Selasa, 25 Juni 2019

Analisis Kendala Dan Keuntungan Budidaya Tomat Skala Besar

Dari Denpasar Ida Ayu Martini menuju Malang. Sebelumnya Ida ke Bedugul—sentra sayuran di Bali. Ia terpaksa bergerilya mencari tomat hingga ke Jawa Timur karena tomat langka. Sayang, pemasok beragam sayuran itu gagal memperoleh tomat. Permintaan 500 kg hanya dapat dipenuhi 50 – 100 kg per hari.

Saking langkanya, manajer PT DIF Nusantara itu melakukan pembelian tomat skala kecil 25 -50 kg. Tomat lokal yang dibelinya dengan harga Rp 6.000 itu untuk menambah tomat kualitas super yang dipesan pasar swalayan dan hotel. “Akibat pasokan kurang, yang lokal pun diterima,” ujarnya.

Tak hanya Pulau Dewata yang merasakan kelangkaan. Pemasok di Garut. Lembang, Cianjur, dan Sukabumi (Jawa Barat) mengalami hal sama. Musababnya, luas penanaman pada Januari—Februari 2018 menurun. Misalnya, di Garut hanya 500 ha, padahal penanaman tahun sebelumnya mencapai 5.000 ha.

Budidaya Tomat
Tomat diburu bandar

Penurunan itu dipicu oleh anjloknya harga pada Oktober 2003. Saat itu harga cuma Rp200 per kg. Pekebun jelas babak belur dihajar anjloknya harga. Soalnya untuk memproduksi 1 kg tomat dibutuhkan biaya Rp750 – Rp 1.000. “Banyak pekebun yang mengurangi luas tanam,” kata Margono, pengamat usaha tani tomat.

Sepanjang 2003 harga hanya bagus di 2 minggu terakhir pada Maret, yakni Rp 2.500 per kg di Pasar Induk Kramatjati. Setelah itu harga terus-menerus turun di bawah Rp 500. Di tingkat pekebun, harga tentu lebih menukik Toh banyak pekebun tak jera menanam kerabat terung itu. Mereka kembali membudidayakan tomat 3 bulan menjelang Lebaran.

Harapannya saat panen pas Idul Fitri, harga bakal terdongkrak. Faktanya harga cuma terkerek menjadi Rp1.000 per kg. Trauma itulah yang menyebabkan pekebun mengurangi areal penanaman tomat.

Berani dan bermodal

Hanya pekebun berani dan bermodal kuat yang setia menanam tomat pada November 2003. Pasalnya, pertanaman saat itu yang kerap diguyur hujan rawan terserang penyakit layu. Pekebun pun hanya mampu menanam setengah dari luasan semula karena kehabisan modal.

Pekebun yang menanam pada November 2003 itulah yang menangguk untung. Contoh, Supendi. Pekebun di Desa Pasawahan, Kecamatan Takokak, Cianjur, itu menanam 13.000 bibit di lahan 1 ha. Saat panen perdana, ia menuai harga Rp2.500 per kg. Lonjakan harga seolah tak tertahankan. Seiring dengan meningkatnya volume panen, harga terus membumbung menjadi Rp4.700 per kg.

Pantas bila pundi-pundi Supendi menggelembung. Saat ditemui budidayatani, ia memperlihatkan segepok kuitansi hasil penjualan. Total jenderal laba bersih yang diraup ayah 3 anak itu Rp80-juta.

Puncaknya, harga tomat di Pasar Induk Kramatjati mencapai Rp5.000 per kg pada minggu terakhir Maret 2018. Bila dirata-rata, harga di bulan itu Rp3.000/kg. Bahkan, tomat kualitas swalayan lebih mahal, mencapai Rp6.000—Rp7.000/kg. Di Malang, Jawa Timur harga tak jauh berbeda. Akhir Februari mencapai Rp3.500 dan turun di akhir Maret, Rp2.000/kg. Namun, itu masih menguntungkan karena biaya produksi pekebun Jawa Timur, hanya Rp500 per tanaman. Biaya bisa ditekan karena menggunakan lahan bekas cabai.

Harga tomat pada 2018 ini memang menakjubkan. Sebab sejak 5 tahun terakhir belum ada lonjakan setinggi itu. Buktinya, harga pada Lebaran 2002 saja hanya Rp1.000 per kg. Begitu pula pada tahun-tahun sebelumnya tak pernah menembus angka Rp2.500. Wajar pemain tomat bersukaria pada tahun monyet ini.

Tengok saja keuntungan yang diraih oleh Mamat Witarsa, pekebun di Desa Mekarwangi, Kecamatan Tarogong, Garut. Hanya dengan luasan 0,5 ha ia mengantongi Rp80-juta. Empat hari sekali pria berkumis itu mengirim 1 truk tomat atau 4 ton ke Pasar Cibitung, Bekasi. Laba yang diperoleh Masriyo, pekebun di Desa Langeunsari, lebih besar lagi (baca: Perkebunan Membuahkan Untung) Rp200-juta dari luasan 4 ha.

Yang juga mencecap manisnya bisnis tomat adalah Cucup AC. Bandar tomat berbendara UD Sayur Mayur Asgar, di Kecamatan Pasirwangi, Garut, itu pun meraup laba besar. Saat harga tomat di Pasar Kramatjati Rp5.000 per kg, ia membeli tomat seharga Rp3.500 – Rp4.000 dari pekebun di Kecamatan Pasirwangi, Sukaresmi, dan Samarang. Setiap hari 5 – 6 ton tomat dikirim ke Kramatjati. Keuntungan kotor Rp 5-juta –  Rp6-juta dikantongi per hari.

Budidaya Tomat
Penanaman meluas dikhawatirkan harga anjlok

Harga Benih naik

Keuntungan tinggi yang diperoleh pekebun tomat itu memacu pekebun lain untuk menanamnya. Itu tercermin dari meningkatnya penjualan benih. PT East West Seed Indonesia misalnya, selama triwulan pertama 2018 sudah menyalurkan 40 kg benih atau setara 500 ha untuk wilayah Garut. “Saya prediksi hingga semester pertama bisa mencapai 2 kali lipat,” kata Margono, manajer area wilayah Jawa Barat. Menurut Yohanes Sukoco, manajer PT East West Seed Indonesia, penjualan benih tomat untuk seluruh sentra pada saat normal hanya 50 kg/bulan. Sekarang mencapai 100 kg per bulan.

PT Tunas Agro Persada yang memasarkan benih dari perusahaan Taiwan, Qiang Nong Seed merasakan hal yang sama. Menurut, Ir Nurjaya, manajer area Jawa Bagian Barat dan Sumatera, permintaan benih triwulan pertama 2018 di wilayah Cianjur dan Sumatera meningkat hingga 30 – 40% dibanding tahun lalu. Ia bisa menyumbangkan 25% benih tomat di kedua kabupaten itu yang luasnya mencapai 100 – 200 ha. Prediksinya 3 – 6 bulan mendatang, areal penanaman tomat di daerah itu meningkat hingga 300—400 ha.

Naiknya permintaan benih tomat tidak hanya dirasakan di Jawa Barat, tapi juga secara nasional. PT Joro telah merasakan hal itu sejak Januari 2018. Pada bulan itu perusahaan menjual 320.000 benih. Padahal rata-rata penjualan benih per tahun 620.000 benih. Artinya penjualan di bulan itu sudah mencapai separuh volume penjualan selama 1 tahun. “Pasar mulai tumbuh,” kata Edi Sugiyanto dari Joro. Lampu kuning

Berkembangnya areal pertanaman tomat akibat naiknya harga selama Februari hingga April itu mesti diwaspadai. Pasalnya, bila pekebun lain latah ikut menanam, produksi bakal berlimpah sehingga harga kembali anjlok. Padahal, kemampuan pasar menyerap tomat tak banyak berubah dari tahun ke tahun.

Menurut Dede Mulyana, bandar besar di Cianjur dan Sukabumi. Pasar Induk seperti Kramatjati, Tanahtinggi, Cibitung masing-masing hanya menyerap 200 ton per hari. Memang ada peningkatan permintaan tomat pada hari-hari tertentu, seperti Lebaran, Natal, dan Imlek. Namun, itu tidak signifikan menaikkan harga. “Pada hari besar permintaan hanya meningkat 2% di setiap pasar,” ujar pria bertubuh tinggi besar itu.

Kelebihan pasokan pun pernah dirasakan pada awal April 2018, harga di pasar turun menjadi Rp2.000-an karena tak ada yang membeli. Kelebihan pasokan akan semakin tak terbendung bila pekebun di Tanggamus dan Liwa (Lampung), Malang (Jawa Timur) bergairah kembali menanam tomat.

Bila itu terjadi, tragedi banjir tomat tahun lalu akan terulang lagi. Bukan tak mungkin harga kembali jatuh sampai Rp200 per kg. Pekebun yang saat ini sedang menanam siap-siaplah untuk rugi. Walau begitu, beberapa pengamat tomat yakin harga masih stabil di kisaran Rp3.000 hingga Juli dan Agustus 2018. Soalnya, ratusan hektar lahan tomat di Garut yang menggunakan lahan Kehutanan berhenti menanam. Menurut mereka, harga di atas Rp1.000/kg pekebun dapat untung. Sebab biaya produksi per tanaman Rp 1.500 – Rp2.000. Produksi per tanaman lebih dari 2,5 kg.

Document last updated at: Selasa, 25 Jun 2019