralatan berkebun pindah ke kereta dorong.
Berbelanja di pasar swalayan khusus itu dilakukan Dedi Gunawan untuk ke-2 kalinya sejak gerai itu dibuka pada Agustus silam. Biasanya, ia membeli tanaman di pedagang di pinggir jalan. Venita, nama pasar swalayan itu jadi pilihan lantaran, “Jenis lengkap, suasana enak, dan tidak perlu tawar-menawar. Toh harga tidak jauh beda dengan penjual di pinggir jalan,” ungkap staf PT Nusa Sumatera Indah itu. Hari itu ia membeli gusmania, paku-pakuan, dan anggrek total senilai Rpl 10.000.
[caption id="attachment_17686" align="aligncenter" width="296"]

Venita Nurseri memang tak ubahnya pasar swalayan umum. Di tempat itu dipajang segala jenis tanaman. Ada sekitar 2.000 pot ditata di atas rak yang dirancang khusus. Jenisnya pun amat beragam, dari tanaman dataran rendah hingga tinggi. Beragam anggrek, kaktus, pakis, tanaman indoor, dan tanaman gantung ada di sana.
Murah meriah
Tanaman dikelompokkan berdasarkan persamaan kondisi lingkungan. Di ruang pertama dipajang aneka jenis anggrek bulan segala umur. Areal itu paling sejuk karena jumlah sinar matahari yang masuk dibatasi hanya 20 sampai 30%, disesuaikan dengan kebutuhan anggrek bulan. Bangunan berikutnya berturut-turut diisi indoor plant, anggrek oncidium dan dendrobium, pakis-pakisan, serta kaktus dan sukulen.
Menyediakan tanaman selengkap mungkin jadi obsesi Pami Hernadi, pemilik Venita Nurseri. Ia mengalokasikan dana lebih dari Rp350-juta untuk mewujudkannya. Untuk menekan biaya mantan dosen di Universitas Parahyangan, Bandung, itu merancang bangunan dan mengawasi sendiri pelaksanaan. Maksudnya agar biaya bisa ditekan. Setelah 8 bulan, bangunan siap diisi. Namun, mengisi tanaman tidak mudah.
[caption id="attachment_17687" align="aligncenter" width="770"]

Untuk anggrek bulan dan kaktus, tidak menjadi masalah karena Pami dan keluarga bergelut di komoditas itu. Tanaman hias lainnya ia peroleh dari pekebun di seputaran Bandung, Cibodas, Lembang, Puncak, dan Jakarta. Karena langsung berhubungan dengan produsen harga relatif murah. Toh kualitas tanaman tetap diutamakan.
Di satu tempat
Ide pasar swalayan tanaman hias mengacu pada konsep one stop shopping. Pembeli cukup datang ke satu tempat untuk membeli aneka tanaman dan peralatan. Konsep itu pernah pula dikembangkan oleh Lush Grow di Villa Melati Mas, Tangerang. Sayang, perusahaan itu kemudian tutup.
Pasar swalayan di bidang pertanian lain ialah ACE Hardware. Ia bisa dijumpai dibeberapa mal seperti Lippo Karawaci, Megamal Pluit, Pasar Raya, dan Mal Puri Indah. Namun, perusahaan dari Amerika Serikat itu lebih mengutamakan peralatan bercocok tanam. Tanaman hanya sebagai pelengkap. Demikian pula pasar kulakan seperti Goro dan Carrefour, keduanya menyediakan tanaman dan sarana produksi, tetapi dengan jumlah amat terbatas. Venita Nurseri lebih lengkap.
Dibanding Waterdrinkler dan ISA, pasar swalayan di areal Cultra, Aalsmeer, Belanda, Venita, memang jauh di bawahnya. Mega pasar swalayan itu diisi jutaan tanaman dari berbagai negara. Ruang pamer didesain tak ubahnya toko kulakan yang menjamur di kota-kota besar di Indonesia. Namun, kenyamanan berbelanja dan belajar dikesampingkan. Beda dengan Venita, pengunjung bisa santai melihat-lihat tanaman dan mendapat penjelasan dari pramuniaga.
Bahkan pasar swalayan di Lembang, Bandung itu dilengkapi kafe organik dan taman bermain anak. Setelah lelah berputar-putar, pengunjung bisa duduk-duduk di seperangkat kursi dan meja yang disediakan di setiap perbatasan ruangan. Desain bangunan yang tampak rapi dan artistik membuat pengunjung betah berlama-lama. (Pandu Dwilaksono)