Jumat, 24 Mei 2019

Budidaya Lidah Buaya Di Agropolitan Pontianak

Sejumlah US$13.000. Itulah target pendapatan per kapita per tahun penduduk kota Pontianak pada 2005. Sebuah angka yang niscaya diraih bila rencana pengembangan agroindustri lidah buaya dari hulu ke hilir bergulir lancar.

Sebutlah kata Pontianak. Maka di benak sebagian orang melintas tentang pepaya pontianak yang berukuran mungil. Namun, tak salah pula bila yang teringat adalah lidah buaya.

Aloe vera memang salah satu produk andalan ibukota Provinsi Kalimantan Barat. Tercatat selama September 2000 Agustus 2003, sebanyak 2.742 ton daun lidah buaya segar dikirim ke Jakarta, Hongkong, dan Malaysia. Dengan harga jual minimal Rp1.000/kg pelepah, maka Rp2,742-miliar mengalir masuk ke Pontianak selama periode itu.

Nilai itu belum termasuk penjualan produk-produk olahan lidah buaya. Sekadar menyebut contoh, 6.000 ton nata de aloe dikirim Inaco produsen di Pontianak ke Jepang. Industri rumah tangga mengolah tanaman sukulen itu menjadi dodol, manisan, dan selai

Budidaya Aloe Vera Menggunakan teknologi

Melihat potensi itu, wajar bila lidah buaya menjadi produk unggulan megaproyek bernama agropolitan. Proyek itu meliputi areal seluas 800 ha terletak di 3 desa di Kecamatan Pontianak Utara. Yaitu Siantan Hulu, Siantan Tengah, dan Siantan Hilir. Pengembangan lidah buaya direncanakan seluas 400 ha, meliputi lahan budidaya ,aloe Vera Center (AVC), dan pabrik pengolahan. Saat ini lahan yang dimanfaatkan untuk pengembangan lidah buaya baru 161 ha.

Keberadaan AVC dimaksudkan sebagai sarana pengawal teknologi. Sekadar contoh, menurut penelitian teranyar yang dirilis jurnal Agrofood and Chemical dari Amerika Serikat, lidah buaya mengandung zat yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh.

Dalam jangka panjang ia potensial dimanfaatkan sebagai obat HIV/AIDS. Zat itu paling banyak terdapat di ujung pelepah Aloe vera sinensis jenis asli Indonesia. Karena faktor ketidaktahuan, selama ini ujung pelepah dibuang karena tidak berharga.

Nantinya, AVC diarahkan menjadi lembaga sertifikasi produk-produk lidah buaya. Itulah yang dilakukan AVC di Arizona, Amerika Serikat, yang merupakan pusat riset lidah buaya terbesar di dunia. Bidang riset AVC pun tak melulu lidah buaya.

Ke depan lembaga itu menjadi lembaga riset untuk komoditas lain, seperti anggrek dan sayuran yang juga dikembangkan di kawasan agropolitan.

Kualitas Lidah Buaya Yang Lebih unggul

Lidah buaya dipilih sebagai pilot project karena mempunyai nilai jual dan nilai tambah tinggi, serta berorientasi pasar ekspor. Kualitas Aloe vera lokal tak kalah dengan A. barbadensis yang banyak dikembangkan di Amerika Serikat.

Justru A. sinensis memiliki zat antikanker, HIV/AIDS, dan SARS lebih banyak. Amerika Serikat tidak bisa membudidayakan A. sinensis karena jenis itu membutuhkan curah hujan tinggi. Sebaliknya A. barbadensis tumbuh subur di Indonesia.

Dengan limpahan cahaya matahari dan air, lidah buaya di Indonesia dipanen setiap bulan. Di Amerika Serikat pelepah siap tuai 3 bulan sekali. Di musim dingin produksi berhenti. Wajar harga jual tinggi. Bila penanaman di Indonesia dioptimalkan, lidah buaya jelas unggul secara komparatif dan kompetitif.

Tujuan akhir megaproyek itu tentu saja meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlibat di dalamnya. Dengan luas penanaman 1 ha, pekebun minimal menuai 8 ton pelepah per bulan. Itu dengan asumsi populasi 8.000 rumpun per ha dan bobot pelepah mencapai 1 kg. Setiap kali panen, satu pelepah dituai. Harga jual di tingkat pekebun minimal Rp 1.000 per kg.

Berarti pekebun memperoleh pendapatan sebesar Rp8-juta per bulan. Bila sepanjang tahun lidah buaya dipanen, berarti Rp96-juta per tahun masuk ke kantong. Dengan modal awal Rp18-juta sampai Rp21-juta, keuntungan diperoleh pekebun mencapai Rp75-juta sampai Rp78-juta atau 85% dari biaya.

Dongkrak pendapatan

Katakanlah 750 ha kawasan agropolitan ditanami lidah buaya. Dengan asumsi sama, maka Rp72-miliar berputar di sana. Bila nilai itu dibagikan kepada 2.000 KK yang direncanakan terlibat, berarti pendapatan per kapita per tahun mencapai Rp38-juta atau sekitar US$4.000 (kurs US$l=Rp8.000).

Nilai itu semakin besar bila lidah buaya diolah, misal menjadi minuman. Dari sekilo pelepah segar dihasilkan 0,3 kg minuman.

Harganya menjadi Rp5.000 per kg. Omzet berputar mencapai Rp 108-miliar atau setara pendapatan per kapita US$13.000. Jauh di atas pendapatan rata-rata penduduk Indonesia saat ini yang hanya US$700. Itu belum termasuk efek domino munculnya industri pembuatan peti, buruh pekerja, hingga penyediaan transportasi.

Peluang lain, mengolah lidah buaya menjadi tepung untuk industri kosmetik. PT Martina Bertho setiap bulan mengimpor 5 ton tepung dari Amerika Serikat. Padahal kualitas tepung A. sinensis hasil uji lab AVC diakui Martha Tilaar pemilik Martina Bertho lebih bagus daripada yang impor.

Oleh karena itu, pihak swasta bekerjasama dengan BPPT berencana mengelola pabrik pengolahan tepung. Kapasitas produksi 1 ton per hari dari 200 ton basah. Artinya agar perusahaan berproduksi kontinu dibutuhkan panen dari 25 ha per hari. Atau 750 ha setiap bulan bila pabrik beroperasi selama 30 hari. Itu hampir seluas rencana agropolitan yang 800 ha.

Di luar lidah buaya, di lokasi agropolitan juga dikembangkan beragam komoditas ungul lain yang secara tradisional sudah diusahakan di sana. Sebut saja pepaya, jagung, beragam jenis sayuran, anggrek, serta peternakan dan rumah potong hewan.

Pasar swalayan Hero dan Carrefour sudah melayangkan permintaan akan pepaya pontianak. Sayang keterbatasan produksi menyebabkan pengiriman untuk sementara ditunda. Untuk mendukung pemasaran beragam komoditas itu akan dibangun sebuah terminal agribisnis. Di sanalah pekebun dan pedagang melakukan transaksi.

Potensi lahan gambut Sebagai Lokasi lahan budidaya lidah buaya

Seluruh rencana agropolitan itu memanfaatkan potensi lahan terbesar berupa gambut. Lahan yang dianggap tidak produktif itu “disulap” menjadi tanah pertanian subur oleh para pionir sejak 1980-an.

Tanah diperkaya dengan membenamkan pupuk asal limbah industri udang dan ikan, serta kotoran ternak yang banyak berkembang di sana. Untuk menetralisir keasaman tanah, digunakan limbah kayu gergaji yang dibakar sebagai pengganti dolomit. Hasilnya sayuran, buah, serta padi dan palawija tumbuh subur.

Untuk memperlancar rencana itu maka sejak Juni 2001 kawasan agropolitan ditetapkan sebagai sentra agribisnis on-farm maupun off-farm. Artinya, pemanfaatan di luar bidang itu, seperti untuk real estat, terlarang. Bila impian itu terwujud, tak hanya pendapatan penduduk meningkat. Pontianak pun terbebas banjir karena konservasi kawasan gambut terjaga.

Document last updated at: Jumat, 24 Mei 2019